Antara Food Estate dan Kebijakan Impor Pangan






Oleh. Lina Ummu Dzakirah

"Yeee...pak Jokowi wis teko (sudah datang). Nggak sia-sia nunggu dari pagi. Pak Jokowi sini pak," teriak ibu-ibu pedagang pasar Kertek.

Ratusan pedagang Pasar Kertek Wonosobo langsung teriak histeris tatkala Presiden Joko Widodo tiba di pasar itu, Selasa (14/12). Penantian panjang warga sejak pagi terbayar tuntas usai melihat Jokowi secara langsung.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meninjau kawasan Food Estate Hortikultura Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah hari ini. Dari dalam mobil, Jokowi membagikan sejumlah kaus berwarna hitam bergambar dirinya.
Jokowi rencananya akan mengunjungi Food Estate yang berada di sekitar Embung Bansari, Desa Bansari, Kecamatan Bansari. Embung Bansari sendiri berada di lereng Gunung Sindoro di ketinggian 1.300 Mdpl.

Pantauan detikcom, di sekitar Desa Bansari, Selasa (14/12/2012), selain warga yang sudah menunggu ada pula spanduk yang bertuliskan 'Selamat datang Bapak Presiden Joko Widodo di kawasan Food Estate Hortikultura Kabupaten Temanggung dari Temanggung untuk Indonesia'. (Dilansir Detik.com 14/12/21)

Nampaknya kehadiran Presiden kali ini disambut dengan gembira oleh warga bahkan beliau sempat ikut serta melakukan penanaman bawang. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama sejumlah jajarannya, hari ini, Selasa (14/12/2021), melakukan penanaman bawang merah bersama masyarakat dan petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Setelah melakukan penanaman bawang, Jokowi menyempatkan untuk berdialog dengan para petani di sebuah saung. Pada dialog itu, para petani menyampaikan keluhan kepada Jokowi terkait harga bawang putih yang turun. Menurut penjelasan mereka, anjloknya harga dikarenakan oleh masuknya impor bawang putih pada saat panen. Bahkan kepada Kepala Negara, para petani mengaku enggan menanam bawang putih. Mendengar keluhan tesebut, orang nomor satu di Indonesia ini langsung menelepon Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi. (Dilansir Kompas.TV 14/12/21)

Dalam kunjungan itu, Jokowi berharap dengan produktivitas yang semakin baik dan intervensi di bibit, pendapatan petani bawang akan meningkat. Bahkan Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun berjanji akan memonitor perkembangan produktivitas bawang di Temanggung, pasca-panen.

Paradigma Kebijakan Kapitalisme

Berjanji akan memonitor perkembangan produktivitas bawang hanya akan menjadi awang-awang apabila kedaulatan pangan masih bergantung pada impor. Padahal Indonesia memiliki 5 varietas lokal yang layak dikembangkan yaitu Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, Lumbu Putih, Tawangmangu Baru dan Sangga Sembalun. Namun hari ini jumlah produksi dan luasan lahan yang menanamnya terus menyusut. Bahkan benih untuk varietas-varietas ini pun sulit ditemukan. Ditambah keluhan para petani yang enggan menanam bawang kembali.

Dengan potensi benih lokal yang unggul didukung kondisi ilmu pertanian dan iklim, serta lahan subur yang sangat luas, harusnya tidak ada alasan untuk bergantung pada impor. Bahkan impor yang berketerusan dengan volume yang sangat besar (mencapai 95% dari total kebutuhan) wajib menjadi perhatian untuk mencari solusi yang tuntas. Karena dampaknya sudah sangat jelas baik secara ekonomi maupun politik. Dan tentu saja rakyatlah yang paling menderita karena kebijakan ini.

Kegagalan kedaulatan pangan dan terus menerus bergantung pada impor tidak lain dikarenakan adanya cengkeraman kapitalisme global lewat lembaga-lembaga internasional dengan kebijakan politik dan ekonominya. Tidak seriusnya pemerintah Neoliberal mewujudkan kedaulatan pangan. Bahkan disinyalir importir-importir yang mangkir dari tanggung jawab ini, masih leluasa berganti baju menjadi perusahaan importir baru. Walhasil rencana pemerintah mewujudkan swasembada pun patut dipertanyakan. Bahkan hampir bisa dipastikan, jika konsep yang digunakan untuk mewujudkannya tetap dengan neoliberal kapitalisme, target ini akan sulit tercapai.

Inilah yang menjadi penghambat mendasar bagi Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan termasuk bawang putih. Karenanya negara harus keluar dari paradigma ini. Negara harus memiliki visi independen secara politik dan ekonomi seiring dengan menjalankan politik ekonomi yang shahih serta berada dalam kendali penuh negara. Tidak bisa dengan model sekarang dimana negara hanya hadir sebagai regulator dan fasilitator. Sementara operatornya diserahkan kepada korporasi baik korporasi produsen maupun importir. 

Jadikan Islam sebagai Sistem Hidup

Negara yang menerapkan sistem aturan Islam tidak akan main-main dalam mengatur kebutuhan rakyat. Terkait persoalan kedaulatan dan swasembada pangan, negara akan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk meningkatkan produksinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Semua itu karena para pemimpin negara Islam memegang teguh tugasnya sebagai pe-ri’ayah (pengatur) kebutuhan umat. 

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.). 

Islam pun sangat jelas mengatur kegiatan impor. Kegiatan ini berhubungan dengan perdagangan (tijarah), sehingga dalam pelaksanaannya wajib melandaskan pada hukum syara' mengenai jual beli. Berdasarkan hal itu, butuh aturan tegas yang dapat menyeimbangkan antara petani, distributor, dan konsumen (industri). Negara akan tegas dalam mengelolanya. Bahkan para kapitalis tidak boleh menyetir apalagi ikut campur dalam membuat kebijakan.

Oleh karenanya, negara yang menerapkan semua aturan Islam, tidak akan ketergantungan impor pangan. Lebih dari itu, negara Islam akan memaksimalkan usaha untuk mencukupi stok pangan dalam negeri sebelum memutuskan untuk impor. Begitu sempurnanya hukum buatan Allah Swt. ini. Masihkah ragu untuk menerapkannya?.
Wallahu a'lam bish shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak