Muslim Bertakwa Tegakkan Syariat-Nya



Oleh : Hamnah B. Lin

          Dosen komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando, kembali membuat heboh dengan menyoroti penerapan syariat Islam di Indonesia. Ia menilai Aceh merupakan wilayah yang berhasil memberlakukan syariat Islam di wilayahnya. Namun, ia menyatakan tetap konsisten menolak penegakan syariat Islam di Indonesia. Baginya, syariat Islam tidak cocok diterapkan di Indoensia, bahkan ia meyakini penegakan syariat Islam hanya akan menimbulkan banyak masalah karena Indonesia adalah negara yang kaya keberagaman (wartaekonomi, 29/10/2021).
         Miris, pemikiran liberal semacam ini makin nyaring bersuara, lantang dan berani unjuk gigi ditengah mayoritas kaum muslim. Pantas saja mereka berani, karena kaum muslim sendiri makin tak bergigi hingga ompong akibat sistem sekuler yang mereka adopsi secara sukarela. Sekuler adalah pemikiran yang ingin memisahkan urusan dunia dengan agama Islam. Jadinya akal yang menjadi panduan, baik buruk berdasarkan keinginan, bukan Allah SWT lagi yang menjadi tuntunan. Maka tak elak, banyak hukum yang abu-abu, berbagai aktifitas masyarakat makin tak jelas kehalalannya 
          Sepatutnya seorang Muslim wajib masuk Islam secara kaffah, yaitu masuk ke dalam segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Jika seorang Muslim melaksanakan Islam sebagian seraya melaksanakan selain Islam pada sebagian lainnya, itu berarti dia mengikuti langkah-langkah setan yang terkutuk. Firman Allah SWTإ: "Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 208).
          Maka dibutuhkan ketakwaan sebagai modal utama atas pengakuan seluruh syariat-NYA. Ketakwaan dibangun sejak seorang hamba berikrar tiada Illah kecuali Allah Swt. Tidak ada yang patut disembah dan ditaati selain Allah Swt. 
          Menurut Tafsir Ibnu Katsir, takwa adalah menaati Allah Swt. dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah Swt. serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran (kufur) di dalamnya. Begitu pentingnya takwa, Al-Qur’an menyebutnya sebanyak 259 kali dengan beragam makna.
         Takwa dalam Al-Qur’an memiliki tiga makna:
Pertama, takut kepada Allah dan pengakuan atas superioritas Allah dengan segala kuasa-Nya. Seperti firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 41, “Dan hanya kepada-Kulah kamu harus bertakwa.”
Kedua, taat dan beribadah kepada Allah. Hal ini sesuai perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 102 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” Ibnu Abbas berkata, “Taatlah kepada Allah dengan sebenar-benar ketaatan.” 
Ketiga, pembersihan diri dari dosa. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (rida) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Hal ini sesuai perintah Allah dalam surat Al Hajj ayat 32 yang artinya, “Demikianlah (perintah Allah), dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.”
          Agar takwa tak sulit, maka butuh sistem yang menggiring langkah dan hati ini tersungkur hanya dihadapan Allah SWT. Adalah sistem khilafah yang akan menaungi manusia kembali kepada fitrahnya, hanya menghamba kepada Rabb-nya, yakni Allah SWT melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh.
         Maka ada langkah-langkah nyata dari negara khilafah untuk mewujudkan takwa, diantaranya:
Pertama, melakukan pembinaan terhadap individu dengan akidah Islam. Dengan pembinaan yang berbasis ideologi Islam, akan terbangun kesadarannya mengapa harus beriman dan taat sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Tugas pembinaan ini bisa dilakukan oleh kelompok/jemaah Islam atau masyarakat. Bisa juga dilakukan negara secara langsung melalui sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam.
Kedua, melakukan kontrol dan pengawasan terhadap media. Media dalam negara Khilafah berfungsi sebagai alat kontrol dan sarana syiar dakwah Islam. Media memiliki peran politis dan strategis sebagai penjaga umat dan negara dari muatan yang merusak keimanan dan pemikiran umat.
Media bertugas menyaring informasi yang berbau maksiat. Seperti konten pornografi, pornoaksi, umbar aurat, seks bebas, gaya hidup hedonis kapitalistik, serta pemikiran sesat yang bertentangan dengan Islam. Dengan begitu tontonan dan tayangan yang ditampilkan di sistem Khilafah adalah tampilan yang menumbuhkan ketaatan, suasana iman, semangat ibadah, serta dorongan berdakwah.
Keempat, memberlakukan sistem sanksi yang tegas. Sistem sanksi diterapkan jika masih ada masyarakat yang melakukan kemaksiatan dan melanggar syariat. Berlakunya sistem sanksi Islam akan memberi efek jera bagi pelaku sekaligus sebagai penebus dosa. Sanksi jera ini mengandung hikmah bagi masyarakat. Jika ingin melanggar/bermaksiat, mereka akan berpikir seribu kali jika tidak ingin bernasib sama seperti pelaku maksiat yang sudah dihukum. Dengan begitu, angka maksiat dan kriminalitas dapat diminimalisir.
          Demikianlah sepatutnya seorang muslim bersikap, saya mendengar dan saya taat, jawaban yang tepat di iringi sikap ridha atas seluruh syariat-NYA. Maka tinggalkan kapitalis sejauh-jauhnya agar hati tak kembali kotor oleh pasir beracun penghancur ketakwaan. Gigih berjuang menegakkan syariat Islam sebagai amalan seorang bertakwa. Cinta Allah SWT, cinta terterapnya syariat-NYA 
Wallahu a'lam biasshiwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak