Bisnis PCR: Industri Menggiurkan dalam Sistem Demokrasi Kapitalistik

Oleh: Lina Herlina, S.IP
( Komunitas Pejuang Pena Dakwah)


Di tengah Pandemi Covid-19 yang belum juga diketahui kapan berakhirnya, bisnis PCR menjadi sorotan tajam di tanah air kita. Pasalnya bertriliun - triliun keuntungan yang didapat dari bisnis PCR ini, serta belum adanya transparansi dari pemerintah perihal uang yang masuk ke kas negara terkait biaya tes PCR. Sejumlah nama petinggi pejabat negeri, diantaranya Luhut Binsar Pandjaitan ( menteri koordinator kemaritiman & investasi) dan Erick Thohir ( menteri BUMN) terseret dan dilaporkan ke KPK oleh sekelompok orang yang tergabung dalam PRIMA ( Partai Rakyat Indonesia Adil Makmur), meski baik pihak Luhut dan Erick membantah telah berbisnis PCR . 

Dilansir kompas TV, 9 November 2021: "Memang keuntungan perputaran bisnis Lab. PCR ini ditengarai luar biasa, jumlahnya pun tidak main-main, kurun waktu Oktober 2020 hingga Agustus 2021 angkanya mencapai lebih dari 10 triliun rupiah. Menurut data ICW bersama koalisi masyarakat sipil". Sementara Luhut dalam Instagram pribadinya, menyatakan: "tidak menerima keuntungan dari perolehan perusahaan yang terkait pendapatan Lab. PCR". Sementara pihak Erick Thohir melalui staf khusus menteri BUMN Arya Sinulingga, mengungkapkan: "tidak terkait sama sekali dengan perusahaan milik kakak kandungnya, Garibaldi Thohir, yang tergabung dalam solidaritas bisnis Lab. PCR".

Fakta-fakta tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sektor kesehatan menjadi industri yang menggiurkan dalam sistem demokrasi kapitalistik. Selalu ada yang memanfaatkan dan mencari untung di atas badai pandemi ini. 

Sistem Kapitalisme memungkinkan lahirnya penguasa sekaligus pengusaha. Tak bisa dielakkan ada yang memanfaatkan posisinya sebagai penguasa dalam lingkarannya untuk meraup keuntungan dari usahanya. Sehingga sulit untuk memisahkan antara pelayanan publik agar melayani sepenuh hati, atau justru memanfaatkan publik untuk semata mata memperkaya perusahaannya. 

Sifat dasar perusahaan pasti berorentasi pada bisnis. Apalagi dalam sistem demokrasi kapitalisme kini, banyak pejabat/ penguasa terlibat dalam bisnis luar biasa yang memang sebelumnya juga diangkat karena bisnisnya tersebut. Masalahnya adalah ketika setelah mereka menjabat sebagai pejabat negara yang seharusnya sebagai pelayan publik/ masyarakat, namun masih juga berbisnis yang berorientasi pada keuntungan demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya, ditambah pula mereka yang membuat regulasi/ kebijakan/ aturan yang berkaitan dengan penanganan pandemi tersebut. Padahal manusia cenderung berbuat khilaf ketika membuat regulasi/ aturan, lebih mengutamakan pribadi dan kelompoknya terlebih dahulu, baru kemudian keluar.

Kesalahan dasar dari sistem Kapitalisme ini bisa menyebabkan kemadharatan kemadharatan terhadap publik/ rakyat. Disaat sektor kesehatan ( PCR) dalam hal ini dijadikan lahan bisnis yang berorientasi pada keuntungan, sementara di masa pandemi ini keselamatan manusia sedang dipertaruhkan seharusnya lebih diutamakan, tapi bagi para Kapitalis tetap mengeksploitasi apa yang bisa didapat dari perusahaan melalui kegiatan publik/ masyarakat ini.

Hal ini jelas dapat membunuh jiwa solidaritas kemanusiaan. Belum lagi seharusnya pejabat negara tidak menerbitkan kebijakan yang beresiko memiliki konflik kepentingan dan menguntungkan dirinya sendiri atau memperkaya orang orang yang diseputarannya. Masalahnya pejabat pejabat ini juga banyak terlibat dalam kebijakan penanganan pandemi.

Dalam sistem Islam, hubungan masyarakat dengan penguasa adalah bersifat ri'ayah/ mengayomi. Hal ini bisa dilihat dari sejarah Islam dalam konsep bernegara di zaman kekhilafahan Turki Utsmani saat menangani pandemi. Apa saja yang telah mereka lakukan?. Mereka melakukan tes tes secara gratis, berbeda jauh dengan sistem sekarang. Tes PCR berbayar dan sangat mahal, baru belakangan mengalami penurunan dan itupun setelah penuh dengan kontradiksi. Dalam Islam semuanya itu harus digratiskan namun tetap berkualitas dan sumbernya harus dari APBN. 

Oleh karena itu, negara hadir bertanggung jawab mengambil peran tidak berlepas tanggung jawab dari layanan kesehatan warganya. Sementara pejabat seharusnya tidak menerbitkan kebijakan yang beresiko menimbulkan konflik kepentingan dan menguntungkan dirinya sendiri maupun memperkaya orang orang di sekitar lingkaran kekuasaannya. Tidak sebagaimana sekarang para pejabat pejabat banyak terlibat dalam kebijakan penanganan pandemi dan juga terlibat dalam bisnisnya.

Harapan sektor kesehatan mencapai kesejahteraan akan terwujud ketika negara hadir sebagai pelaksana syariat secara kaffah. Sebab sebagai sistem kehidupan yang shahih, sistem kehidupan Islam akan bekerja secara sistematis mengakhiri berbagai persoalan sistemik hari ini sebagai buah penerapan sistem kehidupan demokrasi Kapitalistik. 

Dalam sistem Islam, penanganan pandemi didukung oleh sistem ekonomi dan politiknya yang bertanggung jawab dan sangat pro rakyat sehingga negara berperan sentral tidak sembarangan memberikan peluang bisnis bisnis yang menguntungkan kelompok tertentu. Dengan kekuasaannya, para pejabat menentukan kewenangan untuk bertindak segera, serempak menyelamatkan rakyat dari seluruh area epidemi. Sementara terdapat administrasi yang terdesentralisasi untuk mengatasi berbagai persoalan teknis tindakan pengobatan termasuk melakukan berbagai tes tes  yang  menyertainya. Lambat laun  kepercayaan rakyat akan menimbulkan kepatuhan setiap individu pada negara. 

Dalam Sistem kesehatan Islam, negara menjamin pelayanan kesehatan yang tangguh kapanpun dimana pun dibutuhkan. Bentuk pelayanan kesehatannya gratis, berstandar medis terbaik, berkualitas, dan manusiawi. Sekali lagi jaminan pemenuhan berbagai kebutuhan termasuk sektor kesehatan adalah tanggung jawab negara. 

Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak