Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Kasus virus corona atau covid-19 kembali menerpa dunia. Pasalnya Negara China telah ditemukan hampir 200 kasus covid
-19 lokal dalam seminggu terakhir. Tak hanya China, sejumlah Negara Eropa juga mengalami kasus covid-19 yang semakin melonjak dalam seminggu terakhir.
Ini telah membuat Negara itu mengunci tiga kota. Usai mengunci Kota Eijin di Provinsi Mongolia Dalam dan Lanzhou di Provinsi Gansu, China mengunci kota Heihe di Provinsi Heilongjiang. Sebanyak 1,6 juta penduduk dan meminta warga tinggal di rumah dan dilarang bepergian kecuali mendesak di wilayah yang berbatasan dengan Rusia itu.
https://makassar.terkini.id/waspada-kasus-covid-19-kembali-melonjak-di-sejumlah-negara/
WHO mengakui bahwa pandemi masih jauh dari kata selesai. Banyak negara mengalami ledakan baru
Ini menegaskan kegagalan WHO yang menjadi rujukan dunia dalam penanganan pandemic karena perspektif kapitalistiknya.
Kebijakan yang terus bersandar pada kepentingan ekonomi nyatanya tidak mampu menghilangkan kasus covid ini dari berbagai negara di dunia.
Meski terdapat tren penurunan kasus, tetapi tak sedikit yang memperingatkan agar masyarakat tetap waspada. Peluang terjadinya ledakan kasus baru yang disebut sebagai ancaman gelombang ketiga Covid-19 nyatanya mengancam di depan mata. Dalam keterangan tertulisnya, ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, sempat mengingatkan agar masyarakat tetap berhati-hati dalam menanggapi penurunan kasus Covid-19. Apalagi program vaksinasi belum mencapai 50% penduduk Indonesia. Selain itu menurutnya, protokol kesehatan dalam satu kegiatan bukanlah sebuah jaminan.
Protokol kesehatan akan berfungsi efektif ketika data-data atau indikator tracing, testing, dan treatment (3T) memang sudah kuat. Senada dengan Dicky, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban pun mengingatkan, pandemi Covid-19 di Indonesia sangat fluktuatif dan dinamis, sehingga kebijakan pelonggaran bisa mengakibatkan kasus Covid-19 lebih banyak dan malah terjadi hiperendemi.
Sebagai contoh munculnya kluster sekolah akibat dibukanya kembali pembelajaran tatap muka (PTM). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menemukan 1.000 lebih sekolah yang menjadi klaster penularan Covid-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Berdasarkan data dari survei internal Kemendikbudristek yang dipublikasikan pada laman “kemdikbud.go.id”. per Kamis, 23 September 2021, tercatat ada 1.303 sekolah menjadi klaster Covid-19 atau 2,77 persen dari 47.005 sekolah yang mengisi survei. Dari angka tersebut, tercatat ada 7.287 guru dan 15.456 siswa terpapar virus corona. (Liputan6.com, Jakarta).
Berbeda dengan sistem Islam dan khilafah yang bersandar pada wahyu, penyelamatan nyawa di atas kepentingan ekonomi yang menghantar pada konsistensi mengambil pendapat ahli dalam penyelesaian wabah.
Khilafah akan menjadi leader dalam mencontohkan penanganan pandemic tanpa kebijakan pelonggaran karena factor ekonomi dan tidak ada hambatan melakukan 3T karena kurangnya biaya atau terjadinya ketimpangan vaksin akibat dominasi negara produsen yang mendulang keuntungan.
Menurut Dicky, secara spesifik mengungkap bahwa walaupun Indonesia tengah mengalami penurunan kasus, prediksi gelombang ketiga pandemi Covid-19 akan terjadi akhir Desember 2021 hingga awal Januari 2022. Puncak gelombang ketiga ini terjadi sekitar awal Januari 2022. (merdeka, 1/10/2021).
Prediksi ini berdasarkan sejumlah hal, di antaranya mobilitas yang meningkat, hingga testing dan tracing yang masih rendah. Vaksinasi yang belum kuat, berbagai pelonggaran di sejumlah area, termasuk potensi varian Delta Plus dan kondisi libur panjang pada akhir tahun menjadikan peluang gelombang ketiga benar-benar di depan mata.
Singapura yang telah memvaksinasi 82% warganya saja kini tengah mengalami gelombang ketiga. Oleh karenanya, Indonesia yang belum sampai 30% ini tentu patut waspada.
Meskipun jumlah kasus tidak akan sebesar gelombang kedua, tetapi angka kematian tetap akan cukup tinggi. Hal ini lantaran wilayah yang terprediksi terjangkit—pedesaan dan wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali—masih belum memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Belum lagi testing yang buruk menyebabkan virus terus menjalar dan pertumbuhan varian Delta Plus tidak terdeteksi.
Jika kita perhatikan, terjadi pelonggaran-pelonggaran seperti di sektor pariwisata yang hampir di seluruh kota telah buka 100%. Mulai ada gelaran konser musik, seremonial pernikahan, hingga pilkada yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Pembelajaran tatap muka (PTM) yang telah dinanti-nantikan anak sekolah pun kembali berisiko tinggi untuk berlanjut. Karena hulunya sangat longgar, yaitu mobilitas masyarakat.
Selain itu, problem program vaksinasi seperti minimnya persediaan dan birokrasi yang buruk menyebabkan makin cepatnya laju varian baru. Walaupun varian Delta Plus AY.4.2 yang dunia takuti belum masuk ke Indonesia, tetapi varian delta di Indonesia telah bermutasi menjadi 22 turunan. Artinya, sebenarnya telah ada 22 varian Delta Plus di Indonesia. (Kompas, 1/11/2021).
Menurut para pakar, skenario terburuk Covid-19 akan berakhir pada 2025. Skenario terbaik selesai pada 2022. Tentu kita berharap dan berdoa agar dunia mendapatkan skenario terbaiknya di 2022 nanti. Namun demikian, skenario terbaik akan kita dapat jika dunia menyelesaikan masalah pandemi dengan cara terbaik pula, yaitu fokus pada keselamatan manusia. Namun, sungguh sayang, selama solusi itu datang dari ideologi kapitalisme yang cacat, usia pandemi akan makin panjang.
Tingkat kerusakan akibat pandemi akan makin besar. Sebab, fokus kerja ideologi ini bukanlah nyawa manusia, melainkan kepentingan korporasi besar. Berdasarkan hal itu, tidak aneh jika vaksin terus menjadi bisnis negara-negara makmur.
Negara miskin yang tidak bisa memproduksi vaksin lantaran hak paten ada di negara makmur, harus rela “dipermainkan”. Akhirnya, stok vaksin di negara miskin menipis dan membuatnya tidak bisa keluar dari pandemi.
Padahal, dunia benar-benar membutuhkan kondisi steril dari virus di setiap tempat, agar virus bisa selesai berkembang biak.
Andai saja negara makmur memasifkan pertolongannya pada negara miskin atau mencabut hak paten vaksin sehingga negara miskin bisa memproduksi vaksin, mungkin umur vaksin akan makin pendek. Lihatlah, akibat bisnis vaksin, virus kembali menyerbu negara makmur karena mobilitas manusia tidak bisa terhindarkan.
Ini baru persoalan vaksin, belum persoalan lainnya seperti keuangan negara. Ideologi kapitalisme menjerat negara miskin untuk menggantungkan keuangan negaranya pada utang dan pajak. Sumber daya alam dan kekayaan lainnya yang harusnya bisa menjadi sumber keuangan negara miskin justru terkeruk habis oleh korporasi asing. Walhasil, penyelesaian pandemi yang membutuhkan dana begitu besar menjadi tersendat. 3T (testing, tracing, treatment) tidak bisa berjalan masif akibat kekurangan dana.
Negara miskin tidak memiliki dana untuk melakukan itu semua, bahkan subsidi bagi rakyat yang kelaparan pun sangat minim, bahkan tidak punya. Belum bicara soal para pejabat pemburu rente yang dengan sadisnya mengorupsi dana hasil pinjaman dari negara makmur. Para pejabat seperti inilah yang lahir dari sistem demokrasi berasaskan kapitalisme sekuler. Mereka adalah pejabat ruwaibidhah (bodoh) yang tidak mengerti permasalahan sehingga menyelesaikan persoalan bukan merujuk pada pakar, tetapi pada “tuannya”.
Pandemi yang berlarut-larut telah menegaskan kegagalan WHO dalam menyelesaikan permasalahan pandemi. WHO dengan perspektif kapitalismenya telah menjadi rujukan seluruh negara dalam menangani pandemi. Misalnya saja solusi “new normal” yang WHO sarankan kala Covid-19 belum reda, lebih terlihat untuk mengakomodasi teriakan korporasi daripada menyelesaikan problem pandemi. Jauh berbeda dengan sistem Islam yang bersandarkan pada wahyu.
Penyelesaian pandemi adalah upaya penyelamatan nyawa manusia di atas kepentingan segalanya, termasuk ekonomi. Pengambilan keputusan semata berdasarkan pendapat para pakar untuk menyelesaikan pandemi. Ekonomi akan bangkit seiring terselamatkannya nyawa manusia. Kebijakannya pun akan konsisten berfokus pada penyelamatan nyawa.
Selain itu, sistem Islam melahirkan para pejabat yang fokus kerjanya adalah mengurusi umat. Mereka merupakan orang-orang yang paham cara mengurus umat dan menerapkan syariat Islam dengan sempurna. Khilafah dengan ideologi Islamnya akan menjadi leader dalam mencontohkan penanganan pandemi.
Khilafah tidak akan melakukan pelonggaran-pelonggaran yang dapat memicu potensi kerumunan hanya karena faktor ekonomi. Dengan kekuatan keuangannya yang berasal dari Baitulmal, Khilafah akan mampu memasifkan 3T sehingga pandemi akan cepat tertangani. Khilafah akan menutup tempat-tempat bersarangnya virus sehingga virus tidak akan menyebar ke pelosok.
Kekuatan keuangan yang Khilafah miliki juga akan mampu membantu memenuhi kebutuhan warga dalam masa karantina. Terkait permasalahan vaksin, Khilafah akan berupaya menemukan vaksin dan memproduksinya secara masif, kemudian mendistribusikannya ke seluruh dunia. Khilafah akan mengecam dan mengambil tindakan kepada negara produsen vaksin yang tak mau bekerja sama untuk memberantas pandemi. Hal ini karena wabah hanya akan berakhir jika virus sudah tidak ada lagi di muka bumi.
Semua kebijakan Khilafah dalam menyelesaikan permasalahan pandemi ini ditopang oleh keuangan yang kuat dan stabil. Haram bagi swasta atau asing untuk menguasai kepemilikan umum sehingga menjadikan sumber keuangan negara melimpah ruah. Inilah gambaran Khilafah dalam menyelesaikan pandemi yang tidak akan ada dalam sistem kapitalisme yang sedang memimpin dunia saat ini. Dengan demikian, urgen sekiranya kaum muslimin berjuang menegakkan Khilafah agar umat manusia kembali dalam kehidupan normalnya, yaitu tanpa virus dan hidup sesuai tuntunan Allah Swt agar mampu menggapai ridha-Nya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini