Pinjol : Rakyat Makin Dekat Dengan Riba, Negara Menantang Adzab-Nya



Oleh : Hamnah B. Lin

          Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan pinjaman online (pinjol). Salah satu fatwanya menyebut bahwa pinjaman, baik offline maupun online, yang mengandung riba hukumnya haram. "Layanan pinjaman, baik offline maupun online, yang mengandung riba hukumnya haram, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan," ujar Ketua Fatwa MUI Asrorum Niam Soleh di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021) (detik.news, 11/11/2021).
          Fatwa ini seharusnya menjadi rujukan pemerintah sebagaimana fungsi MUI yakni  membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya (wikipedia).
          Namun hingga hari ini belum ada pengumuman terhadap pembubaran pinjol yang makin meresahkan.
          Maraknya pinjol nyatanya memang telah dilegalkan oleh pemerintah. Melalui Peraturan OJK 77/2016 (POJK Nomor 77/POJK.01/2016) adalah dasar hukum bisnis pinjol. Dalam aturan ini disebutkan bahwa layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Artinya orang bisa meminjam langsung lewat ponselnya tanpa ribet pergi ke kantor seperti meminjam ke bank. 
          Ada beberapa poin penting dari aturan ini, di antaranya adalah penyelenggara dapat berbentuk badan hukum PT atau koperasi, dan memiliki modal disetor minimal Rp 1 miliar pada saat pendaftaran. Apabila dibandingkan dengan syarat pendirian bank sebesar 10 T, tentu ini adalah syarat yang mudah sekali bagi seseorang yang ingin berbisnis di bidang keuangan. Sehingga wajar kenapa jumlah perusahaan pinjol akan selalu bertambah.
         Tumbuh suburnya perusahaan pinjol sejatinya tak bisa lepas dari arah kebijakan digitalisasi ekonomi gagasan Jokowi demi mengikuti arah ekonomi global. Ini terlihat bahwa dalam setiap kesempatan, Jokowi selalu mempromosikan potensi ekonomi digital Indonesia, termasuk OJK Virtual Innovation Day 2021. Pada event tersebut Jokowi mendorong OJK (otoritas jasa keuangan) untuk mengawal secara cepat dan tepat potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk menjadi raksasa digital setelah China dan India. Bahkan OJK diharapkan dapat membawa Indonesia menjadi pusat ekonomi terbesar dunia ke-7 pada tahun 2030 dan tumbuh setidaknya 8 kali lipat dari Rp 632 triliun pada hari ini menjadi Rp 4.531 triliun pada 2030. Potensi ekonomi digital ini ternyata didominasi oleh fintech. Dan lebih dari separuh pelaku industri fintech Indonesia diisi oleh penyedia layanan peer-to-peer lending (P2P) Lending atau yang lebih dikenal dengan istilah pinjol.
         Dalam bisnis pinjol, kekuasaan pebisnis fintech melebihi kekuasaan pemerintah atau OJK. Pematokan bunga pinjol 0,8% per hari (292% per tahun!) bukanlah aturan dari OJK, tetapi berdasarkan code of conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Tentu ini sangat menjerat masyarakat jika kita bandingkan dengan bunga KUR 3% per tahun.
          Juga ada bahaya sosial akibat dari masifnya bisnis pinjol. Ada sebuah rekayasa sosial yang membentuk gaya hidup (lifestyle), persepsi dan perilaku masyarakat yang konsumtif, berorientasi uang walaupun dengan cara ngutang dibungkus dengan jargon inklusi keuangan. Sesungguhnya Rakyat tidak butuh pinjol, yang dibutuhkan adalah adanya fungsi negara yang menjamin kebutuhan hidup mereka. Namun itu tidak mungkin terwujud dalam sistem Kapitalisme. Sistem ini hanya menjadikan negara sebagai regulator bukan pelayan rakyat. Sistem yang hanya mengakomodir kepentingan para pemilik modal.
         Dengan dalih kemajuan ekonomi digitalisasi, pemerintah sejatinya makin mengokohkan riba dan mengundang adzab-Nya yang nyata telah Allah SWT haramkan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alquran surat Albaqarah ayat 275 yang artinya: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Iarangan dari Tuhannya, laIu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Iarangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekaI di dalamnya".
          Juga dalam hadits Rasulullah saw., ""Jauhi tujuh hal yang membinasakan! Para sahabat berkata, "Wahai, Rasulullah! apakah itu? Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa haq, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh wanita beriman yang Ialai berzina" (Muttafaq 'alaih). 
          Maka tak heran, jika negeri yang kaya raya ini tetap terkukung dengan hutang yang makin menjekik karena tak mau melepaskan riba, hingga bencana yang tak wajar terus terjadi, kerusakan moral masyarakat makin menjadi. Sebab, riba sebagai akar maksiat telah dilegalisasi.
         Ini tentu berbeda jika sistem Islam yang diterapkan, adalah Khilafah, sistem pemerintahan yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Khalifah sebagai pemimpin negara akan menjauhkan negara dan rakyatnya untuk tidak terlibat sedikitpun dengan riba. Khalifah adalah junnah (pelindung) dan ra’in (pelayan) rakyat. Sehingga dengan aturan yang berlandaskan pada dalil Syara’, Khalifah akan menjalankan dua fungsi tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan melindungi mereka dari bahaya dan perkara yang diharamkan Allah. 
         Sistem Khilafah akan menjamin secara tidak langsung pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat luas. Hal ersebut bukan khayalan sebab dalam sistem khilafah sumber daya alam mutlak adalah kepemilikan umum yang dikelola oleh negara dan haram diserahkan kepada pihak swasta. 
         Pengelolaan oleh negara inilah yang berpotensi membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas. Adapun hasil keuntungan dari sumber daya alam akan dikelola Baitul Mal dan wajib dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk langsung yaitu berupa jaminan terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan secara murah bahkan bisa gratis. Juga untuk pembangunan infrastruktur dan hajat publik lainnya. Ditambah lagi kepemilikan negara berupa tanah-tanah mati juga akan diserahkan kepada rakyat yang sanggup untuk mengelolanya. Selain itu, apabila ada rakyat yang membutuhkan modal usaha, maka Islam punya aturan bisnis dengan sistem syirkah mudharabah yang tidak membutuhkan perbankan atau lembaga keuangan. Ditambah lagi rakyat juga bisa mendapatkan modal bantuan usaha dari Baitul Mal tanpa diberlakukan bunga sedikitpun. Demikianlah khilafah memikirkan kebutuhan pokok rakyat dan menjauhkan mereka dari jeratan pinjaman ribawi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka.
          Yang tak kalah penting, khilafah mengajarkan melalui sitem pendidikannya bahwa sa'adah atau kebahagiaan tertinggi bukanlah terpenuhinya kebutuhan materi semata, namun derajat ketakwaannya yang harus ditingkatkan. Kemudian lifestyle( gaya hidup ), diarahkan agar tidak boros, suka pamer, bersenang-senang, berhura-hura dan konsumtif.
         Maka jauhi riba secara tersistem, yakni dengan tegaknya syariat Islam secara kaffah. Turut berjuang demi tegaknya Khilafah adalah langkah terbaik seorang muslim yang bertakwa.
Walllahu a'lam biasshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak