Oleh : Ruli ibadanah NF (Pemerhati Pendidikan dan
Anggota Menulis Kreatif)
Kasih
ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Pribahasa ini menjadi
pembenaran saat beberapa lalu viral berita seorang ibu bermana Trimah (65) yang
dititipkan ke panti jompo Griya Lansia Husnul Khatimah Malang dikarenakan
anak-anaknya merasa tidak mampu merawat orang tuanya (vivo.co.id. 31/10/2021)
Perlakuan buruk anak terhadap orang tuanya sudah berulang
kali terjadi. Sebelumnya, seorang ayah digugat anak dan menantunya senilai Rp 3
miliar karena ayahnya tersebut tidak lagi menyewakan tanahnya kepada mereka.
Sang anak pun menuntut ganti rugi. Kasus lainnya, anak menuntut ibu dan ayahnya
yang sudah berpisah dengan tujuan mendamaikan keduanya. Sebenarnya, masih
banyak lagi kasus seperti ini yang mengemuka dan terus berulang.
Anak tidak lagi menjadi penyejuk mata bagi orang tua,
berubah menjadi sosok yang tidak berbelas kasih. Pemicunya karena materi,
ketakadilan ekonomi, dan lemahnya penanaman nilai agama menjadikan hilangnya
fitrah sebagai manusia.
Jika kita mencermati kasus perlakuan buruk anak kepada
orang tua, sesungguhnya hal ini tidak lepas dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan
manfaat sebagai asas kehidupan. Selain itu, sistem ini juga menjadikan
kebebasan di atas segalanya, baik beragama, berpendapat, kepemilikan, dan
berperilaku. Mereka bebas berbuat sekehendak hatinya selama tidak mengganggu
orang lain. Inilah biang keladi munculnya pemikiran dan tingkah laku
menyimpang.
Asas manfaat dan kebebasan
yang sistem ini usung melahirkan generasi yang justru makin jauh dari pemahaman
Islam. Islam telanjur dipahami sebatas ritual sehingga kehilangan power sebagai penuntun dan pembeda antara hak dan
batil, akhirnya tidak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam
konteks individu, keluarga, maupun dalam interaksi masyarakat dan negara.
Kapitalisme sumber utama malapetaka dalam keluarga.
Sistem ini menghilangkan pemahaman tentang kewajiban dan hak antar anggota
keluarga karena nilai-nilai Islam telah ditinggalkan dalam ranah keluarga.
Sistem ini juga mematikan fitrah anak memuliakan dan menghormati orang tua.
Anak durhaka pun terus lahir dari sistem ini, apalagi sistem ini menjamin
setiap orang bebas berbuat, bebas berpendapat, dan negara melindungi kebebasan
ini.
Sangat berbeda dengan sistem Islam, sistem yang datang
dari Allah SWT yang telah sangat terperinci mengatur kehidupan manusia,
termasuk dalam kehidupan keluarga. Mulai dari peran masing-masing personal
dalam keluarga, hingga adab yang harus dilakukan anggota keluarga, diatur
sedemikian rupa sehingga terwujud keluarga yang harmonis.
Pembagian
Peran dalam Keluarga
Pembagian peran dan fungsi yang ada di dalam keluarga, diatur
Islam secara sempurana. Setiap muslim
dalam perannya masing-masing (sebagai individu, anak, suami atau istri, ibu
atau ayah, sebagai anggota masyarakat) diharuskan memiliki pemahaman yang benar
berkaitan dengan seluruh hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga dan wajib
terikat dengannya sebagai konsekuensi iman.
Islam telah memberikan aturan khusus kepada suami dan
istri untuk mengemban tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga. Suami
sebagai kepala dan pemimpin keluarga, sedangkan istri sebagai pemimpin rumah
suaminya sekaligus menjadi pemimpin bagi anak-anaknya.
Anak, memiliki peran dan
tanggung jawab dalam keluarga, terlebih anak-anak yang telah balig. Ia wajib
berbakti pada kedua orang tuanya dan bergaul secara baik dengan mereka. Al-Qur’an
dan hadis Rasulullah saw. telah menjelaskan dengan sangat terperinci bagaimana
seharusnya seorang anak bersikap baik terhadap orang tuanya, di antaranya:
Pertama, Menaati dan
Menghormati Kedua Orang Tua, Rasulullah saw. bersabda, “Taatilah ayahmu selama dia hidup dan selama tidak diperintahkan
untuk bermaksiat.” (HR Ahmad)
Kedua, Merendahkan Pandangan dan
Perkataan di Hadapan Orang Tua, Allah berfirman, “Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang...” (QS Al-Isra: 24)
Ketiga, Bersegera Memenuhi
Panggilan Mereka, Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan,
“Para ulama mengatakan, memenuhi panggilan ibu, lebih utama dari pada terus
melanjutkan shalat sunah, tidak wajib. Karena menjawab panggilan ibu dan
berbuat baik padanya itu wajib, dan mendurhakainya itu haram’.
Keempat, Tidak Mencela Orang
Tua dan Tidak Menyebabkan Mereka Mendapatkan Celaan, dari Abdullah bin ‘Umar
ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara dosa
besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya.”..” (HR Bukhari dan Muslim)
Kelima, Menafkahi Orang Tua, dari Jabir bin Abdillah, seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta dan
anak, sedangkan bapakku ingin menghabiskan hartaku.” Maka
beliau bersabda, “Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu.” (HR Ibnu Majah)
Keenam, Selalu Mendoakan dan
Meminta Maaf, Allah melalui Al-Qur’an, “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya
tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya
itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah,
maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS At Taubah: 114)
Ketujuh, Menjaga Silaturahmi, dari Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ibuku pernah datang kepadaku dalam keadaan
musyrik di masa Quraisy ketika Beliau mengadakan perjanjian (damai) dengan
mereka, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ibuku
datang kepadaku karena berharap (bertemu) denganku. Bolehkah aku sambung
(hubungan) dengan ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Sambunglah (hubungan) dengan
ibumu.'” (HR Muslim)
Demikianlah, Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. telah
mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya seorang anak bersikap terhadap
kedua orang tuanya. Sudah seharusnya kita menghormati, taat, dan memperlakukan
mereka dengan baik. Hanya dalam penerapan Islam kaffah Orang Tua mulia. Wallahu a’lam bishshawab.