Oleh: Atik Hermawati
Dilansir dari BBC (16/10/2021), aplikasi Qur'an Majeed dihapus dari App Store di China atas permintaan otoritas setempat. Pemerintah China belum menanggapi permintaan komentar terkait hal ini. Perusahaan Apple mengatakan bahwa aplikasi ini memiliki hampir 1 juta pengguna di China. Pihaknya mengatakan harus mematuhi undang-undang setempat.
Selain itu dalam waktu hampir bersamaan, media asing AFP dan RFI memberitakan bahwa azan DKI Jakarta sangat berisik. Menurut mereka hal itu mengganggu waktu istirahat warga sekitar. Menanggapi hal itu, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Mukti Ali Qusyairi, mengatakan bahwa azan merupakan kalimat sakral untuk menganggungkan Allah SWT. Pihaknya sangat menyayangkan pemberitaan negatif tentang azan di sejumlah negara, bahkan ada yang menjadikan lelucon dengan menyanyikannya seperti musik remix DJ.
Selalu Berulang
Bukan hal yang aneh lagi, dalam sistem yang diterapkan sekarang di berbagai negara (Kapitalis maupun Sosialis), kemuliaan Islam kerap kali dinodai. Tak tanggung-tanggung, genosida pun dilakukan terhadap umat muslim di negeri minoritas seperti pada etnis Uighur. Simbol-simbol dan ayat-ayat suci sengaja dijadikan parodi demi eksistensi orang-orang jahil.
Penistaan akan kebenaran memang sudah sunatullah dan terjadi sejak zaman para nabi. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu" (QS. Al-An'am: 34).
Apalagi di dalam sistem liberal saat ini. Kebebasan bersuara dan berekspresi menjadi lahan subur penistaan Islam. Namun menjadi pembungkam bagi para penyeru kebenaran, Islam yang kaffah. Syariat Islam dituduh mengganggu keberagaman bahkan teror bagi umat lain.
Semua terjadi berulang bahkan bertambah subur. Semua itu karena umat muslim saat ini tidak mempunyai penjaga berupa institusi yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Jangankan yang minoritas, yang mayoritas seperti di negeri kita ini, pembegalan dan penghapusan ajaran Islam berangsur secara sistemik. Moderasi Islam digencarkan agar Islam tak mempunyai andil dalam mengatur kehidupan.
Para pelaku penistaan pun dengan bangga menunjukkan perbuatannya dalam merendahkan simbol maupun ajaran Islam sebagai testing in the water. Walaupun banyak pihak yang memprotes dan melaporkan, termasuk lembaga keagamaan sekalipun, tapi tetap saja pemerintah menganggap hal ini sepele. Jika ada permintaan maaf, cukup untuk dimaafkan. Hukuman setimpal hanyalah ilusi, dan penghinaan kembali terjadi di berbagai penjuru negeri.
Khilafah Menjaga Agama
Islam adalah ideologi yang memuat berbagai aturan dan hukum untuk memecahkan berbagai problematika manusia. Khilafah sebagai institusi yang berasaskan Islam sangat mudah menghentikan penistaan terhadap Islam dan tujuannya ialah melanjutkan kehidupan Islam. Jihad dan dakwah ke penjuru dunia semata-mata untuk meninggikan kalimat-Nya.
Sanksi yang tegas diterapkan demi mengadili orang-orang yang hina melecehkan Islam. Apabila istihza' bi ad-din (pelecehan terhadap Islam) baik sumber Islam, simbol-simbol, dan lainnya yang dilakukan oleh seorang muslim maka ia dianggap murtad. Imam An-Nawawi dalam Rawdah at-Thalibin (X/64) menyatakan, "Semua perbuatan yang pasti menyebabkan kufur adalah perbuatan yang lahir, baik dari kesengajaan atau pelecehan terhadap agama (Islam) yang nyata." Maka sanksinya adalah hukuman mati sebagaimana had ar-riddah apabila dia tidak bertobat dalam batas waktu yang ditentukan. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), bunuhlah dia" (HR. Muslim).
Apabila bertobat, sanksi lain sesuai ketetapan Khalifah dijatuhkan sebagai pelajaran, tentunya sesuai kadar penistaan yang dilakukan. Dalam Mughni al-Muhtaj, 5/438, Ash-Shaidalani menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertobat, tobatnya di terima dan tidak dihukum mati, namun tetap diberi 'pelajaran' dengan dicambuk 80 kali.
Jika pelaku penistaan ialah nonmuslim maka dilihat statusnya (ahludz-dzimmah atau bukan). Bagi ahludz-dzimmah maka statusnya dicabut, dihukum, atau diusir dari wilayah Islam. Kemudian jika bukan ahludz-dzimmah, maka ini menjadi alasan Khilafah untuk memerangi terhadap negara yang bersangkutan.
Begitulah saat Islam diterapkan kaffah. Penghapusan aplikasi Al Qur'an takkan terjadi, justru dakwah akan disebarkan ke berbagai negeri agar manusia bisa merasakan terangnya cahaya Islam. Nyawa manusia akan dilindungi baik muslim maupun non muslim. Dengan demikian, jika ingin tak terjadi lagi penistaan, tak ada jalan lain selain memperjuangkan Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini