Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Akhir-akhir ini utang Indonesia kian membengkak. Jika membahas perihal utang bengkak, pastilah pikiran kita terarah pada Indonesia. Mengapa? karena negara kita sedang menyimpan pinjaman besar yang membuat rakyat susah dibuatnya. Pasalnya, bandara sebagai salah sumber pemasukan negara mengalami sepi pengunjung. Bandara Yogyakarta International Airport ( YIA) contohnya. Pengelola bandara Yogyakarta International Airport ( YIA) hari ini menghadapi kerugian yang berlipat-lipat. Kerugiannya mencapai ratusan miliaran perbulan. Utang tersebut otomatis telah menggendutkan rekening utang BUMN. Utang negara sebesar Rp35 triliunan bila tidak segera direstrukturisasi akan bertambah menjadi Rp38 triliun. "AP I ini memang kondisinya berat, dengan utang Rp35 triliun dan rate loss (kerugian rata-rata) per bulan Rp200 miliar. Kalau tidak direstrukturisasi, setelah pandemi utangnya bisa mencapai Rp38 triliun," kata Tiko dalam rapat dengan DPR, seperti dikutip dari akun Facebook Komisi VI DPR, Minggu (5/12).
Fakta di atas tidak mengejutkan lagi. Karena bandara Yogyakarta International Airport (YIA) itu telah diresmikan presiden di Agustus 2020. Tahun di mana wabah sudah menerpa Indonesia. Di saat itulah rakyat semakin kesulitan karena terdampak dari wabah. Namun, karena kecondongan memenangkan bisnis pada swasta, membuat presiden mengambil langkah yang sungguh tidak bijak terutama pada rakyat. Di situasi pandemi, presiden tidak mengurungkan niatnya untuk mengesahkan bandara baru (YIA). Meski presiden sendiri dalam pidato di pembukaan bandara Yogyakarta International Airport (YIA) itu mengakui kini negara sedang dilanda wabah. Namun ia tetap berkeyakinan jika bandara tersebut bisa meningkatkan ekonomi dengan pesat.
Sayangnya, harapan presiden itu seolah kandas. Sebab faktanya, kondisi bandara Yogyakarta International Airport (YIA) kini tidak sesuai ekspektasi negeri. Bukannya bandara tersebut makin ramai pengunjung dari berbagai daerah. Justru penyusutan penumpang yang signifikan telah dirasakan bandara (YIA). Bahkan bandara (YIA) harus menanggung kerugian hingga Rp 200 miliar perbulan. Alhasil, bandara ( YIA) bukannya untung malah buntung ( kumparan.com, 5/12/21).
Meski di sisi lain, bandara Kualanamu yang disebut-sebut oleh Wakil Menteri BUMN sebagai bandara baru sudah meraup keuntungan (kumparan.com, 4/12/21). Namun hal ini tidak bisa menutupi aib kesalahan pemerintah dalam penentuan kebijakan pembangunan. Kebijakan yang menuai utang negara makin membuncit. Kita memang seharusnya lebih fokus menjadikan penyebab kasus ini sebagai pembelajaran berharga bagi negara. Mengingat bahwa kebijakannya telah mengundang masalah baru bagi negara sendiri. Terlebih hal ini pasti akan menambah beban umat.
Mirisnya, pemerintah membiarkan sumber daya alam (SDA) miliknya dikuasai pihak asing. Bukannya memelihara dan memanfaatkan harta kepemilikan umum itu untuk menyejahterakan rakyat, malah pemerintah berutang lagi untuk mengoperasionalkan tempat yang tidak begitu bermaslahat bagi rakyat. Dari hal ini, strategi kapitalisme pun makin terendus. Tabiat pemimpin dalam sistem kapitalisme saat ini kadang memang sering kali melakukan hal yang membuat kita tidak habis pikir. Seperti sekarang, pemerintah mengeluarkan modal yang lumayan fantastis untuk hal yang kurang tepat. Terus melajukan pembangunan yang sama sekali tidak menyolusi bagi rakyat.
Sudah seharusnya kita kembali pada sistem yang mensejahterakan rakyat, yaitu sistem yang membuat rakyat untung, bukan malah buntung seperti saat ini. Pembangunan bandara maupun infrastruktur dibangun dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, bukan sekedar untuk tujuan menarik investor asing. Wallahualam bisshowab...