Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Urusan negosiasi utang PT Garuda Indonesia sebesar Rp70 triliun masih saja menggantung. Beberapa opsi telah dilontarkan, namun pro kontra antara manajemen, karyawan dan publik masih terjadi.
Menurut pengamat penerbangan, Ziva Narendra Arifin, nasib keuangan Garuda berdarah-darah. Membengkaknya pengeluaran membuat Garuda hilang arah. Mulai dari masalah penyewaan pesawat, tranportasi kru hingga perbaikan terlalu banyak. Bahkan mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan dalam tulisannya menyampaikan, maskapai itu utang Rp12 Triliun kepada Pertamina. Melihat amburadulnya pengelolaan, bagaimana nasib maskapai kebanggaan bangsa?
Kesalahan pengelolaan keuangan memperlihatkan ketidakbecusan kepengurusan maskapai tersebut. Sebuah maskapai besar, bisa memiliki utang triliunan merupakan hal yang memalukan. Apalagi Garuda adalah maskapai yang dinilai mempunyai pelayanan yang eksklusif dengan harga yang lumayan tinggi. Mari kita membayangkan, utang yang fantastis itu dapat dibayar pakai apa? Di sisi lain, maskapai itu mengalami kerugian terus-menerus. Jikalau negara membantu menutup utang, dari mana pula uangnya? Karena keuangan negara sendiri kocar-kacir gali lubang tutup lubang.
Di sisi lain, kebanggaan itu ternyata hanya pepesan kosong. Pilihan penyelesaian lainnya adalah dengan menjual maskapai itu. Uang yang diperoleh dapat dipakai menutup utang. Dengan begitu, beban negara pada masalah Garuda bisa diselesaikan. Tapi, kalau itu benar terjadi, siapa yang akan membeli? Siapa lagi kalau bukan para kapital (pemilik modal). Walhasil, Garuda akan menjadi milik swasta.
https://www.metrotvnews.com/play/NG9CaMeZ-nasib-garuda-indonesia-di-ujung-tanduk
Krisis Garuda Indonesia akibat utang menumpuk menunjukkan salah Kelola industri vital oleh negara.
Berbagai skenario baik restrukturisasi utang atau mempailitkan-dan menggantikan dengan maskapai lain sebagai flag carrier (maskapai resmi negara) tidak menjadi solusi selama belum ada perubahan paradigma pengelolaan.
Sedari awal BUMN di negeri ini dikelola dengan prinsip kapitalisme-neoliberal dimana asaet BUMN diperjualbelikan dengan mudah, siapa pemilik modal besar dialah pemilik sesungguhnya.
Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang akan memuluskan jalan para korporasi untuk menguasai aset strategis negara. BUMN bukan milik negara lagi, melainkan milik segelintir orang hingga sesuka hati dalam mengelolanya.
Saat BUMN untung mereka yang menikmati, sementara saat merugi dan berutang rakyatlah yang diminta menyelamatkan BUMN, mirisnya rakyat tidak pernah menikmati pelayanan terbaik dari BUMN yang dimiliki oleh negara. Inilah sistem kapitalis yang menjalankan konsep hurriyah milkiyah atau kebebasan kepemilikan.
Konsep ini telah membebaskan manusia bisa memiliki apa pun dengan sebab kepemilikan apa pun.
Berbeda dengan Islam, dimana Islam memposisikan transportasi udara merupakan kebutuhan publik, bahkan Islam juga memandang negara merupakan pihak yang bertanggung jawab langsung menjamin pemenuhan akses setiap orang transportasi udara yang murah, aman, nyaman, dan manusiawi.
Seperti yang ditegaskan oleh Rasulullah " Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya,"(HR. al-Bukhari).
Sebagaimana perbuatan Rasulullah saw Beliau pengatur langsung departemen-departemen, Rasulullah melakukan pengangkatan sekertaris untuk pengurusan administrasi.
Rasulullah mengatur kemaslahatan publik di Madinah termasuk masalah transportasi publik.
Jadi haram negara berfungsi hanya sebagai regulator yang mengomersilkan hajat hidup masyarakat apapun alasannya.
Islam juga telah menetapkan
industri vital penerbangan ini adalah milik umum, sedangkan moda transportasi dan asetnya adalah milik negara yg harus dikelola sebagai milik rakyat, bukan ditangani dengan pengelolaan swasta yang berhitung komersialisasi, untung, rugi.
Semua aset vital penerbangan wajib dikelola oleh negara dan dipakai untuk kebutuhan rakyat sehingga memungkinkan bagi rakyat untuk menikmatinya secara gratis. Kalaupun rakyat membayar, rakyat hanya mengganti biaya perawatannya saja.
Dalam membangun moda transportasi udara dan membiayai operasionalnya digunakan anggaran yang bersifat mutlak. Artinya, ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan transportasi udara yang murah dan gratis, berkualitas bagi semua orang harus tetap terlaksana.
Keuangan negara Islam bersumber dari beberapa pintu. Antara lain adalah hasil pengelolaan SDA, jizyah, kharaj, fai, ghanimah, harta tak bertuan, dll, serta semua pemasukan tadi untuk kebutuhan rakyat.
Salah satunya untuk membangun maskapai penerbangan.
Pembiayaan diperuntukkan untuk pengadaan pesawat secara memadai dari aspek kualitas dan kuantitas, bahan bakar minyak penerbangan, bandara beserta kelengkapan fasilitasnya, dan sumber daya manusia penerbangan yang mumpuni.
Sehingga meniscayakan terwujudnya kemandirian negara sehingga tidak bergantung pada swasta atau asing yang meliputi ;
1. Kemandirian bahan bakar minyak penerbangan.
2. Kemandirian teknologi dirgantara dengan berbagai aplikasinya.
3. Kemandirian sumber daya manusia penerbangan.
4. Kemandirian standarisasi.
Hanya saja, semua aspek ini bisa dipenuhi oleh negara yang visioner dan dengan fungsi-fungsi politiknya yang shahih. Yakni, negara Khilafah.
Kepiawaian negara Islam (Khilafah) dalam mengurusi kebutuhan rakyat serta membuat dan membangun sarana transportasi beserta kemajuan teknologi tidak bisa diragukan lagi.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini