Oleh: Sabrina
Meski sudah lewat 2 tahun, pandemi covid 19
masih membawa dampak yang cukup berat bagi masyarakat terutama masyarakat
kecil. Di awal-awal covid 19 di tetapkan sebagai pandemi, banyak masyarakat
yang mengalami guncangan terutama di bidang ekonomi. Penurunan pendapatan, pengurangan
pekerja, menjadi permasalahan utama masyarakat. Belum lagi kebutuhan pokok yang
harus terus terpenuhi semisal beras, minyak, LPG, lauk dan lainnya.
Kebutuhan sekunder pun terus berjajar
berbaris menunggu antrian agar terpenuhi semisal uang SPP anak-anak dan kuota untuk daring (yang memiliki anak
sekolah), uang kontrak, dan lainnya. Dengan pemasukan yang minim bahkan nol
menjadikan mereka kalang kabut dan tak
sedikit yang gelap mata. Aksi pencurian dan pembegalan malambung, pinjaman
online menjadi jalan pintas, bahkan bunuh diri pun dijadikan jalan keluar.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah belum bisa di jadikan sebagai solusi.
Selain banyak yang tidak tepat sasaran, bantuan ini pun
dirasa belum bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Belum lepas dari jeratan merosotnya ekonomi
akibat pandemi, ternyata pemerintah telah merancang sebuah "kado
istimewa" untuk rakayatnya. Pemerintah dan DPR RI akan menaikkan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada April 2022. Tidak hanya itu, Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly menambahkan, PPN akan kembali naik menjadi 12% pada
2025. (kompas.com, 7/10/21). Selain itu rencana untuk menjadikan NIK sebagai
pengganti NPWP juga menjadi pemanas isu seputar pajak.
Tak cukup korupsi di berbagai lini saja.
Ternyata para pembuat kebijakan telah memikirkan sedetail-detailnya bagaimana
cara mencari pendapatan sebesar-besarnya dari rakyat. Kebijakan-kebijakan ini
dibuat tak ubahnya seperti menaburkan garam di atas luka yang belum kering.
Luka yang ditimpakan akibat pandemi covid-19
belum pulih, masyarakat kecil masih berusaha merangkak
untuk mencapai perekonomian yang stabil dengan berbagai cara. Entah mengubah haluan untuk
mengais sesuap nasi atau bertahan dengan kondisi yang ada dengan sejuta harapan
bahwa kemalangan ini akan cepat berakhir. Bukannya mencarikan solusi pasti,
pemerintah justru menambah beban
berat di atas pundak yang telah terseok-seok.
Miris memang, tapi faktanya pemerintah
dengan penuh kesadaran telah membuat kebijakan yang dirasa sangat memberatkan
masyarakatnya terutama masyarakat kecil. Di saat yang sama negara malah
membebaskan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPn-BM) dengan alasan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Lucu, padahal orang-orang yang mampu membeli
barang mewah adalah orang-orang kaya yang tentu saja meski mereka juga
mendapatkan imbas dari pandemi covid-19
tidak akan sampai menempatkan mereka di ujung jurang perekonomian. Bahkan banyak dari mereka
yang tidak mendapatkan imbas dari pandemi atau justru banyak pula yang mendapat
keuntungan lebih dari pandemi covid.
Dari sini bisa kita lihat dengan jelas
bahwa pemerintah menjadikan pajak sebagai penopang utama pendapatan negara. Hal ini wajar bagi sebuah negara yang
menganut sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber utama untuk
menjamin keberlangsungan hidup negara. Padahal Indonesia merupakan salah satu
negara yang kaya. Kita bisa melihat betapa besar kekayaan yang dimiliki oleh
Indonesia dari sumber daya alamnya, seperti gunung emas yang dikuasai Freeport,
sumber minyak, batu bara, hutan, kekayaan laut dan sebagainya yang bahkan
negara sendiri tidak ikut mengelola alias di serahkan kepada individu dan asing.
Padahal semua itu dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan negara jika
dikelola dengan benar.
Nasi sudah menjadi bubur, pemerintah yang
tak mau repot menyerahkan kekayaan alam pada pihak lain dan justru mencekik
leher rakyatnya untuk memenuhi pendapatan negara. Jika kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah terus merugikan dan menyengsarakan rakyat ini berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan rakyat akan mulai
berontak.
Islam Adalah Solusi
Islam telah menyediakan berbagai solusi
atas segala permasalahan yang ada. Dalam Islam pajak tidak dijadikan sebagai
sumber pendapatan utama negara. Sumber daya alam, jizyah, kharaj, fa’i,
ghanimah, harta tak bertuan, dan lainya menjadi sumber pendapatan negara.
Sehingga negara akan mampu memenuhi segala kebutuhan pokok rakyatnya. Selain
itu negara juga berlepas diri dengan hutang berbasis ribawi seperti saat ini
yang justru menjebak negara dalam ketidakberdayaan.
Di dalam Islam, negara diperbolehkan menarik dharibah (semisal pajak) apabila kas negara sedang kosong, itu
pun hanya diberlakukan kepada muslim yang memiliki harta lebih bukan untuk
semua orang dan sewaktu-waktu dapat dihentikan. Bukan hanya itu, tata cara
pengolahan sumber daya alam dan manusianya pun juga sangat berbeda dengan
sistem kapitalis. Dimana keimanan terhadap Sang Khalik menjadi landasan utama
yang harus dimiliki setiap individu. Kepemilikan atas sumber daya alam pun juga
diatur di dalam Islam
sebagaimana hadits Rasul. “Kaum
Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR.
Abu Dawud dan Ahmad). Sehingga sumber daya yang menguasai
hajat hidup orang banyak akan dikelola oleh negara bukan malah menjadi milik
individu atau bahkan asing.
Seluruh pengaturan ini membutuhkan
penerapan sistem politik yang kompatibel dengan syariah Islam. Dan satu-satunya
sistem politik yang cocok dengan penerapan Islam kaffah adalah Khilafah.
Wallahu a’lam bish-showab