Rekontekstualisasi Fikih, Membahayakan Umat Islam




Oleh: Ummu Adhiim

Dunia terus mengalami perubahan . Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melihat pentingnya melakukan rekontekstualisasi  sejumlah konsep fikih atau ortodoksi islam dalam rangka merespon tantangan zaman.
“Penting bagi kita saat ini untuk membuka ruang bagi pemikiran dan inisiatif yang diperlukan untuk membangun peran konstruktif bagi Islam dan kerja sama menyempurnakan tata dunia baru ini,” terang Menag saat memberikan sambutan pada pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke-20 di Surakarta, Senin (25/10/2021).

Menurut Menag, ada empat alasan atau asumsi dasar pentingnya rekontekstualisasi ortodoksi islam. Pertama, bahwa pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari nilai-nilai substansialnya atau pesan-pesan utamanya yaitu; tauhid, kejujuran, keadilan dan rahmah. Kedua, bahwa model operasinalisasi tersebut harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktek-praktek yang diklaim sebagai pengamalan islam tidak justru membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama islam itu sendiri. “Di tengah perubahan yang demikian pesat, dunia membutuhkan sebuah ortodoksi atau Fikih Islam Alternatif, yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia,”jelas Menag. 
Ketiga, pentingnya rekontekstualisasi fikih adalah bahwa dakwah islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Keempat, bahwa walaupun tidak menjadikan  non Muslim berpindah (identitas) agama menjadi Muslim, diadopsinya nilai-nilai substansial islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya. (kemenag.go.id, 25/10/2021)

Sementara itu, Ahli Fikih Islam K.H. Shiddiq Al Jawi mengungkapkan bahwa rekontekstualisasi bukan melahirkan hukum,tetapi mengubah hukum disesuaikan fakta. “Rekontekstualisasi atau reaktualisasi itu kecenderungannya bukan melahirkan hukum yang baru dari Al-Qur’an dan hadis, tapi mengubah hukum yang lama disesuaikan dengan fakta yang baru,”jelasnya dalam Fokus Live: Rekontekstualisasi Fikih, Adakah? Di Youtube UIY Official, Ahad (31/10/2021)
“Ijtihad itu bukan mengubah hukum yang ada, sehingga disesuaikan dengan fakta, tetapi menggali hukum yang baru dari nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah,’papar K.H. Shiddiq Al Jawi.(Tintasiyasi.com, 04/11/2021)
Para pengusung moderasi Islam sering kali melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an sesuai kehendak mereka. Mereka menjadikan peraturan dan hukum-hukum barat sebagai pijakan padahal hukum-hukum barat berlandaskan pada sekularisme yaitu hukum-hukum yang  memisahkan agama dari kehidupan. 
Rekontekstualisasi fikih membawa bahaya yang besar bagi umat Islam. Pertama, menimbulkan kebimbangan terhadap Islam. Umat Islam tidak paham terhadap ajaran agama Islam akibatnya kaum muslim kian jauh dari ajaran Islam. Kedua, mengebiri dan mendangkalkan cakupan Islam dan kandungan ajaran Islam sebatas nilai atau substansi semata. Umat islam memandang tidak penting mempelajari hukum atau fikih Islam sesuai kaidah syariat Islam sehingga Islam akan ditafsirkan sesuai pemikiran manusia dan fakta. Menjadikan Islam adalah objek yang diatur, bukan subjek yang mengatur manusia.
Ketiga, memunculkan kaidah-kaidah yang menguliti dan mematikan ajaran islam. Ajaran khilafah adalah ajaran islam namun ditolak karena ajaran khilafah dianggap membahayakan karena relevansinya dengan Indonesia tidak ada. Keempat, menggerus keimanan kaum muslim. Umat islam akan merasa tidak perlu tunduk dan taat sepenuhnya terhadap syariat islam. Kelima, menahan dan menghalangi kaum muslim dari puncak amal dalam islam, yaitu penegakan khilafah dan jihad fii sabilillah.

Dalam Islam, fikih adalah pemahaman terhadap wahyu yaitu dalil syara’ dengan kaidah yang telah syariat tetapkan. Bukan produk pemikiran sebagaimana pendapat pemikir dan filosof sehingga mudah diubah sesuai keinginan dan fakta.

Dalam menghadapi berbagai persoalan yang timbul dari perubahan dan perkembangan zaman, kaum muslimin memiliki metode yang khas yaitu dengan metode ijtihad. Dimana ijtihad adalah proses menggali hukum yang baru dari nash-nash Al-Qur’an dan Ash-Sunnah untuk menghukumi fakta atau kondisi yang baru ditemukan. Ijtihad bukan mengubah hukum yang ada kemudian disesuaikan dengan fakta seperti prinsip rekontekstualisasi.

Sungguh, yang dibutuhkan kaum muslim adalah ijtihad ulama dan pengamalan fikih bukan fikih alternatif atau rekontekstualisasi fikih. Kaum muslim dapat memahami ajaran islam secara kaffah hanya ketika syariat islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan yaitu dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam bish showab      
    

        
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak