Rakyat Butuh Solusi, Bukan Otak-Atik Data Deforestasi




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)

Ketua Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dan Kiki Taufik dilaporkan ke Polda Metro Jaya usai mengkritisi pidato Presiden Joko Widodo soal deforestasi di KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia. Keduanya dilaporkan atas tindak pidana UU ITE. (detik, 13/11/2021). Sebelumnya, Ketua Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam situs resmi Greenpeace.org menyebutkan bahwa deforestasi di Indonesia meningkat. Rilis Greenpeace itu menanggapi pidato Jokowi di KTT COP26 beberapa waktu lalu yang menyampaikan adanya penurunan deforestasi.

Kritik dari Greenpeace
Mengutip dw (4/11/2021), Greenpeace menyebut pidato Presiden Joko Widodo di COP26 hanyalah omong kosong. Berdasarkan pernyataan resminya, Greenpeace memandang pidato Presiden Jokowi tidak memperlihatkan komitmen serius dan ambisius yang merupakan inisiatif pemerintah sendiri. Menurut Greenpeace, sebagai anggota G20 yang memegang presidensi G20 di 2022, Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.

Menurut Greenpeace, sebagai bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonomi. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batu bara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim. 

https://news.detik.com/berita/d-5811001/ini-pernyataan-greenpeace-kritik-jokowi-soal-deforestasi-berujung-dipolisikan

Mengutip rmol (4/11/2021), menurut juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia M. Iqbal Damanik, Jokowi tidak bisa menyebut penurunan karhutla sebagai prestasi. Faktanya, faktor alam lebih dominan dalam mencegah karhutla. Karhutla rendah karena curah hujan di musim basah sedang tinggi. Tidak kalah ironis, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya malah menyatakan bahwa untuk “memaksa” Indonesia untuk zero deforestation di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. 

Ia juga menegaskan, bahwa Indonesia menerapkan Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink pada 2030 untuk mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030. Parahnya lagi, Siti Nurbaya juga sempat mencuit di salah satu platform media sosial hingga menjadi trending topic yang panen kritik, bahwa pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.

Namun demikian, Greenpeace menyatakan siap duduk bersama pemerintah untuk membahas data-data lingkungan seperti deforestasi. Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia, Kiki Taufik berharap adanya keterbukaan dan transparansi data. (kbr, 15/11/2021). Greenpeace siap berdialog dengan pemerintah untuk saling buka-bukaan data. Menurut Kiki, banyak sekali data-data kehutanan yang masih belum dibuka untuk publik, misalnya perihal izin pelepasan kawasan hutan.

Kiki juga mengklaim, Greenpeace selalu menggunakan data yang resmi. Kata Kiki, perbedaan data dengan pemerintah terletak pada cara menganalisis data. Misalnya ketika pemerintah menyatakan dalam 20 tahun terakhir angka deforestasi menurun, Greenpeace menganalisis secara berbeda. Perlu dilihat bahwa setiap pemerintahan yang berkuasa, siapapun presidennya maka pemerintah yang bersangkutan punya kewenangan luas terkait dengan pengelolaan hutan Indonesia. Jika dari awal pemerintah menyatakan akan melakukan langkah korektif, maka Greenpeace menyatakan bahwa pihaknya juga akan memeriksa kembali, misalnya terkait data dari 2005 sampai dengan 2020 Greenpeace menemukan terjadinya deforestasi tiga setengah kali Pulau Jawa luasnya seperti itu. Ini artinya datanya sama.
 
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menantang Greenpeace Indonesia untuk membuka basis data dan analisis mereka terkait deforestasi di Indonesia. KLHK mengklaim data yang dimilikinya terkait deforestasi dan reforestasi punya dasar keilmiahan sangat kuat dengan akurasi mencapai 90-95%. (detik, 10/11/2021). Sistem pemantauan oleh KLHK dilakukan dengan dukungan citra satelit milik sejumlah lembaga kredibel, seperti RBI (Rupa Bumi Indonesia), Lapan, dan NASA, serta pemeriksaan di lapangan. Hasilnya kemudian masih diverifikasi dan divalidasi lembaga internasional terkait. 

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Ruandha Agung Sugardiman memaparkan data deforestasi pada 1990-2020. Dari grafik terlihat, pada 2019-2020 angkanya sebesar 115,5 ribu ha, sedangkan deforestasi 2018-2019 sebesar 462,5 ribu ha. Data itulah yang dikutip Presiden Jokowi bahwa deforestasi di Indonesia 2019/2020 terendah dalam 20 tahun terakhir, yakni sebesar 115,5 ribu ha. Ruandha pun menegaskan, tidak salah jika Jokowi menyatakan data ini terendah selama 20 tahun terakhir pada forum COP26 yang lalu.

Pada titik inikah penguasa hendak berkelit? Utak-atik data dan berupaya “menggeser” makna deforestasi.
Sayang sekali, permainan data ini tetap tidak bisa menutupi fakta di lapangan yang terus saja terjadi. Penguasa hendak mengklaim seperti apa pun, bencana alam dampak deforestasi tidak bisa berdusta. Apalagi ada faktor La Nina, dampak jangka panjang deforestasi kian tampak dan jauh lebih buruk. Utak-atik data ditambah adanya upaya “pergeseran” definisi deforestasi, bisa-bisa ke depannya penguasa malah akan mengklaim bahwa deforestasi “nol persen”. Omong kosong apa lagi ini? Padahal, laju deforestasi di dunia telah memasuki kategori “mengkhawatirkan”.

Hal ini tentu saja berdampak serius terhadap upaya melawan perubahan iklim. Selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan masih hilang setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo adalah negara-negara yang mengalami deforestasi terburuk di dunia, sekaligus terdampak paling parah.
Indonesia sendiri adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. 

Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Meski sudah ada beberapa upaya reboisasi, melalui pertumbuhan alami atau penanaman, tetapi pohon perlu waktu bertahun-tahun sebelum dapat menyerap CO2 sepenuhnya. Presiden Jokowi pernah berjanji pada 2014 untuk memberantas deforestasi dengan mengatasi faktor utamanya – pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, data resmi menunjukkan bahwa 80% kebakaran hutan terjadi untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Pada 2016, rekor 929.000 hektare hutan musnah, meski sempat terjadi penurunan laju deforestasi yang stabil sejak saat itu. (BBC, 3/11/2021). 

Pada 2019, Presiden Jokowi mengeluarkan moratorium tiga tahun pembukaan hutan baru, yang mencakup sekitar 66 juta hektare hutan primer dan lahan gambut. Hasilnya, pada 2020 angka deforestasi tahunan turun menjadi 270.000 hektar. Namun saat moratorium tersebut berakhir pada 19 September 2021, pemerintah belum mengumumkan akan memperpanjang atau menyudahi moratorium tersebut. Dan sayangnya, di tengah ketidakpastian kelanjutan moratorium ini, UU Cipta Kerja sudah terlanjur berlaku sejak 2020. Masalahnya, kandungan UU Cipta Kerja sangat memberikan peluang tergenjotnya deforestasi.

Apalagi dengan adanya program-program nasional seperti PSN (Proyek Strategis Nasional), PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), hingga food estate (alias industrialisasi pangan). Realisasi program-program tersebut, diantaranya berwujud alih fungsi lahan raksasa kelapa sawit, pertambangan yang menggila, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Semuanya berdasarkan undang-undang resmi.
Lantas, bagaimana hendak ada realisasi pengurangan deforestasi. Sementara, faktor-faktor penyebab percepatan laju deforestasi sendiri terlindungi undang-undang yang dilegalisasi.

Sungguh, rakyat butuh aksi nyata dari penguasa. Janganlah hanya berbusa-busa soal data jika realisasi solusi data tersebut masih saja fatamorgana. Kemiskinan yang melanda wilayah-wilayah yang kaya sumber daya hutan toh telah menjadi ironi menahun yang tidak bisa terbantahkan lagi. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hutan, menurut hadis di atas termasuk ke dalam kategori padang rumput. Hutan dalam Islam adalah lahan kepemilikan umum (milik rakyat). Pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab penguasa negara untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat secara luas selaku pemilik hutan tersebut.

Negara semestinya berperan mewakili rakyatnya untuk mengelola hutan tersebut sehingga tidak boleh terjadi privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun para pemodal komersial. Dengan demikian, sangat penting untuk mengembalikan fungsi konservasi hutan sebagai wujud pemeliharaan karunia Allah SWT. Jelas sekali, mengelola alam sebagaimana perintah Allah adalah mandat penciptaan dan amanah atas nama keimanan. Tidak semestinya pemanfaatan hutan condong pada eksploitasi besar-besaran yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan alam.

Allah SWT berfirman : “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(29) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (TQS Al-Baqarah [2] : 29-30).

 Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar-Ruum [30] : 41).
Dalam hal ini, penguasa semestinya berperan aktif sebagai pengayom dan pengatur urusan umat. Rasulullah saw. bersabda : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). 

Dan di antara langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi deforestasi, tentu saja dengan memperhatikan laju alih fungsi lahan. Fungsi pengelolaan, pemanfaatan produktivitas lahan, konservasi, hingga pemeliharaan keanekaragaman hayati, harus berjalan beriringan. Berikutnya, tidak menyerahkan lahan sumber daya alam milik publik kepada swasta yang hanya fokus pada profit. Dari sisi dunia kepakaran, penting untuk menjaga idealisme intelektual/pakar/pejabat kehutanan agar tidak mudah tergiur cuan yang menumbalkan potensi kehutanan yang berakibat terprivatisasinya sumber daya lahan hutan oleh para kapitalis.

Demikianlah tingkah polah penguasa di era kapitalisme saat ini. Semuanya berpandangan matrealistis. Giliran ada yang mengkritisi, penguasa langsung bertindak represif. Ancam-mengancam hingga berujung penjara bagi pihak-pihak yang berusaha meluruskan, seolah sudah menjadi risiko yang awam terjadi. Namun demikian, aktivitas muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa) jangan pernah berhenti. Teruslah bersuara lantang agar dengung kezaliman itu segera terbongkar dan rakyat menyadarinya. Rasulullah saw. bersabda, “Penghulu syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada yang makruf) dan melarangnya (terhadap kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR Hakim). 

Wallahu alam bisa-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak