Bunuh Diri Karena Kasus Seksual, Bukti Gender Equality Belum Final



Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)

         Bunuh diri yang dilakukan NWR (23), mahasiswi asal Mojokerto membuka fakta baru. RB, anggota polisi Pasuruan yang juga pacar korban itu, kini ditetapkan sebagai tersangka, disangkakan dengan Pasal 348 KUHP juncto 55 KUHP, yaitu sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara. Penetapan tersangka ini setelah polisi mendalami peristiwa tersebut. Dalam penyelidikan, polisi menemukan fakta jika RB dan NWR sudah melakukan aborsi janin hasil hubungan keduanya. Bahkan sejoli ini sudah dua kali menggugurkan kandungannya.

"Malam hari ini ini kita bisa mengamankan seseorang yang inisialnya adalah RB. Yang bersangkutan profesinya adalah seorang polisi yang saat ini bertugas di Polres Pasuruan Kabupaten," kata Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo, dalam konferensi pers di Mapolres Mojokerto, Sabtu (4/12/2021) malam.

RB dan NWR diketahui mulai menjalin hubungan kekasih sejak Oktober 2019. Kala itu keduanya secara tidak sengaja bertemu saat acara launcing sebuah distro baju di Kota Malang. Dari pertemuan itu, RB dan NWR kemudian bertukar nomor ponsel hingga menjalin hubungan kekasih.

Mahasiswi yang melakukan bunuh diri ini, diduga depresi akibat ‘paksaan’ tindakan aborsi. Hingga banyak sekali netizen yang bersuara dan memberikan dukungan moril kepada korban. Sebagian besar dari mereka adalah para pegiat gender yang memberikan narasi bahwa ini adalah bentuk kekerasan seksual kepada perempuan, yang berakhir pada tuntutan kesetaraan gender. Para pegiat gender memfokuskan pada tindakan pemaksaan aborsi yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban sebagai bentuk budaya patriarki yang menyebabkan kekerasan seksual pada perempuan. Solusi yang mereka tawarkan adalah gender equality dan pemberian kebebasan kepada perempuan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan bagi tubuhnya.
 
Para pegiat gender menginginkan adanya keadilan gender (gender equality) untuk menghilangkan berbagai bentuk diskriminasi, beban ganda dan pemberian label negatif pada perempuan. Sebagai contoh, pada kasus Mahasiswi yang melakukan hubungan seks diluar nikah ini, beban berat lebih dipikulkan pada pihak perempuan yang distempel sebagai korban (sekalipun saat melakukan didasari atas suka sama suka). Perempuan menjadi pihak yang rentan depresi dan mengalami labelisasi buruk ditengah masyarakat, karena saat hubungan seks diluar nikah itu terjadi hingga perempuan menjadi hamil, perempuanlah yang pertama dan utama menanggung cacian dari masyarakat.

Inilah yang mendasari para pegiat gender untuk mengajak masyarakat memiliki pemahaman keadilan gender. Dengan kata lain tidak memberikan stigma negatif pada perempuan yang melakukan hubungan seks diluar nikah dengan label negatif seperti pelacur atau pezina agar perempuan sebagai ‘korban’ tidak mengalami beban ganda, sudah menjadi ‘korban’, dimata masyarakat juga disalahkan.
 
Secara kasat mata, pernyataan para pegiat gender ini terlihat manis seperti madu namun sebenarnya mengandung racun yang menghancurkan generasi. Laki perempuan akhirnya memiliki pemikiran liberal, melakukan hubungan seks diluar nikah tak masalah asalkan sama sama bertanggungjawab. Tindakan aborsi tak lagi ngeri asal dilakukan dengan kesadaran diri dan dalih hak reproduksi. Masyarakat kian abai, menganggap seks pranikah adalah sesuatu yang sudah biasa, sebuah tuntutan zaman yang tak bisa dielakkan. Bahkan jika ada masyarakat memberikan label negatif pada pelaku zina, malah dituduh melakukan tindak diskriminasi. Solusi agama tak lagi dipandang, ia hanya dijadikan pajangan bahkan dibumbui dengan penolakan yang tak berkesudahan. Solusi gender jelas memberikan side effect negatif bagi generasi dan ide batil ini wajib dijauhkan dari negeri ini.

Akal manusia itu terbatas. Hawa nafsu manusia sering kali mengalahkan akal sehat. Zina marak karena manusia mendewakan akal dan meninggalkan sumber hukum Ilahi. Maka, kita membutuhkan aturan dari Sang Pencipta dan Pengatur jagat raya karena Allah Swt. yang mengetahui hikmah dari semua hukum syariat yang diatur-Nya, termasuk kemaslahatannya.

Dalam QS Ali Imran: 14 Allah Swt. berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”

Islam memiliki mekanisme yang menyolusi kasus zina. Mekanisme pertama, Islam menerapkan sistem pergaulan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik ranah sosial maupun privat. Islam memerintahkan menutup aurat atau segala sesuatu yang merangsang sensualitas, karena umumnya zina itu dipicu rangsangan dari luar yang bisa memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
 
Islam pun membatasi interaksi laki-laki dan perempuan, kecuali dalam beberapa aktivitas yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dll.).
 
Mekanisme kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa perintah amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.
 
Mekanisme ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku zina. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

Rasulullah saw. bersabda, “Dengarkanlah aku, Allah telah menetapkan hukuman bagi mereka itu, perawan dan perjaka yang berzina maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan pria yang sudah tidak perjaka dan perempuan yang sudah tidak perawan (yang keduanya pernah bersetubuh dalam status kawin), maka akan dijatuhi hukuman cambuk dan dirajam.” (HR Muslim)
 
Hukuman rajam bagi pelaku kemaksiatan juga tidak dilakukan sembarangan. Harus didetailkan kasusnya oleh kadi (hakim) yang berwenang, harus ada saksi dan seterusnya. Semua bentuk hukum Islam ditegakkan sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat (jawabir) dan sebagai pencegah (zawajir) orang lain melakukan pelanggaran serupa agar jera. Semua ini adalah bentuk penjagaan Islam yang paripurna terhadap generasi masyarakat.
 
Ketiga mekanisme Islam ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kafah yaitu Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler liberal yang malah melanggengkan kemaksiatan. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak