Oleh: Atik Hermawati
Erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (04/12/2021) pukul 15.00 sore itu kembali membuka cerita kekecewaan masyarakat. Buruknya mitigasi bencana bahkan tidak ada, selalu menjadi sorotan di tengah bencana yang tak pernah diperbaiki oleh penguasa. Puluhan korban dan kerusakan seolah-olah tidak disesali dan berlindung di balik kata "takdir-Nya".
Dilansir dari Porosnews.com (05/12/2021), Manager Advokasi dan Kampanye DPN KAWALI Fatmata Juliasyah menyampaikan bahwa tidak ada peringatan (Early Warning System) pada bencana erupsi Gunung Semeru ini. Kemudian Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM Eko lelono menyebutkan bahwa pada sekitar pukul 13.30 WIB terekam getaran banjir pada seismograf, tetapi tidak ada peringatan dini sampai sekitar pukul 15.00 WIB, bahkan saat masyarakat berhamburan panik karena erupsi yang terjadi.
Pun Kepala Bidang Kedaruratan dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang menyampaikan bahwa selama ini tidak ada Early Warning System (EWS) di Desa Curah Kobokan. Hanya ada seismometer di daerah Dusun Kamar A yang hanya berfungsi memantau pergerakan air dari atas agar bisa sampai ke penambang di bawah.
Padahal EWS atau peringatan dini sangatlah penting bagi masyarakat bumi Pertiwi ini. Gugusan gunung berapi yang aktif mengelilingi dan dua lempeng yang memagari, membuat negeri indah ini rawan bencana. Dengan mitigasi bencana yang baik warga akan mempersiapkan untuk mengungsi dan menyelamatkan diri serta harta benda sedini mungkin. Namun dengan kegagalan berulang akan mitigasi bencana, puluhan korban baik yang meninggal maupun luka bakar serius, belum lagi masih banyak korban yang belum ditemukan, pengungsian yang jauh dari kata layak, depresi dan kekecewaan yang berat, harus dipaksa ditelan oleh warga yang terkena musibah. Penguasa yang ada, tak dirasakan kehadirannya oleh mereka.
Mitigasi Bencana dalam Kapitalisme
Kemajuan teknologi tak bisa berjalan mulus di tengah sistem rakus kapitalisme. SDM unggulan dan mumpuni pun tak bisa mengamalkan ilmunya dengan optimal. 'Dana' menjadi tembok penghalang awal dalam pengembangan sistem mitigasi bencana. Dana yang dibutuhkan cukup banyak. Jalan satu-satunya bagi negara pembebek ini ada dengan utang. Sudah bukan rahasia, jumlah utang semakin melesat tajam yang menambah hegemoni pemberi utang. Bagaimana jadinya jika ditambahkan lagi utang untuk keperluan mitigasi bencana.
Selanjutnya jika tidak ingin mengeluarkan dana yang cukup banyak atau mengutang, kerja sama asing-aseng berjalan. Ilmuwan hingga teknologi bergantung pada mereka. Setelah itu 'tidak ada makan siang gratis'. Belum lagi kebijakan politisi yang syarat akan KKN yang memandang demi bisnis bukan keselamatan masyarakat.
Itulah yang niscaya terjadi pada alam demokrasi kapitalisme sekarang. Mempunyai mitigasi yang baik ialah ilusi semata. Sebab negara berperan sebagai regulator bukan operator (pe-ri'ayah). Negara berlepas tangan, sedangkan para kapital yang memegang kendali. Penguasa hanya memuluskan jalan mereka dengan kebijakan yang sama sekali tak memihak masyarakat. Semuanya dilakukan dengan kacamata bisnis, melayani masyarakat dengan untung-rugi.
Akhirnya bencana yang terjadi berulang-ulang, tak menjadi cambukan sama sekali. 'Turut berduka cita' menjadi slogan formalitas yang ada. Juga seolah-olah dapat ditanggulangi 'hanya dengan doa bersama'.
Mitigasi Bencana dalam Islam
Memang bencana alam ialah kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Manusia tidak dapat menolak atau mengulurkan waktunya. Namun, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas usaha yang mampu ia lakukan. Apalagi seorang penguasa, dia harus menjadi garda terdepan.
Mitigasi bencana bukan hanya dipandang sebagai upaya mengurangi risiko bencana. Melainkan prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Semua ini berlandaskan syariat Islam yang senantiasa menjaga aqidah, akal, harta, keturunan, kehormatan, darah, termasuk jiwa.
Negara dalam hal ini Khilafah, sebagai junnah (perisai) dan pihak sentral. Tugasnya mengurusi urusan umat. Tidak boleh berlepas tangan ataupun menyerahkannya kepada swasta/asing. Negara menjadi leader dan operator yang mengerahkan segala kemampuannya, ditambah masyarakat yang bahu-membahu menjadi mitranya.
Pengembangan mitigasi bencana mengoptimalkan SDM dan teknologi. Pembangunan sarana dan prasarana, pemasangan EWS yang merata, peta bencana yang akurat, dan sebagainya sebelum bencana. Saat bencana terjadi, negara memfokuskan untuk mengurangi risiko bencana. Semua kebutuhan korban sudah disiapkan dengan layak. Selanjutnya pascabencana, negara membina masyarakat dengan keimanan yang kokoh yakni memahamkan bencana sebagai kuasa Allah SWT dan sebagai bahan muhasabah bersama. Dengan demikian, mitigasi yang baik hanya ada dalam sistem yang sahih yakni Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini