Oleh Sumiati
Ibu Rumah Tangga
Sejak menteri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Makarim mengeluarkan permendikbud nomor 30 tahun 2021, banyak masyarakat dan ormas Islam bersuara untuk mencabut Permendikbud tersebut. Bagaimana tidak, isi dari Permen tersebut ditafsir dapat melegalkan zina di lingkungan pendidikan. Berawal dari keprihatinannya terhadap orang-orang yang menjadi korban pelecehan seksual di kampus yaitu para dosen mereka tidak berani untuk menyuarakan bahwa mereka adalah korban.
Seperti dilansir di Liputan 6 oleh Nadiem ketika ditanya pada dosen-dosen dalam acara bertajuk "Merdeka Belajar episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual ", apakah ada kekerasan seksual? ternyata jawaban koresponden yang terdiri dari para dosen mencapai 77 persen. Jika ditanya pada mahasiswa bisa jadi jawabannya lebih banyak lagi.
Maka dari itu Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim pada tanggal 31 Agustus 2021 mendatangani Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi ( Permendikbud-Ristek)
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ( PPKS). Isi dari permen nomor 30 ayat 2 terdapat kata "tanpa persetujuan korban" diulang beberapa kali. Pernyataan inilah yang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Kata " tanpa persetujuan korban" bermakna jika tidak ada persetujuan dari korban maka termasuk dalam definisi kekerasan seksual. Namun jika ada persetujuan korban maka bukan termasuk definisi kekerasan seksual. Itu berarti jika aktivitas seksual yang dilakukan suka sama suka maka tidak akan disanksi karena dilindungi oleh permen tersebut.
Hal ini tentu menjadi sorotan publik yang jelas-jelas melegalkan zina di lingkungan pendidikan. Sangat berbahaya jika acuan dari aktivitas seksual bukan lagi nilai-nilai agama. Zina akan merebak di mana-mana jika peraturan tersebut tidak dicabut atau dikaji ulang.
Adapun Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau
penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi. Sanksi bagi perguruan tinggi ini menunjukan bahwa permen tersebut tidak hanya mendorong liberalisasi seksual di kampus namun juga menegaskan represi rezim agar semua institusi perguruan tinggi mengikuti tanpa ada celah mengkritisi. Begitu pula sikap rezim yang mengabaikan kelompok masyarakat yang mengkritisi dan menolak permen liberal. Ini jadi bukti bahwa tujuan pemberlakuan bukanlah pemberantasan kekerasan seksual di kampus namun lebih dominan menjadi alat mengokohkan paradigma kesetaraan gender dan liberal pada berbagai lini kehidupan.
Seharusnya segala aktivitas manusia dilandaskan berdasarkan nilai-nilai agama. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan segala potensi-potensinya berupa hajatul udhowiyah ( makan,minum, buang hajat) dan naluri-naluri. Jika manusia hidup sesuai dengan aturan Allah pasti ketentraman senantiasa terwujud. Allah akan memberikan berkah di langit dan di bumi sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Isra Ayat 96.
Dalam khilafah Islam warga negaranya diurus oleh negara dalam setiap aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Dalam aspek pendidikan, negara berorientasi pada pendidikan aqidah Islam. Membentuk pola sikap dan pola pikir sesuai dengan aqidah yang diyakininya. Selain dari aspek keimanan individu, untuk menjaga harkat dan martabat manusia negara wajib menegakkan aturan tentang pergaulan antara pria dan wanita sebagai tindakan pencegahan terjadinya kejahatan seksual sehingga tujuan dari pendidikan yaitu membentuk insan mulia akan terwujud. Sudah barang tentu aturan yang diterapkan haruslah aturan Islam Kaffah. Wallahu'alam bi showab.