Agama Absen Dari Peta Jalan Pendidikan, Output Generasi Dipertaruhkan



Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap) 


Tidak ada frasa 'agama' dalam draf Peta Jalan Pendidikan untuk tiga dekade mendatang. Absennya kata itu tentu memunculkan kontroversi.
Draf Peta Jalan Pendidikan memuat visi pendidikan 2035, berbunyi :
"Visi Pendidikan Indonesia 2035. Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila."

Dalam sekejap sorotan pun  datang dari ormas Islam, Komisi Pendidikan di Parlemen Pusat, hingga politikus parpol.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir yang menyoroti bunyi kalimat di atas. Dia tidak menemukan 'agama' dari draf rumusan paling akhir tanggal 11 Desember 2020. Haedar menilai Peta Jalan Pendidikan ini sudah bertentangan dengan konstitusi karena tidak memuat 'agama'.
"Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar (negara), tapi kenapa budaya itu masuk?" kata Haedar Nashir dalam rilis di laman resmi Muhammadiyah seperti dikutip Minggu (7/3).

Dengan absennya 'agama' dari draf Peta Jalan Pendidikan, maka anak-anak di negeri Pancasila ini bisa kena dampaknya. Dia mengacu pada ayat 5 Pasal 31 UUD Negara 1945. Begini bunyinya:
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
Jelas ada 'nilai-nilai agama' dalam ayat konstitusi itu. Seharusnya, menurut Haedar, Peta Jalan Pendidikan juga memuat nilai-nilai agama. Dia menyimpulkan, Peta Jalan Pendidikan tidak sejalan dengan Pasal 31.

Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyoroti masalah yang sama. Visi pendidikan hanya memuat frasa 'nilai-nilai budaya Indonesia' dan 'nilai-nilai Pancasila'. Tidak ada 'nilai-nilai agama' di situ.
Artinya, faktor agama tidak disebutkan. Padahal itu hal esensial. Kenapa? Bahwa yang namanya akhlak itu adalah bagian dari tuntutan agama. Pengajaran agama, di dalam ada akhlak, kewajiban, itu bagian dan menjiwai sila pertama Pancasila (ketuhanan)," kata Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH Abdullah Jaidi, saat dihubungi, Minggu (7/3).

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komisi X Syaiful Huda setuju dengan kritik Muhammadiyah. Intinya, 'agama' harus ada dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Ada Kemdikbud bisa memperbaiki draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 itu.

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menegaskan, sila pertama Pancasila adalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Konsekuensinya, agama harus selalu diikutsertakan, termasuk dalam memetakan pendidikan untuk generasi masa depan. KOmisi X akan mengusulkan ke Kemdikbud agar 'agama' masuk dalam Peta Jalan Pendidikan 2035.

"Itu yang kami juga tegur kepada pemerintah. Janganlah terlalu alergi dengan frasa agama. Karena agama itu adalah bagian daripada proses kehidupan dan berkehidupan di Indonesia. Selalu itu ada nilai-nilai agama," ujar Dede, politikus Partai Demokrat ini, kepada wartawan, Senin (8/3).
https://news.detik.com/berita/d-5486341/kontroversi-hilangnya-frasa-agama-di-draf-peta-jalan-pendidikan

Pendidikan adalah modal fundamental dalam membangun peradaban suatu bangsa, wajah pendidikan akan menentukan wajah peradaban. Sebab pendidikan merupakan bagian produk kebijakan politik suatu negara. Politik adalah cara mengatur kehidupan manusia. Jika ideologinya kapitalisme, maka pengaturannya pun dengan cara kapitalisme.

Ideologi kapitalisme sekuler memang memisahkan agama dari politik, agama dianggap ahistoris sama seperti saat menyusun peta jalan pendidikan ini. Artinya, cara pandang pemerintah adalah sekulerisme. Maka tak heran jika frasa agama dalam visi pendidikan ini dihilangkan. Visi politik berbasis sekulerisme adalah terwujudnya kehidupan berbangsa yang sejalan dengan nilai-nilai konsesus sosial, seperti : norma, budaya, dan filsafat tanpa melibatkan nilai agama.

Konsep ini kemudian melahirkan manusia bebas berdasar akal dan nafsu belaka. Meski visi pendidikan sekuler ini bertentangan dengan Islam, namun sekulerisasi dan liberalisasi pendidikan kini berjalan dibawah payung moderasi beragama atau moderasi Islam. Ide moderasi Islam ini pada dasarnya adalah bagian dari proses sekulerisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah umat yang diberi warna baru.

Ide ini menyuarakan semua agama sama, menyerukan untuk membangun Islam yang inklusif yang bersifat terbuka, toleran terhadap ajaran agama lain, serta menyusupkan paham semua agama benar. Padahal sangat jelas Allah Swt menegaskan "Siapa saja yang mencari agama selain Islam sekali-kali tidaklah akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,"(Qs. Ali-Imran : 85).

Dari ayat di atas, Allah sangat tegas menyatakan bahwa agama yang benar dan mulia di sisi Allah hanyalah Islam. Moderasi Islam menjadikan nilai-nilai Islam yang datang dari Al-Khaliq dan Al-Mudabbir disepadankan dengan aturan buatan manusia. Pelan tapi pasti, gagasan ini tak hanya mengebiri Islam yang sejatinya merupakan Ideologi.

Islam pun berubah jadi sekedar agama ruhiyah dan dihilangkan dari sisi politisnya sebagai solusi seluruh aspek kehidupan.
Demikian pula pendidikan akan dijauhkan dari urusan agama. Padahal pendidikan adalah pilar kebangkitan Islam, dari sana akan terlahir generasi cemerlang yang bangkit pemikirannya, dengan segenap ketakwaanya mereka siap berkontribusi secara maksimal untuk membangun peradaban. Begitupun dalil-dalil syariat yang menjelskan tentang keutamaan ilmu, menjadikan pendidikan tempat untuk mendulang pahala yang berlimpah.

Dalam kitab Nidzom Al-Islam, yang ditulis oleh Syekh Taqiyudin An-Nabani digambarkan secara umum kebijakan pendidikan Islam, yaitu : 
Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. 
Mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut.

Politik pendidikan adalah membentuk pola pikir dan pola jiwa Islami (saksiyah Islamiyah).
Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.

Waktu pelajaran untuk ilmu-ilmu Islam dan bahasa arab yang diberikan setiap minggu harus disesuaikan dengan waktu pelajaran untuk ilmu-ilmu lain.
Ilmu-ilmu tsaqofah diberikan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat aliyah sesuai dengan rencana pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsep dan hukum Islam.

Di tingkat perguruan tinggi ilmu-ilmu tsaqofah boleh di ajarkan secara utuh seperti halnya ilmu pengetahuan yang lain asalkan tidak menyimpang dari setrategi dan tujuan pendidikan.
Kurikulum pendidikan hanya satu baik sekolah negeri /swasta. 
Hanya saja pendidikan di sekolah tidak boleh bercampur baur antara laki-laki dan perempuan baik dikalangan murid atau pun guru. 
Juga tidak boleh dikhususkan untuk kelompok ,mazhab, agama, ras, atau warna kulit tertentu.

Pengajaran hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya merupakan kewajiban negara harus terpenuhi bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Negara wajib menyediakan untuk seluruh warga secara cuma-cuma. 
Dan kesempatan pendidikan tinggi dibuka luas dan fasilitas yang baik secara gratis. 

Negara Islam menyediakan perpustakaan, laboratorium, sarana Ilmu pengetahuan lainnya, disamping gedung-gedung sekolah, universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fiqih, ushul fiqih, hadist, dan tafsir, termasuk di bidang Ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, penemuan-penemuan baru sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahidin dan para penemu.
Demikianlah sistem pendidikan di bawah Khilafah. Dengan pendidikan islam inilah akan melahirkan pendidik dan generasi cemerlang yang mampu menaklukkan peradaban.


Wallahu alam bish-sawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak