Syariat Dijauhi, Liberalisasi Diapresiasi


Oleh Cahaya Septi

Pelajar dan Aktivis Dakwah



Dengan  alasan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Peraturan ini lahir didasari oleh banyaknya laporan pelecehan seksual yang dilakukan dosen, pegawai bahkan pejabat kampus terhadap mahasiswi. Permendikbud tersebut mendapat dukungan dari sejumlah kalangan, termasuk Menteri Agama Yaqut.Tetapi, beberapa pasal dalam peraturan tersebut dinilai banyak kalangan, terutama para tokoh dan ormas-ormas Islam, seperti MUI Pusat, justru melegalkan seks bebas.

 Permendikbud juga berpotensi memberikan perlindungan pada penyimpangan perilaku seksual seperti LGBT. Dalam Pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum bahwa kekerasan seksual meliputi: “menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.”

Begitu pula Satuan Tugas yang diarahkan oleh Permendikbud sebagai unit penanganan kekerasan seksual di kampus berpotensi hanya akan diisi oleh kaum feminis dan liberalis sebagai penafsir tunggal penanganan kekerasan seksual di kampus. 

 Permendikbud pun membantah adanya tudingan bahwa peraturan yang dikeluarkannya melanggar aturan agama, menurutnya tudingan tersebut adalah fitnah dan tidak masuk akal. Padahal tidak mungkin tokoh masyarakat dan lembaga Islam seperti MUI menyoroti kebijakan permen secara gegabah. Justru Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang sedari awal mengharamkan bentuk kekerasan dan penindasan pada umat manusia, termasuk melakukan tindak kejahatan seksual. Allah Swt. berfirman:

“Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi” (TQS an-Nur [24]: 33)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pada masa jahiliah, jika seseorang dari mereka mempunyai budak perempuan, dia melepaskan budak itu untuk berbuat zina (melacurkan diri) dan menetapkan atas dirinya pajak yang dia pungut di setiap waktu. Setelah Islam datang, Allah melarang orang-orang Mukmin melakukan hal-hal tercela tersebut.

Dalam Islam, penentu suatu tindakan kejahatan seksual adalah hukum syariah, bukan persetujuan manusia walaupun itu HAM. Menjadikan consent/persetujuan sebagai penentu kebolehan suatu hubungan seks di luar nikah adalah khas pemikiran kaum liberal yang sesat.

Dalam aturan Islam perzinaan atau hubungan sejenis adalah perilaku keji dan dosa besar yang dapat dikenai sanksi berat, seperti sanksi jilid, rajam, tazir dan hukuman mati. Tindak kejahatan seksual lain contohnya meraba, ujaran kata-kata kotor, merayu, dsb juga tidak lepas dari sanksi berupa ta’zir, yang akan diputuskan oleh qadhi (hakim) di pengadilan. Islam juga menutup celah-celah terjadinya kejahatan seksual di tengah masyarakat. Kaum pria dan wanita diperintahkan menutup aurat, menjaga pandangan, serta adanya larangan berkhalwat dengan alasan apapun. Karena itu tidak dibenarkan pria dan wanita berduaan di ruang tertutup dan sepi meski untuk alasan bimbingan skripsi, atau lainnya. Allah Swt berfirman:

“Janganlah seorang pria ber-khalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahram-nya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan."  (HR Ahmad)

wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak