Soal Pajak, Islam Punya Solusi



Oleh: Hamnah B. Lin

          Negara yang mengandalkan pendapatannya dari pajak dan hutang, maka sungguh akan membahayakan kedaulatan negaranya. Tapi faktanya pajak masih menjadi idola pendapatan di negeri ini, dan hutang secara gila-gilaan juga terus terjadi. Namun secara praktek, nyatanya ada segelintir kapitalis yang bebas dari membayar pajak, tapi rakyat susah dikejar-kejar agar membayar pajak.
         Adanya Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) yang merilis Pandora Papers berisi bocoran 11,9 juta catatan keuangan dengan fail sebesar 2,94 terabyte. Beberapa kalangan menyebut investigasi ICIJ ini sebagai penyelidikan terbesar di dunia karena melibatkan lebih dari 600 jurnalis dari 150 media di 117 negara yang mengungkap keterikatan kekuatan politik di dunia dan sistem keuangan di luar negeri secara rahasia. 
          Investigasi tersebut mendasarkan pada kebocoran data rahasia dari 14 perusahaan, yaitu perusahaan penyedia layanan offshore atau lintas batas profesional kepada individu dan perusahaan kaya yang ingin menggabungkan perusahaan cangkang, perwalian, yayasan, dan entitas lain di wilayah bebas pajak (Kompas, 4/10/2021).
         Dokumen tersebut mengungkap terdapat sekitar US$5,6—32 triliun total harta yang disembunyikan dari pajak. Ini belum termasuk barang berharga nonmoneter, seperti real estate, barang seni, dan perhiasan. 
         Sistem APBN demokrasi yang mengandalkan pajak dalam menjalankan pemerintahannya tentu sangat “merugi” dengan banyaknya harta yang lari. Karenanya, pajak yang seharusnya bertumpu pada orang-orang kaya, kini beralih pada masyarakat biasa. Belum lagi perusahaan-perusahaan besar yang sering kali mendapat pengampuan pajak, menjadikan beban pajak lagi-lagi teralih pada masyarakat.
          Namun jika mengandalkan rakyat kecil, yang sudah banyak beban dalam kehidupannya, mulai dari banyaknya PHK, ekonomi hancur, hingga kebutuhan pokok tak tercukupi. Akhirnya, pemerintah menutupi APBN dengan hutang luar negeri.
          Hutang luar negeri menyebabkan kuatnya intervensi asing. Sehingga setiap kebijakan yang ada, adalah hasil dari instruksi penghutang. Penguasa tak memiliki pilihan selain mengakomodir seluruh kepentingan para pemilik modal. Sementara, kepentingan korporasi adalah profit yang melimpah, tak peduli akan nasib rakyat kebanyakan.
         Inilah fenomena kejadian bocornya data yang akan terus terulang, dimana pada tahun 2016 panama papers juga akhirnya terbongkar banyak pada tahun itu.
          Tak bisa dipungkiri pada sistem politik demokrasi sekarang ini membuka celah sebesar-besarnya bagi para pejabat untuk menyalahgunakan wewenangnya. Korupsi pun makin tak terbendung. Oligarki makin kuat mencengkeram pemerintahan. Harta para pejabat yang melimpah akan kuat terlindungi dan terbebas dari pajak. Inilah penyakit bawaan demokrasi kapitalisme, menyebabkan harta berputar pada segolongan elite kekuasaan saja. Rakyat yang tak bisa mencukupi kebutuhan pokoknya terpaksa membayar pajak untuk menopang roda pemerintahan. Walhasil, permasalahan multidimensi terus terjadi lantaran pemerintah—yang seharusnya menjadi institusi pelindung dan pengurus umat—nyatanya sibuk mengurusi korporasi dan oligarki.
          Maka sudah seharusnya kita beralih pada sebuah sistem yang mampu menyelesaikan permasalahan manusia secara benar dan mendapat ridha-NYA. Karena sistem demokrasi nyata-nyata terus membawa kesengsaraan yang tak berkesudahan.
          Yakni Islam sebuah sistem yang berasal dari Allah SWT, mempunyai mekanisme yang tepat dan cerdas karena tertunjuki oleh Sang Pencipta. Pengelolaan harta kaum muslimin ada pada suatu struktur, yakni Baitulmal. Di sana terdapat harta yang Allah Swt. perbolehkan bagi kaum muslimin dan menjadi pemasukan Baitulmal.
         Pajak sendiri memang boleh menjadi sumber pemasukan Baitulmal. Namun, terdapat syarat dan ketentuan yang berlaku, sehingga dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama dan rutin bagi pemasukan negara. Sumber pemasukan utama dan rutin itu meliputi fai, kharaj, ‘usyur, dan harta milik umum yang beralih menjadi milik negara. Semua sumber pemasukan tersebut cukup untuk membiayai pengeluaran yang diwajibkan atas Baitulmal untuk membiayainya, sehingga negara tidak harus terus memungut pajak atas kaum muslimin. Akan tetapi, hanya pada kondisi ketika Khilafah sedang memiliki beban ekonomi yang berat, sehingga seluruh sumber pemasukan Baitulmal dan sumbangan dari kaum muslim juga tidak mencukupi. Barulah saat itu kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan beserta pos pengeluaran terbebankan kepada kaum muslim dalam bentuk pajak.
            Pungutan pajak itu bersifat temporer. Bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan utama negara. Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitulmal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara seperti dalam sistem kapitalisme. Objek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Nonmuslim (ahludz dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga muslim yang kaya saja. Sabda Nabi saw.,  "Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya.” (HR al-Bukhari).
         Maka dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan. Para penguasa pun akan legawa ketika diingatkan akan kewajiban mereka untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh memenuhi hajat rakyat. Mereka takut jika sikap melalaikan kewajiban tersebut akan berbuah siksa pada Hari Akhir. Maka sudah tidak perlu lagi ragu dalam memperjuangkan Islam, karena Islam membawa kebaikan dalam seluruh spek kehidupan. 
Wallahu a'lam biashawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak