Tes PCR, Ladang Profit Kapitalisme





Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban


Tes PCR (Polymerase Chain Reaction) kembali booming dikarenakan kebijakan pemerintah terbaru yang mewajibkan calon penumpang pesawat yang mulai menerapkan 100 persen ketersediaan tempat duduk. 

Hal ini menimbulkan banyak protes, sebab sangat memberatkan bagi penumpang yang mobilitasnya tinggi, apalagi jika sudah vaksin, sebagaimana dalam kebijakan sebelumnya yang mencukupkan vaksin sebagai syarat perjalanan. 


Sekalipun pemerintah sudah menetapkan harga tes PCR sebesar Rp 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp 300 ribu untuk luar Jawa-Bali. Tetap saja menuai pro dan kontra, sebab moda transportasi lain tidak mensyaratkan tes yang sama, terlebih jumlah manusia yang kelak berkerumun pun tak terbatas (detik.com, 5/11/2021). 

Ditengah-tengah pro dan kontra muncul berita yang lebih mengejutkan, dimana dua menteri kabinet Joko Widodo terlibat bisnis PCR. Presiden Joko Widodo pun mendorong aparat penegak hukum untuk melakukuan investigasi atas bisnis PCR yang diduga melibatkan menteri-menterinya.
 

Menurut presiden Ini penting sebagai bentuk komitmen Presiden Jokowi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Pengamat Politik Ray Rangkuti dalam Webinar Gerakan untuk Indonesia yang Adil dan Demokratis (GIAD) juga mendukung tindakan Presiden ini, “Mendorong aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi atas isu kaitan bisnis PCR dengan kekuasaan,” kata Ray. “Termasuk di dalamnya membongkar kemungkinan adanya mafia yang menyusup dalam usaha pengadaan PCR dan umumnya ke seluruh proses pengadaan penanganan Covid-19.”(kompas.tv, 5/11/2021). 

Bukan hal yang mengejutkan jika kebenaran atas tuduhan keterlibatan dua menteri ini terungkap, selama kita masih menggunakan aturan kapitalisme, maka kasus seperti ini akan lebih sering muncul. Setiap orang berusaha mencari maslahat sendiri untuk dirinya sendiri tak terkecuali penguasa. 

Sebagai penguasa, sistem kapitalisme memang tak menjadikannya berbeda, dengan asas manfaatnya maka setiap mereka yang memiliki kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan partai, kelompok maupun pribadi. 

Hal ini karena hak kepemilikan umum, individu dan negara tidak jelas pemisahan dan peruntukannya. Siapa saja yang berkapital atau bermodal boleh mengakses seluas mungkin sarana dan prasarana ekonomi. Tak terkecuali aspek kesehatan akan dikaitkan dengan perekonomian. 

Akibatnya hubungan negara dengan rakyatnya bukanlah hubungan riayah ( pengurusan) melainkan transaksional. Dimana kebutuhan rakyat untuk sejahtera itu tergantung deal bisnis. Jika dirasa menguntungkan maka rakyat akan difasilitasi, namun jika tidak, subsidi ataupun bantuan sosial akan ditarik, karena dianggap malah membebani rakyat dan tidak tepat sasaran. 

Apapun yang diklaim penguasa untuk kesejahteraan rakyat adalah omong kosong, sebab di sisi lain, pemerintahlah yang paling membebani rakyat, dengan biaya kebutuhan pokok yang tinggi, kewajiban membayar pajak berikut membayar utang negara kepada asing. 

Ibarat rakyat yang busung lapar, namun masih harus berkewajiban menyuapi negara dengan darah, tenaga dan waktu rakyat. Sangat bertolak belakang dengan bagaimana pengaturan Islam.

Islam adalah agama yang sempurna, selain mengatur urusan akidah, juga masyaallah syariat. Yang dengannya masyarakat akan sejahtera. Tak ada pejabat ataupun perusahaan negara yang berusaha memenuhi target pelayanan kepada rakyat. 

Syariat Islam menentukan bahwa kebutuhan pokok rakyat sebagai kewajiban negara. Ada 6 kebutuhan pokok yang harus dijamin negara keterpenuhannya, individu per individu, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Salah satu tak terpenuhi hingga dalam taraf rakyat tak mampu lagi mengaksesnya atau malah bersengketa maka dosa yang besar bagi negara dan pemimpinnya.

Dan memang hal itu butuh kesiapan negara dari sisi materi dan non materi. Maka butuh sistem keuangan yang mendukung tujuan penguasa mampu terlaksana. Dalam Islam Baitul Mallah yang dimaksud. 

Sejak zaman Rasulullah, jaminan negara atas kesejahteraan rakyaknya adalah fakta yang terbantahkan. Rasulullah pernah memberi dokter pribadi beliau hadiah dari raja Kisrah kepada rakyat, demikian pula beliau pernah membagi emas hingga tak tersisa secuilpun di rumah beliau hanya karena takut pertanggungjawaban di hadapan Allah lebih berat. 

Akankah kita mendapatkan pemimpin yang layak di hati dan mampu menyayangi rakyatnya sebagaimana anaknya sendiri hari ini? Tentu tidak bisa, sebab pemimpin dalam Islam selalu mengedepankan takwa, sangatlah besar ketakutannya akan azab Allah, jika ada satu saja individu rakyat yang lapar , sakit, berutang dan lain sebagainya saat ia masih memegang tampuk kekuasaan. 

Materi dunia memang luar biasa sedotan magnetnya, kapitalisme tak lagi menempatkan rakyat sebagai individu layak, demikian pula dengan arti kebahagiaan. Bergeser sejauh-jauhnya dari yang seharusnya, sebab jika kesadaran akan urgensitas dipimpin oleh syariat Islam adalah kewajiban maka kapitalisme akan kehilangan taringnya. 

Tak akan ada penguasa yang berbisnis bahkan rakyatnya sendiri sebagai konsumennya kecuali dalam sistem bobrok ini, lantas, belum layakkah kita menggantinya dengan sistem yang lebih baik, yaitu Islam? Wallahu a'lam bish showab. 

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak