Pernikahan Dini, Masalah?


Oleh Umi Lia

Ibu Rumah Tangga, Cileunyi Kabupaten Bandung



“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (TQS an-Nur: 32)

Pernikahan dalam Islam adalah hal yang suci dan menjadi pertalian antar manusia yang disaksikan Allah. Melalui pertalian ini, kebutuhan manusia terutama kebutuhan biologis akan tersalurkan dengan benar dan sesuai aturan Allah. Tapi di sistem kapitalisme, pernikahan terutama pernikahan dini di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini menjadi masalah. Sejak pandemi melanda, terjadi lonjakan angka pernikahan dini di Indonesia. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2020. 

Menurut Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung, Muhammad Hairun, saat ini pernikahan dini di wilayah kerjanya mencapai 46,44 persen. Untuk itu Kabupaten Bandung meluncurkan program berencana dewasakan anak agar sejahtera, sinergisitas, akselerasi pendewasaan usia kawin terjaga, keluarga sehat (Bedas Sapujagat). Diharapkan program ini dapat menekan angka pernikahan pada anak di bawah umur 19 tahun. (Dialogpublik.com, 19/10/2021)

Praktik pernikahan dini tetap marak meskipun pemerintah sudah merivisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi 19 tahun melalui UU No.19 tahun 2019. Selain itu ada aturan yang menetapkan penyimpangan batas usia minimal dalam pernikahan hanya bisa dimohonkan dispensasi ke pengadilan. Nyatanya dispensasi ke pengadilan semakin meningkat.

Ada dua penyebab terjadinya pernikahan dini di kalangan remaja yaitu sebab internal dan eksternal. Yang termasuk sebab internal adalah faktor pendidikan, faktor telah melakukan hubungan biologis, hamil sebelum menikah. Sementara yang termasuk sebab eksternal adalah faktor pemahaman agama, faktor ekonomi, faktor adat dan budaya. Jadi banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dini itu terjadi. Menurut dosen departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Dr. Susilowati Suparto, M.H, peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi adalah lebih karena faktor eksternal, salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga. Para pekerja yang juga orangtua tersebut, seringkali mengambil alternatif jalan pintas dengan menikahkan anaknya pada usia dini karena dianggap dapat meringankan beban keluarga. (Universitas Padjadjaran.BeritaKampus, 8/7/2020)

Sementara menurut Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid Saadi, undang-undang perkawinan bagi umat Islam bukan sekedar mengatur norma hukum positif dalam perkawinan tetapi juga mengatur sah dan tidaknya sebuah pernikahan menurut ajaran Islam. Perihal usia pernikahan, Islam tidak menentukan usia pernikahan baik laki-laki maupun perempuan. Dalil yang menunjukkan bahwa Islam tidak menentukan usia pernikahan ialah bahwa di dalam Al-quran dan As-sunah tidak pernah ditemukan keterangan tentang batas usia pernikahan. Sebaliknya justru banyak dalil yang menunjukkan kebalikannya, misalnya perkawinan Rasul saw. dengan ummul mukminin Aisyah ra. (Liputan6, 16/12/2018)

Intinya memang maraknya pernikahan dini di masa pandemi ini karena dominan faktor ekonomi. Di Kabupaten Bandung, dilansir dari detiknews sejak pandemi ini ada 40.360 warga yang menjadi miskin baru (misbar) pada tahun 2020. Angka tersebut didapat dari selisih jumlah warga miskin di Kabupaten Bandung pada tahun 2019 sebanyak 223.210 jiwa menjadi 263.600 jiwa pada tahun 2020. Sementara itu pandemi sampai sekarang belum berakhir, Kabupaten Bandung termasuk salah satu daerah Jawa Barat yang masih memiliki tingkat kemiskinan ekstrem. Angka kemiskinan di Kabupaten Bandung saat ini mencapai 6,91 persen atau 263.600 jiwa, sedangkan tingkat kemiskinan ekstrem berada di angka 2,46 persen atau sebanyak 93.480 jiwa. (GalamediaNews.com 30/9/2021)  

Sudah banyak solusi yang diambil oleh pemerintah untuk menangani pademi, mengatasi masalah ekonomi dan menekan angka pernikahan dini. Tapi pemerintah hanya sebagai regulator yang mengeluarkan regulasi-regulasi atau aturan hasil pemikiran orang-orang yang duduk di DPR dan pemerintahan. Mereka menyangka aturan yang mereka buat bisa membawa kebaikan pada rakyat. Dengan lamanya masa pandemi, ekonomi yang faktanya belum membaik dan angka pernikahan dini yang tinggi harusnya menjadi sesuatu yang wajib dipertanyakan/dikritisi. Sebenarnya di sini ada kesalahan mendasar dalam paradigma mengatur umat dan menjalankan negara.

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt. yang diturunkan ke bumi ini dengan tugas memakmurkan bumi. Dia dibekali seperangkat aturan hidup supaya tugasnya dilaksanakan dengan baik. Aturan Islam/syariah Islam itu lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Dari masalah keimanan, ibadah, akhlak serta muamalah atau aturan yang mengatur hubungan sesama manusia. Pernikahan termasuk masalah muamalah yang merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna.

Pada zaman sistem Islam diterapkan, kondisi anak-anaknya berbeda dengan zaman sekarang. Tingkat kematangan psikologis mereka sudah jauh lebih siap dibandingkan anak-anak zaman sekarang. Hal itu terjadi karena pendidikan (taklim) dan pembinaan (tasqif) akidah anak-anak betul-betul berjalan optimal. Kepribadian (syakhsiyah) mereka digembleng sehingga saat balig mereka telah siap menerima taklif hukum syariat termasuk perihal pernikahan. Jadi kesiapan untuk menikah pun telah ada sejak dini. Jauh beda dengan anak-anak zaman sekarang, mereka lebih cepat matang organ reprodusinya tanpa diimbangi dengan kematangan cara berpikir dan berprilaku. Tontonan dan gaya hidup bebas pada saat ini cenderung mendorong anak-anak dan remaja untuk berpacaran, bersenang-senang mengikuti hawa nafsu.

Di samping itu, negara yang menerapkan sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan negara memungkinkan kesejahteraan terealisasi. Dengan mekanisme langsung dan tidak langsung negara akan memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta menyediakan lapangan pekerjaan. Sementara dalam bidang pendidikan negara juga akan memfasilitasi rakyatnya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan gratis. Sehingga tidak akan ditemukan anak yang putus sekolah karena miskin, kemudian dinikahkan oleh orangtuanya demi mengurangi beban keluarga.

Alhasil, pernikahan dini bukan masalah seandainya sistem Islam diterapkan. Masalahnya sekarang adalah sepakat atau tidak jika sistem Islam diterapkan. Bagi umat Islam menerapkan sistem Islam adalah kewajiban, tidak ada pilihan untuk menghindarinya. Semoga semakin banyak umat Islam yang menyadari kewajiban ini.

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak