Oleh : Rahmawati
(Muslimah Kendari)
Telah diumumkan angka kasus Covid-19 di Indonesia menurun. Dikutip dari Banjarmasinpost.co.id. (21/10/2021) maskapai telah diizinkan mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh sampai dengan 100 persen. Hal ini tertuang pada Surat Edaran pemerintah dalam Instruksi Menteri dalam Negeri (Inmendagri) nomor 53 tahun 2021 bahwa rapid tes PCR (Polymerase Chain Reaction) menjadi syarat untuk perjalanan Jawa-Bali maupun luar Jawa-Bali. Ini dimaksudkan sebagai syarat penerbangan pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM.
Namun berbeda dengan aturan yang berlaku sebelumnya, dilansir dari Tribunbatam.id (15/9/2021) peraturan Inmendagri nomor 47 tahun 2021 dijelaskan bagi para penumpang yang menggunakan jasa penerbangan boleh menggunakan hasil tes rapid antigen atau hasil tes rapid PCR negatif Covid-19. Berdasarkan hal tersebut, Ketua Bidang penanganan kesehatan satuan tugas penanganan Covid-19 Alexander ginting ikut berkomentar. Ia mengatakan kebijakan ini diubah untuk mencegah penularan virus corona disaat mobilitas mulai meningkat.
Sementara itu, aturan ini menuai kritikan yang langsung disampaikan oleh kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Taqwaddin Husin, beliau mengatakan bahwa kewajiban tes PCR dinilai semakin memberatkan konsumen selaku pengguna jasa pesawat udara. Hal ini dikarenakan biaya untuk sekali tes mahal apalagi dibeberapa rute penerbangan biaya tes PCR sama dengan harga tiket pesawat.
Peraturan yang diterbitkan ini kontradiktif, pasalnya disebut untuk meningkatkan perekonomian negara justru malah memberatkan rakyat. Kemudian pelaksanaan teknisnya disejumlah daerah disebutkan status PPKM mulai turun, namun syarat untuk melakukan perjalanan udara domestik justru makin diperketat. Sebenarnya ini merupakan upaya pemerintah untuk keamanan dan jaminan kesehatan agar terhindar dari paparan virus ataukah cara agar mendapatkan keuntungan?
Jika diamati, sebenarnya ada maksud dibalik pemberlakuan aturan tersebut ibarat kata ada udang dibalik batu. Tes PCR memang digadang-gadang memberikan keuntungan yang cukup besar.
Betapa tidak, sekarang harga yang diberikan kisaran Rp. 450.000 sampai Rp. 550.000. setelah sebelumnya, diawal kemunculan wabah Covid-19 dihargai Rp. 900.000 hingga Rp. 1-2 juta. Disebutkan bahwa Hamera Lab pernah melakukan feability study atau studi kelayakan dengan tarif yang ditetapkan sekitar Rp. 500.000, dari sini fasilitas kesehatan sudah untung besar, bahkan bisa menyentuh hampir 150 persen (kutipan : Merdeka.com, 23/8/2021).
Selain itu, adanya permainan harga fasilitas kesehatan melalui penawaran kecepatan menerima hasil tes PCR, jika ingin memperoleh hasil tes dalam 12 jam setelah sampel dimasukkan maka harganya akan lebih mahal. Padahal alat PCR yang dimiliki sejumlah rumah sakit sudah cukup canggih untuk memperoleh hasil tes yang lebih cepat.
Begitulah, watak negara Kapitalis memang akan selalu mengedepankan materi di atas segalanya. Rakyat khawatir akan terpapar virus saja sudah menyulitkan mereka untuk beraktivitas di luar rumah ditambah lagi komersialisasi tes PCR saat melakukan perjalanan udara yang harganya selangit. Disini sudah cukup jelas bahwa rezim memberlakukan tes PCR hanya digunakan mempertimbangkan keuntungan untuk segelintir elit pemilik modal. Belum ada tindakan yang mengatur terkait keselamatan rakyat lebih utama dimasa pandemi, sehingga tidak ada kepedulian dengan keselamatan rakyat.
Pemerintah salah penerapan diawal menularnya virus, pentingnya lockdown wilayah diabaikan sampai detik ini akibatnya kurva penyebaran virus semakin menjadi. Walaupun dikatakan sudah aman atau menurun, masih membuat rakyat was-was karena kepedulian pemerintah dialihkan dengan keuntungan saja. Kalau sudah seperti ini rakyat bingung akan meminta jalan keluar pada siapa. Kepedulian pemerintah untuk keselamatan umat tidak lebih utama dari keuntungan materi,
Harusnya pemerintah sebagai institusi meri’ayah rakyat yang tinggal didalamnya, seperti menjamin kesehatan dan keselamatan lebih utama daripada keuntungan materi belaka. Penerapan Testing (Tes), Tracing (Telusur) dan Treatment (Tindak lanjut) atau 3 T merupakan salah satu upaya bersama untuk memutus rantai penyebaran corona dan negara harusnya hadir terdepan dalam pelaksanaannya tanpa membebani rakyat dengan biaya tes deteksi virus harga selangit dan mencari celah untuk mengambil keuntungan dari pelaksanaannya. Ini merupakan realitas kesehatan dalam sistem Kapitalisme. Berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) negara akan memberikan pelayanan tes secara gratis kepada rakyat karena bagian dari peri’ayahan atau pengurusan negara atas rakyatnya.
Sebagai contoh, pada zaman kepemimpinan Khulafaur rasyidin Umar bin Khattab terjadi wabah Tha’un di Amawas, maka yang dilakukan Khalifah Umar pada saat itu, sesuai dengan hadits Rasulullah “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian di dalamnya, maka jangalah kalian lari keluar dari negeri itu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Mengacu pada hadits tersebut maka, orang yang ada di wilayah terpapar wabah tidah boleh keluar ataupun orang yang dari luar wilayah tidak boleh masuk (lockdown) dan memisahkan antara orang yang sehat dan yang sakit. Tidak hanya itu, kebutuhan mereka dijamin oleh negara sehingga tidak perlu khawatir akan keperluan dasar untuk bertahan hidup dan lain-lain. Kondisi yang sangat berbeda dengan negara kita saat ini, yang bernaung dibawah sistem Demokrasi-Kapitalisme. Wallahu A’lam.
Tags
Opini