Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, menandatangani Peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi.
Hal ini dilakukan terkait banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Yang ironisnya itu dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya yang sedang tugas bimbingan akhir dan skripsi. Hal ini seperti disampaikan oleh koordinator Forum Perempuan BEM SI, Zakiah Drajat. Bahkan ketua komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, pernah melihat sendiri kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. (Detik.com, 6/11/2021)
Terkesan Permen PPKS tersebut bertujuan baik yaitu untuk mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun ternyata hal ini justru malah mendapat kritikan dari beberapa pihak. Salah satu kritikan disampaikan oleh Partai Keadilan Sosial (PKS). Ketua PKS Mardani Ali Sera menilai bahwa peraturan menteri itu tidak tepat, karena Undang-undang yang menjadi landasan hukumnya belum ada. Beliau juga menganggap bahwa peraturan menteri ini pun jauh dari nilai-nilai pancasila, bahkan cenderung mengarah pada nilai-nilai liberalisme.
PKS juga tidak setuju dengan aspek consent atau persetujuan yang menjadi syarat aktivitas seksual. Sebab consent atau persetujuan adalah tindakan atau perilaku tersebut akan masuk dalam konteks kekerasan seksual jika tidak ada persetujuan dari korban. Jadi jika dilakukan suka sama suka, maka itu boleh dan tidak dianggap kekerasan seksual.
Penolakan juga dilakukan oleh Majelis Ormas Islam (MOA), yang beranggotakan 13 ormas Islam Indonesia. MOA menilai, bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalkan perzinahan serta akan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus. (Republika.co.id, 4/11/2021).
Mendikbudristek Nadiem Makarim bahkan menegaskan ada sanksi bagi pihak yang melanggar Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satunya adalah penurunan akreditasi kampus.
Hal tersebut dipaparkan Nadiem dalam tayangan 'Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual' yang disiarkan kanal YouTube Kemendikbud RI seperti dilihat detikcom, Senin (15/11/2021).
Nadiem awalnya bicara soal sanksi bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dia mengatakan sanksi yang bakal diberikan tergantung dari pelanggaran yang terjadi.
"Sanksi ringan yaitu formatnya seperti teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf, sampai dengan sanksi berat. Sanksi administrasi terberat adalah pemberhentian, misalnya sebagai mahasiswa atau sebagai jabatan dosen dan lain-lain," ujar Nadiem.
Nadiem mengatakan pelaku yang mendapatkan sanksi ringan dan sedang wajib mengikuti program konseling sebelum kembali beraktivitas di kampus. Biaya konseling ditanggung pelaku.
"Laporan hasil konseling menjadi dasar pimpinan perguruan tinggi untuk menerbitkan surat bahwa pelaku sudah melaksanakan sanksi yang dikenakan," tuturnya.
Dia kemudian mengatakan ada juga sanksi bagi perguruan tinggi yang tidak menjalankan Permendikbud 30 tahun 2021. Salah satunya adalah penurunan akreditasi.
"Sanksi untuk perguruan tingginya, sanksi administratif ya. Di mana kalau tidak melakukan proses PPKS ini sesuai Permen ini ada berbagai macam sanksi dari keuangan sampai akreditasi. Jadi ada dampak real-nya. Kalau kita tidak melaksanakan ini, banyak kampus tidak merasakan urgensi daripada keseriusan pemerintah menangani kekerasan seksual ini," tuturnya.
Sanksi bagi pihak perguruan tinggi itu tertera dalam Pasal 19 Permendikbud 30 tahun 2021. Berikut isinya:
Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi dan/atau
b. penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi.
Padahal sejatinya, Permen ini justru akan membahayakan para mahasiswa, sanksi bagi Perguruan Tinggi ini menunjukkan bahwa Permen ini tidak hanya mendorong liberalisasi seksual di kampus, namun juga menegaskan represi rezim agar semua institusi Perguruan Tinggi mengikuti tanpa ada celah mengkritisi, begitu pula sikap rezim yang mengabaikan kelompok masyarakat yang mengkritisi hingga menolak permen liberal ini justru menjadi bukti bahwa tujuan pemberlakuan bukanlah memberantas kekerasan seksual di kampus, namun lebih dominan menjadi alat makin mengokohkan paradigma kesetaraan gender dan liberal pada berbagai lini.
Inilah pemandangan yang terus dipertontonkan akibat sistem kapitalisme sekuler liberal yang ada pada saat ini, paham pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas manusia bebas untuk berperilaku, termasuk dalam hal perzinahan. Jika perbuatan asusila dilakukan secara suka sama suka maka hal itu tidak dikatakan sebagai pelaku kekerasan seksual atau pun zina, sementara ketika ada yang merasa dipaksa atau tidak mendapat persetujuan dari korban barulah dikatakan telah melakukan kekerasan seksual.
Sementara tidak adanya sanksi yang tegas juga semakin menjadikan perbuatan zina ini seolah menjadi hal yang biasa. Bahkan tidak malu-malu lagi pemuda pemudi berduaan di tempat umum sekalipun.
Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya insan yang memiliki tsaqofah Islam malah difasilitasi dengan kebijakan yang akan semakin menjerat mereka dalam liberalisasi seksual yang telah mengepung para pemuda dan pemudinya.
Allah Swt. berfirman : "Dan janganlah kamu mendekati zina. Zina itu sungguh perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Al-Isra : 32).
Dari ayat ini kita bisa ambil kesimpulan, bahwa mendekati zina saja dilarang, apalagi melakukannya. Salah satunya adalah pacaran yang jelas-jelas menjadi pintu masuk dalam rangka mendekati zina, sebab pacaran yang dilakukan remaja saat ini salah satunya adalah berkhalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), bersentuhan kulit, berpelukan, bahkan ada yang lebih dari itu. Dengan kata lain pacaran jelas dilarang di dalam Islam karena termasuk ke dalam perbuatan zina.
Sementara Islam sangat tegas melarang manusia berzina. Di dalam surat An Nur ayat 2 Allah berfirman yang artinya, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu kasihan kepada keduanya, di dalam menjalankan ketentuan agama Allah yaitu jika kamu beriman pada Allah dan hari akhir. Hendaklah dalam melaksanakan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang orang beriman."
Terkait dengan ayat di atas, Rasulullah saw. pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa apabila pelaku zina itu sudah pernah menikah sebelumnya (muhsan), maka akan dirajam sampai mati. Sementara jika pelaku zina belum pernah menikah sebelumnya (ghairu muhsan) maka akan dicambuk seratus kali.
Itulah cara Islam menegakkan hukum bagi pelaku zina agar ada efek jera bagi pelaku zina. Dengan adanya sanksi yang tegas tersebut, maka masyarakat akan berpikir ulang ketika hendak melakukan perbuatan zina. Tentunya ini dilakukan jika terdapat saksi yang benar-benar melihat perzinahan yang terjadi. Hukum Islam tersebut hanya dapat dilakukan ketika ada institusi negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah yaitu sistem khilafah.
Jangan sampai zina itu merebak dan akan mendatangkan azab Allah. Seperti yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi dan Ath Thabrani, jika zina dan riba telah menyebar di suatu masyarakat, maka itu artinya mereka telah menghalalkan turunnya azab Allah Swt. Nauzubillah..
Di sisi lain, sistem pendidikan dalam Khilafah menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam, semua upaya dalam mekanisme pembelajaran tidak akan melenceng dari tujuan kurikulum tersebut yakni membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, handal menguasai pemikiran dan tsaqofah Islam, menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK, serta memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Terlebih lagi, Negara Islam (Khilafah) yang menerapkan syariat Islam secara kaffah pastilah akan menjaga lingkungan sosial, masyarakat, dan keluarga. Kondisi lingkungan sosial adalah kondisi Islami dan fastabiqul Khairat, dimana masyarakat akan dijauhkan dari gaya hidup materialis, liberalis, dan hedonis. Masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang taqwa dan gemar melakukan amar ma'ruf nahi mungkar.
Wallahu alam bisa-sawab
Tags
Opini