Bandara Dikelola Swasta Asing, Menguntungkan Negara ?




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Perusahaan asal India, GMR Airport Consortium, memenangkan tender pengelolaan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Sumatera Utara. GMR akan ikut mengelola bandara ini selama 25 tahun melalui kemitraan strategis (strategic partnership) dengan PT Angkasa Pura II.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam pernyataannya yang dikutip di Jakarta, Jumat, menyebutkan negara untung dari aksi yang dilakukan oleh anak usaha PT Angkasa Pura II tersebut.
"Angkasa Pura II mendapatkan dua keuntungan, yaitu dana sebesar Rp 1,58 triliun dari GMR serta ada pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar Rp 56 triliun dengan tahap pertama sebesar Rp 3 triliun," ujarnya seperti dikutip dari Antara, Jumat (26/11).

Arya mengatakan, masuknya GMR sebagai pemegang saham di joint venture company (JVCo) yakni PT Angkasa Pura Aviasi, membuat Angkasa Pura II tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 58 triliun untuk pengembangan Bandara Kualanamu, karena proyek pembangunan bandara justru ditanggung oleh mitra.

Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga
Menurutnya, dana sebesar Rp 1,58 triliun bisa dipakai oleh Angkasa Pura II untuk pengembangan dan pembangunan bandara baru di Indonesia.

https://kumparan.com/kumparanbisnis/bandara-kualanamu-kini-dikelola-asing-apa-untungnya-buat-indonesia-1wzab66feTR?utm_campaign=in&utm_medium=post&utm_source=Twitter

Pengembangan infrastruktur seperti bandara memang diperlukan untuk kemaslahatan publik. Namun sayangnya, paradigma kapitalisme selalu menyerahkan seluruh urusan publik pada swasta. Sehingga membawa dampak dan cenderung tidak menguntungkan publik. Selayaknya perdagangan, korporasi swasta ingin dapat keuntungan setelah dana dikucurkan. Skema ini otomatis membawa pada komersialisasi layanan publik. Dampaknya jelas tak semua masyarakat bisa menikmati layanan publik dengan murah (terjangkau) bahkan gratis.

Pelayanan akan disesuaikan dengan bugdet yang dikeluarkan konsumen, dan track record ini terbukti berulang kali terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya akan terjadi akuisisi infrastruktur strategis oleh kelompok kapitalis. Logika kapitalisme lainnya adalah menjadikan sumber pemasukan negara yang berpusat pada utang dan pajak. Sumber ini tentu tidak kokoh untuk pembiayaan infrastruktur, karena di saat yang sama kapitalisme melegalkan kepemilikan umum sebagai kepemilikan individu atau swasta.

Padahal jika kekayaan alam dikelola dengan baik dan benar, negara tidak perlu menggandeng swasta untuk pembangunan dan harus menunggu waktu 25 tahun hingga bandara itu jadi milik nasional dan terjebak dengan intrik-intrik lain seperti hutang dan investasi. Secara tak langsung hal ini merupakan bentuk penjajahan gaya baru dan inilah yang seharusnya dipahami oleh umat.

Hal ini sangat berbeda jika umat diatur dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Minsed Khilafah memandang bahwa layanan publik merupakan prasarana kemaslahatan umat. Sehingga pembangunan tak berpusat pada sentra ekonomi, tetapi menyebar pada tiap pemukiman warga dan secara otomatis pembangunan di kota dan desa tidak akan timpang seperti kondisi saat ini yang hanya fokus pada perkotaan dan mengabaikan pedesaan.

Layanan publik dalam Khilafah termasuk jaminan dari negara maka tak akan terjadi komersialisasi dalam layanan publik sehingga masyarakat bisa menikmati layanan dengan harga terjangkau, murah, bahkan gratis.
Dalam Islam, infrastruktur strategis diurai dalam tiga prinsip. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara alias tidak boleh diserahkan kepada investor atau swasta.

Kedua, perencanaan wilayah yang baik mengurangi kebutuhan transportasi maka mewujudkan layanan publik secara gratis, serta Islam memiliki mekanisme sumber daya yang khas yakni sistem ekonomi Islam Khilafah, yang menjadikan pembiayaan infrastruktur yang besar bukan berasal dari investasi asing atau utang. Melainkan dari Baitulmal Pos Kepemilikan Umum. Dana pos ini berasal dari pengelolaan kekayaan alam secara mandiri, sebab Islam mengharamkan asing menguasai SDA yang melimpah.

Dimana dana pos ini sangat cukup untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti gedung, fasilitas layanan, alat transportasi, penelitian tentang tata kota, dll. Hal tersebut bisa dilihat dari manejemen fisik jalan sangat diperhatikan sejak tahun 950. Jalan Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan pada malamnya diterangi lampu minyak.

200 tahun kemudian, yakni 1185 Paris yang memutuskan sebagai kota pertama di Eropa yang meniru Cordoba. Abbas Ibnu Firnas (810-887) dari Spanyol seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara melakukan serangkaian percobaan untuk terbang sampai sejarawan Philip K. Hitti, menulis dalam History of the Arabs, "Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying,".

Hingga abad ke 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Bahkan saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan dari Khalifah untuk pembangunan jalur kereta api bertujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid ll mencanangkan proyek "Hejaz Railway".

Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah hingga Mekah yang melewati Damaskus, Jerusalem, dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Mekah yang semula mencapai 40 hari perjalanan menjadi 5 hari perjalanan.

Dengan penerapan Khilafah jaminan pembangunan ekonomi yang berkah, adil, dan sejahtera akan meminimalisir kesenjangan ekonomi yang merugikan masyarakat. Khilafah sebagai institusi penerapan Islam akan menyediakan infrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknologi terkini tanpa campur tangan korporasi.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak