Bandara Dikelola Asing, Untung atau Aji Mumpung?

 


Oleh  Siti Alfina, S. Pd.
(Aktivis Muslimah)

Infrastruktur merupakan bangunan fisik yang berfungsi untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi suatu masyarakat. Infrastruktur identik dengan prasarana. Meliputi segala sesuatu yang merupakan penunjang utama penyelenggaraan suatu proses. Apalagi jika infrastruktur strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sangat penting bagi negara. Hal ini karena bisa mempengaruhi posisi sebuah negara dalam tatanan global.

Bandara yang termasuk ke dalam kategori infrastruktur transportasi merupakan jenis infrastruktur keras (physical hard infrastructure). Sama seperti lainnya jembatan, stasiun, terminal, pelabuhan, dermaga dan jalan raya.

Baru-baru ini ramai dikabarkan ke tengah publik di mana ada berita beredar bahwa salah satu bandara terbesar dan terluas keempat di Indonesia yaitu bandara Kualanamu yang berlokasi di Deli Serdang, Sumatera Utara dijual ke India.
Informasi ini mencuat setelah perusahaan asal India memenangkan tender pengelolaan Bandara Kualanamu dengan skema kemitraan strategis (strategic partnership) antara PT Angkasa Pura II dengan GMR Group asal India dan Aeroports de Paris Group (ADP) asal Prancis.

Melalui kerja sama ini, Angkasa Pura II dan GMR Airports Consortium membentuk Joint Venture Company (JVCo), yaitu PT Angkasa Pura Aviasi. Angkasa Pura II menguasai 51% saham, sedangkan GMR Consortium memegang 49% saham. (Tribunnews.com, 30/11/2021).

Perusahaan patungan (PT Angkasa Pura Aviasi) akan mengelola bandara Kualanamu ini selama 25 tahun. Untuk semua biaya pembangunan ditanggung oleh mitra menggunakan sistem build of take (BOT). Setelah 25 tahun, PT Angkasa Pura Aviasi tidak berhak lagi mengelola bandara Kualanamu dan semua aset tersebut akan dikembalikan lagi kepada PT Angkasa Pura II. (kumparan.com, 26/11/2021).

Menurut Juru Bicara BUMN Arya Sinulingga, adanya alih kelola bandara Kualanamu dengan GMR ini PT Angkasa Pura II akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus dengan total hampir Rp 58 triliun. Pertama, keuntungan sebesar Rp 1,58 triliun diperoleh dari GMR. Kedua, BUMN pengelola bandara dapat menghemat Rp56 triliun yang semestinya dikeluarkan dari pembangunan dan pengembangan bandara Kualanamu. (cnnindonesia, 26/11/2021).

Jika menggunakan logika kapitalis, masuknya investor asing dalam mengelola aset publik akan memperoleh keuntungan yang menggiurkan. Benarkah demikian?

Strategi Pembiayaan dan Pengelolaan

Pengelolaan infrastruktur vital sebuah negara selalu terkait dua hal utama, yaitu otoritas negara dan bisnis. BUMN sebagai pihak pengelola harus jeli memandang kemitraan strategis seperti ini. Karena berhubungan dengan otoritas sebuah negara. Maka pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada pihak asing. Kondisi ini akan menyebabkan aset publik bisa dipertaruhkan dan  dipermainkan oleh pihak asing yang berorientasi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga memungkinkan aset layanan umum diprivatisasi oleh individu atau pihak swasta.

Selain itu, masuknya investor asing melalui strategi untuk membiayai pembangunan dan pengembangan infrastruktur ini, dapat menyebabkan ancaman serius bagi kedaulatan negara. Hal ini akan menjadi sebab semakin kuatnya cengkeraman asing serta membuka celah untuk mendikte dan mengontrol otoritas dalam negeri dengan bentuk penjajahan gaya baru.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, biaya pembangunan dan pemeliharaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari beberapa sumber. pertama, dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar yang diterima negara. Kedua, dari pinjaman atau utang luar negeri. Ketiga, dari skenario kerja sama pemerintah dan swasta (KPS), baik swasta lokal maupun asing.

Sumber ketiga inilah yang sedang dijalani pemerintah saat ini dalam pengelolaan bandara Kualanamu. Terjadi kontrak kerjasama antara pemerintah dengan swasta asing asal India dalam pengelolaan dan pengembangan infrastruktur aset publik dalam jangka waktu panjang. Pada akhirnya, rakyat yang harus menanggung beban baik secara langsung melalui pungutan penggunaan infrastruktur tersebut semakin mahal. Sedangkan secara tidak langsung, rakyat akan dipaksa dalam bentuk peningkatan berbagai pungutan pajak yang semakin mencekik.

Lagi-lagi permainan bisnis dijalankan. Aset publik yang seharusnya digunakan secara mudah dan murah bagi rakyat malah dipersulit dan dikomersialkan. Banyak yang berpendapat pembangunan infrastruktur saat ini mirip dengan zaman penjajahan Belanda. Bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan Belanda. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan para kapitalis. Fakta ini menunjukkan rusaknya sistem kapitalisme berasaskan sekuler, menjadikan materi untung-rugi sebagai standar kehidupan.

Infrastruktur dalam Perspektif Islam

Berbeda halnya jika Islam mengatur pembangunan dan pengelolaan infrastruktur atau aset layanan publik. Sistem khilafah memandang infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan bagi rakyatnya. Khalifah akan memastikan pembangunan infrastruktur harus berjalan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk kemuliaan Islam.

Kesejahteraan tidak akan muncul jika tidak terpenuhi sarana dan prasarana menuju kesejahteraan. Karena itu, khalifah wajib membangun infrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri.

Dalam Islam, infrastruktur strategis diurai dalam dua prinsip, yaitu pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, tidak boleh diserahkan ke investor swasta. Kedua, perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi.

Sedangkan terkait strategi pembiayaan dan pengelolaan diterapkan sistem ekonomi Islam. Infrastruktur yang masuk kategori kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum dalam kas baitul maal. Atau bisa juga diambil dari dana milik negara. Tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.

Jikalau negara harus bekerjasama dengan pihak ketiga, kerjasama tersebut haruslah yang menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan utang atau mekanisme strategi licik yang akan menjadikan posisi negara lemah di mata negara lain/ pihak ketiga. Tidak boleh bertekuk lutut dalam jebakannya, apalagi tidak berdaya sama sekali atas tekanan pihak ketiga atau asing karena dana pinjaman untuk pembangunan infrastruktur.

Kondisi ini pernah dicontohkan oleh Amirul Mu'minin Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah. Khalifah Umar memperhatikan ketika gubernurnya Hudzaifah membuat perjanjian antara pemilik sumur di kawasan Hardzan dan Dinar dengan negeri Nahawand yang baru ditaklukkan ketika sedang ada perbaikan jalan. Gubernur memberikan jaminan keamanan, sementara sebagai imbalan mereka membayar upeti setiap tahunnya kepada gubernur mereka. Bila mereka berkhianat dan mengubah perjanjian berarti jaminan terbebas dari mereka.

Ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan pihak ketiga dalam pembangunan infrastruktur wajib menjaga kemuliaan kaum Muslim dan Islam.

Berbagai proyek infrastruktur direalisasikan pada masa Umar. Mulai dari membuat sungai, teluk, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan. Tentu saja menghabiskan anggaran negara dengan jumlah yang besar. Namun, perencanaan keuangan dan pembangunan sangat mudah dibangun tanpa melanggar syariah Islam sedikitpun, juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak ketiga/asing. Tidakkah kita menginginkan pemimpin yang melayani kepentingan rakyat dan mengaturnya sesuai dengan hukum syariah dan kemaslahatan umat?

Wallahu a'lamalam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak