Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Pengelolaan sejumlah bandara baru yang sepi penumpang, jadi salah satu penyebab membengkaknya utang BUMN pengelola bandara, PT Angkasa Pura I.
Di antara bandara baru itu, contoh yang diungkapkan Wakil Menteri (Wamen) BUMN Kartika Wirjoatmodjo, adalah Bandara Baru Yogyakarta (YIA).
Imbas dari membengkaknya biaya operasional bandara baru yang sepi penumpang, Kartika Wirjoatmodjo menyebut PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP I memiliki beban utang mencapai Rp 35 triliun. Utang itu bahkan bisa bengkak jadi Rp 38 triliun.
"AP I ini memang kondisinya berat, dengan utang Rp 35 triliun dan rate loss (kerugian rata-rata) per bulan Rp 200 miliar. Kalau tidak direstrukturisasi, setelah pandemi utangnya bisa mencapai Rp 38 triliun," kata Tiko dalam rapat dengan DPR, seperti dikutip dari akun Facebook Komisi VI DPR, Minggu (5/12).
"Memang beban mereka berat sekali, karena banyak bandara baru. Seperti bandara baru Yogyakarta itu di Kulon Progo, itu (biaya pembangunannya) sampai Rp 12 triliun. Dan begitu dibuka langsung kena pandemi," lanjut pria yang akrab disapa Tiko.
Bandara baru Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo, diresmikan Presiden Jokowi di tengah situasi pandemi, yakni Agustus 2020. Direktur Utama Angkasa Pura I Faik Fahmi, kepada kumparan menuturkan bandara itu dibangun dengan kapasitas 20 juta penumpang per tahun.
https://kumparan.com/kumparanbisnis/cek-data-bandara-baru-sepi-bikin-utang-angkasa-pura-i-bisa-bengkak-rp-38-t-1x2vvas1RjS?utm_medium=post&utm_source=Twitter&utm_campaign=int
Masih hangat dalam ingatan kita polemik
krisis yang dialami oleh maskapai Garuda Indonesia akibat utang menumpuk menunjukkan salah kelolanya industri vital oleh negara.
Berbagai skenario baik restrukturisasi utang atau mempailitkan-dan menggantikan dengan maskapai lain sebagai flag carrier (maskapai resmi negara) tidak menjadi solusi selama belum ada perubahan paradigma pengelolaan.
Begitupun yang terjadi pada BUMN pengelola bandara PT Angkasa Pura l ini sepertinya akan bernasib sama.
Di sisi lain, perusahaan asal India, GMR Airport Consortium, memenangkan tender pengelolaan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Sumatra Utara. GMR akan ikut mengelola bandara ini selama 25 tahun melalui kemitraan strategis (strategic partnership) dengan PT Angkasa Pura II (AP II). (kumparan, 26/11/2021). Perusahaan konsorsium itu sendiri sebenarnya terdiri atas GMR Group asal India dan Aéroports de Paris Group (ADP) asal Prancis. Pengelolaan tersebut masuk kategori kerja sama kemitraan strategis. (CNN Indonesia, 24/11/2021).
Sedari awal BUMN di negeri ini dikelola dengan prinsip kapitalisme-neoliberal dimana asaet BUMN diperjualbelikan dengan mudah, siapa pemilik modal besar dialah pemilik sesungguhnya.
Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang akan memuluskan jalan para korporasi untuk menguasai aset strategis negara. BUMN bukan milik negara lagi, melainkan milik segelintir orang hingga sesuka hati dalam mengelolanya.
Saat BUMN untung mereka yang menikmati, sementara saat merugi dan berutang rakyatlah yang diminta menyelamatkan BUMN, mirisnya rakyat tidak pernah menikmati pelayanan terbaik dari BUMN yang dimiliki oleh negara. Inilah sistem kapitalis yang menjalankan konsep hurriyah milkiyah atau kebebasan kepemilikan.
Konsep ini telah membebaskan manusia bisa memiliki apa pun dengan sebab kepemilikan apa pun.
Pengelola bandara yang rugi biaya operasional hingga ratusan milyar per bulan sementara bandara sepi penumpang dan tidak menghasilkan pemasukan berarti.
Lalu dengan kondisi ini apa alasan pemerintah terus membangun bandara baru dan bahkan melibatkan pengelola asing? Bahkan di saat kestabilan ekonomi lagi gonjang-ganjing jelas karena pemerintah di sini lebih condong memenangkan kepentingan swasta-asing. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah bukan dalam rangka menyelamatkan harta negara dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Mencermati hal ini, ditambah kasus Bandara Kualanamu, tampaknya kemitraan strategis dalam pengelolaan atau bahkan penjualan bandara kepada pihak asing menjadi ajang bisnis baru di sektor kebandarudaraan. Terlebih adanya pandemi yang membatasi perjalanan lintas negara, akuisisi bandara oleh negara yang lebih kuat ekonominya, menjadi budaya negara tak terkecuali di Indonesia.
Solusinya semestinya menata ulang visi pembangunan infrastruktur dan pembiayaan serta pemanfaatannya sesuai Islam.
Pengembangan infrastruktur seperti bandara memang diperlukan untuk kemaslahatan publik. Namun sayangnya, paradigma kapitalisme selalu menyerahkan seluruh urusan publik pada swasta. Sehingga membawa dampak dan cenderung tidak menguntungkan publik. Selayaknya perdagangan, korporasi swasta ingin dapat keuntungan setelah dana dikucurkan. Skema ini otomatis membawa pada komersialisasi layanan publik. Dampaknya jelas tak semua masyarakat bisa menikmati layanan publik dengan murah (terjangkau) bahkan gratis.
Pelayanan akan disesuaikan dengan bugdet yang dikeluarkan konsumen, dan track record ini terbukti berulang kali terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya akan terjadi akuisisi infrastruktur strategis oleh kelompok kapitalis. Logika kapitalisme lainnya adalah menjadikan sumber pemasukan negara yang berpusat pada utang dan pajak. Sumber ini tentu tidak kokoh untuk pembiayaan infrastruktur, karena di saat yang sama kapitalisme melegalkan kepemilikan umum sebagai kepemilikan individu atau swasta.
Padahal jika kekayaan alam dikelola dengan baik dan benar, negara tidak perlu menggandeng swasta atapu asing untuk pembangunan layanan publik seperti bandara dan harus terjebak dengan intrik-intrik lain seperti hutang dan investasi. Secara tak langsung hal ini merupakan bentuk penjajahan gaya baru dan inilah yang seharusnya dipahami oleh umat.
Hal ini sangat berbeda jika umat diatur dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Minsed Khilafah memandang bahwa layanan publik merupakan prasarana kemaslahatan umat. Sehingga pembangunan tak berpusat pada sentra ekonomi, tetapi menyebar pada tiap pemukiman warga dan secara otomatis pembangunan di kota dan desa tidak akan timpang seperti kondisi saat ini yang hanya fokus pada perkotaan dan mengabaikan pedesaan.
Layanan publik dalam Khilafah termasuk jaminan dari negara maka tak akan terjadi komersialisasi dalam layanan publik sehingga masyarakat bisa menikmati layanan dengan harga terjangkau, murah, bahkan gratis.
Dalam Islam, infrastruktur strategis diurai dalam tiga prinsip. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara alias tidak boleh diserahkan kepada investor atau swasta.
Kedua, perencanaan wilayah yang baik mengurangi kebutuhan transportasi maka mewujudkan layanan publik secara gratis, serta Islam memiliki mekanisme sumber daya yang khas yakni sistem ekonomi Islam Khilafah, yang menjadikan pembiayaan infrastruktur yang besar bukan berasal dari investasi asing atau utang. Melainkan dari Baitulmal Pos Kepemilikan Umum. Dana pos ini berasal dari pengelolaan kekayaan alam secara mandiri, sebab Islam mengharamkan asing menguasai SDA yang melimpah.
Dimana dana pos ini sangat cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti gedung, fasilitas layanan, alat transportasi, penelitian tentang tata kota, dll. Hal tersebut bisa dilihat dari manejemen fisik jalan sangat diperhatikan sejak tahun 950. Jalan Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan pada malamnya diterangi lampu minyak.
200 tahun kemudian, yakni 1185 Paris yang memutuskan sebagai kota pertama di Eropa yang meniru Cordoba. Abbas Ibnu Firnas (810-887) dari Spanyol seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara melakukan serangkaian percobaan untuk terbang sampai sejarawan Philip K. Hitti, menulis dalam History of the Arabs, "Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying,".
Hingga abad ke 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Bahkan saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan dari Khalifah untuk pembangunan jalur kereta api bertujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid ll mencanangkan proyek "Hejaz Railway".
Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah hingga Mekah yang melewati Damaskus, Jerusalem, dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Mekah yang semula mencapai 40 hari perjalanan menjadi 5 hari perjalanan.
Dengan penerapan Khilafah jaminan pembangunan ekonomi yang berkah, adil, dan sejahtera akan meminimalisir kesenjangan ekonomi yang merugikan masyarakat. Khilafah sebagai institusi penerapan Islam akan menyediakan infrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknologi terkini tanpa campur tangan korporasi baik lokal maupun asing.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini