Oleh. Happy Rohmana
Salah satu grup nasyid populer negeri jiran pernah mengutip sebuah hadits tentang lima perkara sebelum lima perkara dalam lirik lagu mereka. Lima perkara sebelum lima perkara yang dimaksud adalah: 1) Mudamu sebelum datang masa tuamu, 2) sehatmu sebelum datang masa sakitmu, 3) waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, 4) kayamu sebelum miskinmu, 5) hidupmu sebelum matimu. Manusia tak bisa mengelak dari sunnatullah (hukum alam). Salah satu sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan yakni rasa sakit. Bukan hanya perkara menjaga pola makan atau ritme hidup, terkadang sakit muncul begitu saja tanpa ada angin tanpa ada hujan. Meski kondisi sakit adalah bagian dari sunnatullah, namun pada dasarnya manusia ingin selalu dalam kondisi sehat. Sudah selayaknya, layanan kesehatan bagi si sakit dilaksanakan dengan efektif (penanganan yang tepat) dan efisien (biaya terjangkau). Hanya saja efektif dan efisien dalam layanan kesehatan hari ini nampaknya tak bisa berjalan beriringan. Ibarat sebuah produk, layanan kesehatan seolah memiliki jargon "Ada Harga, Ada Kualitas".
Keuangannews.id (12/12/2021) melansir, 2022 kelas rawat inap BPJS Kesehatan dihapus. Aturan kelas rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan di rumah sakit bakal dihapus dan diganti dengan kelas standar. Aturan ini diterapkan paling lambat sebelum tahun 2022 berakhir dan dipastikan belum akan dimulai dalam waktu dekat ini.
“Kalau (berlaku) 1 Januari 2022, belum,” kata anggota DJSN Muttaqien saat dihubungi, Selasa, 7 Desember 2021.
Muttaqien menjelaskan bahwa kajian terkait aspek di BPJS memang jadi satu. Mulai dari penyesuaian manfaat medis dan non-medis, Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) atau rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi, hingga iuran.
Tujuan kajian itu untuk melihat keberlanjutan program dan peningkatan mutu layanan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. Akan tetapi yang menjadi amanah dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah kelas rawat inap standar.
Layanan Kesehatan Kapitalistik Warisan Kolonial
Dalam jurnal Health Financing in Indonesia yang diterbitkan Bank Dunia pada 2009, dipaparkan cikal-bakal jaminan kesehatan masyarakat sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1938, pegawai pemerintah dan keluarganya mendapat santunan biaya perawatan rumah sakit dari pemerintah Belanda.
Di era awal kemerdekaan Indonesia, Menteri Kesehatan saat itu Prof GA Siwabessy menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta atau universal health insurance. Mengacu yang diterapkan di negara maju. Saat itu pesertanya adalah pegawai negeri sipil dan keluarganya. Pada masa Presiden Soeharto, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 tentang program jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun serta ABRI. Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).
Sekitar tahun 1984 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengubah status BPDPK menjadi BUMN. Yaitu Perum Husada Bakti (PHB). Cakupannya diperluas. Menjamin kesehatan PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.
Peraturan Presiden No 69/1991 terbit dan menggantikan Keppres No 230/1968. Isinya peserta asuransi kesehatan menjadi dua kategori. Ada yang wajib yakni PNS. Serta peserta sukarela untuk karyawan BUMN.
Pemerintah Kembali mengeluarkan Peraturan No 6/1992. Mengubah Perum Husada Bakti menjadi PT Askes (Persero), yang menambahkan satu program Askes Komersial untuk menjaring karyawan BUMN. Sistemnya mirip Asuransi Kesehatan Sosial. Namun premi dibayar penuh oleh karyawan dengan persentase sesuai dengan gaji dan tidak ada subsidi premi dari pemerintah ataupun pemberi kerja.
Terus mengalami perubahan, muncul Undang-Undang No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Serta PP No 14/1992 dan PP No 36/1994. Isinya mewajibkan perusahaan dan tenaga kerja mengikuti program Jamsostek. Era 1997-1998, muncul kebijakan Jaring Pengaman Sosial yang memberikan bantuan untuk masyarakat miskin. Pada 2004, pemerintah mengeluarkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang kemudian dikenal dengan Askeskin untuk menjangkau 60 warga miskin dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat.
Sekitar 2008, pelayanan kesehatan disempurnakan dengan program Jaminan Kesehatan Sosial Masyarakat (Jamkesmas). Menyasar masyarakat miskin seluruh Indonesia yang iurannya dibayarkan pemerintah. Program ini dibentuk di 200 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dikeluarkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada 2011, pemerintah mengamanatkan PT Askes (Persero) untuk menjadi penyelenggara program jaminan sosial. Tepat 1 Januari 2014, PT Askes diubah menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). (m.merdeka.com, 27/9/2021)
Paradigma layanan kesehatan kapitalistik kental dengan perlakuan berbeda kepada si sakit sesuai dengan kemampuan biaya yang dibayarkan. Paradigma layanan kesehatan yang diwariskan oleh kolonial ini tak seharusnya dipertahankan. Sebab terbukti tak mampu mengatasi persoalan layanan kesehatan bagi warga negara serta menimbulkan persoalan baru seperti penganaktirian pasien BPJS dan membengkaknya tagihan BPJS ke pihak rumah sakit. Peran negara nampak sebagai regulator saja dalam masalah layanan kesehatan hari ini. Padahal fungsi negara salah satunya adalah menjamin kebutuhan dasar rakyat, termasuk di dalamnya adalah perkara kesehatan.
Layanan Kesehatan dalam Sistem Islam
Sejarah membuktikan penerapan paradigma Islam yang sahih tentang kesehatan, fungsi negara, dan pembiayaan serta pelaksanaan sistem kehidupan Islam secara total dalam bingkai Khilafah benar-benar memberikan pelayanan kesehatan terbaik selama puluhan abad bagi setiap individu publik. Sampai-sampai bagi yang berpura-pura sakit sekalipun. Bahkan, fakta sejarah peradaban menunjukkan pelayanan kesehatan Khilafah yang dilandaskan pada paradigma Islam yang sahih adalah yang terbaik sepanjang masa.
Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant, rumah sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, “…Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja…“. [W. Durant: The Age of Faith; op cit; pp 330-1]
Hal ini karena negara hadir sebagai penerap syariat Islam secara kaaffah, termasuk yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan hajat pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik setup individu publik. Sebab Rasulullah swt telah menegaskan yang artinya,” “Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya. Kehadiran negara sebagai pelaksana syariah secara kaafah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara berkemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggung jawabnya. Tidak terkecuali tanggung jawab menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan. Gratis, berkualitas terbaik serta terpenuhi aspek ketersediaan, kesinambungan dan ketercapaian.
Dalam hal ini negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Karena negara adalah pihak yang berada di garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan penderitaan publik. Demikianlah tuntunan ajaran Islam yang mulia. Hasilnya, rumah sakit, dokter dan para medis tersedia secara memadai dengan sebaran yang memadai pula. Difasilitasi negara dengan berbagai aspek bagi terwujudnya standar pelayanan medis terbaik. Baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian terkini, ketersediaan obat dan alat kedokteran terbaik hingga gaji dan beban kerja yang manusiawi.
Wahai kaum muslimin, sudah saatnya kita kembali berhukum pada Syariah Islam. Insya Allah segala sengkarut kehidupan bisa tersolusikan dan tentunya hidup jadi makin berkah.
Wallahu a'lam bish shawab
Tags
Opini