Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Ada yang berbeda dari kebijakan pemerintah kali ini. Biasanya emak-emak berdaster menjerit. Sebaliknya, mereka bahagia setelah harga tes PCR jauh lebih murah. Pemerintah memang gencar merevisi harga tes PCR, tetapi hal itu justru mendapatkan keluhan dari para pengusaha.
Mengutip dari antaranews.com (13/11), para pengusaha keberatan dengan HET tes PCR yang ditetapkan pemerintah mulai Rp275.000 (Jawa-Bali) dan Rp300.000 (Luar Jawa-Bali). Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H Teguh, berpendapat bagi rumah sakit, klinik dan lab dapat dikategorikan terdesak. Jika tidak melakukan layanan, mereka akan ditutup, tapi kalau tetap melakukan akan buntung.
Beberapa alasan para pengusaha merasa keberatan dengan hasil yang diumumkan pemerintah. Salah satunya, biaya reagen yang merupakan bahan cairan untuk mengetahui hasil tes masih tergolong mahal. Selain itu, para pengusaha tidak dilibatkan dalam penentuan harga eceran. Ditambah tidak adanya subsidi dari pemerintah untuk biaya tes PCR.
Tidak dipungkiri, kesehatan menjadi bisnis yang menggiurkan. Selama pandemi, banyak masyarakat yang melakukan tes PCR untuk mengetahui terpapar covid atau tidak serta syarat wajib perjalanan jauh. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha kesehatan meraih laba bersih yang sangat tinggi. Salah satunya, PT Diagnos Laboratorium Utama Tbk (DGNS) meraih pendapatan bersih Rp 168, 8 miliar pada semester 1 tahun 2021 atau tumbuh 280,8% year on year (yoy). Sungguh ironis, para pengusaha mengeluh sebab khawatir pundi-pundi uang di depan mata melayang.
Inilah wajah asli sistem kapitalisme. Kesehatan pun disulap menjadi bisnis basah oleh para kapital. Apalagi di tengah pandemi merupakan momentum untuk meraih untung sebesar-besarnya. Sistem yang berasaskan materi atau untung-rugi tidak akan pernah mengutamakan kemaslahatan umat.
Kisruh ini akan terus terjadi selama kebijakan yang diambil berdasarkan sistem kapitalisme. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru semakin ruwet. Mempertahankan sistem rusak ini hanya menegaskan peraturan yang dibuat terkesan gegabah dan cenderung mengikuti keinginan pihak lain.
Maka, umat membutuhkan aturan komprehensif yang mampu memberikan solusi secara tuntas. Memiliki standar baku sebagai parameter menilai benar dan salah. Aturan yang datang dari sang Pencipta alam semesta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Islam hadir di tengah-tengah umat manusia bukan hanya mengatur tata cara ibadah tetapi juga mengatur segala aspek perbuatan manusia.
Islam juga mewajibkan negara hadir mengurusi kebutuhan umat termasuk kesehatan. Secara umum, Islam melakukan mekanisme untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Dengan testing, tracing dan treatment (3T) termasuk tes PCR dan gencar vaksinasi untuk menekan laju virus. Semua rangkaian tersebut merupakan kebutuhan umat yang seharusnya diberikan secara gratis.
Negara juga wajib menyediakan sarana dan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, dokter serta perawat yang berkualitas dan laboratorium. Di masa Rasulullah ﷺ, Beliau pernah memberikan dokter kepada rakyat yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya sendiri. (An-Nabhani, Muqadimmah ad-Dustur, II/143)
Bahkan, semasa pemerintahan Islam berjaya ada rumah sakit di Kairo pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Dilengkapi dengan sarana dan fasilitas seperti musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari rumah sakit ini mampu melayani 4.000 pasien.
Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama tujuh abad. Sekarang, rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qalawun.
Dana yang digunakan untuk operasional rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya diambil dari baitulmal. Harta baitulmal berasal dari zakat, fa'i, ghanimah, kharaj, jizyah dan harta dari milik umum yang dikelola negara. Sehingga, layanan kesehatan dalam sistem pemerintahan Islam memiliki kualitas terbaik dan gratis.
Impian memiliki kesehatan seperti itu hanya ada saat Islam diterapkan secara sempurna dalam bingkai Khilafah. Institusi yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan para Khalifah selanjutnya. Hanya Islam yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan umat. Tidak ada lagi layanan kesehatan orientasi bisnis seperti sistem kapitalisme yang menyengsarakan umat dan lebih menguntungkan para kapital. Oleh sebab itu, memperjuangkan Khilafah merupakan keharusan agar penerapan Islam segara dilaksanakan.
Waallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini