Oleh: Hamnah B. Lin
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Muhammad Cholil Nafis menyerukan revisi atas Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia (Permendag) no 20 tahun 2021. Permendag tersebut berisi tentang kebijakan dan pengaturan impor termasuk pelonggaran atas masuknya minuman beralkohol (minol). “Peraturan Mendag RI no. 20 tahun 2021 tentang kebijakan dan pengaturan impor termasuk minuman beralkohol yang boleh membawa 2250 ml sebaiknya direvisi, karena merugikan moral bangsa dan pendapatan negara,” ungkap Cholil melalui akun Twitter-nya pada Kamis (04/11/2021) ( Hidayatullah.com, 4/11/2021).
KH Muhammad Cholil Nafis menambahkan bahwa Peraturan ini, memihak kepentingan wisatawan asing agar datang ke Indonesia tapi merugikan anak bangsa dan pendapatan negara. Kerugian tersebut, ujar Cholil, terletak pada melonggarnya peredaran minol dan menganggapnya hal yang biasa. “Karena wisata asing atau kita yang keluar negeri akan membawa minol lebih banyak.”
Miris, miras yang jelas haram tetap saja di otak-atik peraturannya sedemikian rupa agar bisa tetap ada keberadaannya, padahal pembuat kebijakannya adalah Muslim.
Apapun alasannya, sama saja dengan mengundang bahaya (dharar) besar bagi masyarakat. Fakta-fakta yang ada jelas membuktikan bahwa miras menjadi sumber berbagai kejahatan dan kerusakan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, kecelakaan dan kejahatan lain yang nyata-nyata terjadi akibat pelakunya dalam pengaruh minuman keras.
Apalagi pelegalan produksi, distribusi, penjualan dan konsumsi miras jelas menyalahi syariah. Islam tegas mengharamkan miras. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian beruntung (TQS al-Maidah [5]: 90).
Rasul saw. menjelaskan bahwa semua minuman (cairan) yang memabukkan adalah khamr dan khamr itu haram baik sedikit maupun banyak: Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram (HR Muslim).
Juga dalam hadits Rasulullah saw., "Rasulullah saw. telah melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Hadits diatas menjelaskan bahwa Islam melaknat khamr atau minuman keras (miras). Islam mengharamkan orang yang minum khamr atau miras yang termasuk dalam dosa besar. Islam juga melarang total semua hal yang berkaitan dengan khamr mulai dari produsen, distributor termasuk pengimpor miras/minol, penjual pembeli hingga miras sampai ke tangan si peminumnya.
Hadis ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak itu telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan syariah. Peminum khamr, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan, akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra. menuturkan: Nabi Muhammad saw. pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Akan tetapi di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini, justru dihadapkan pada penentangannya terhadap firman Allah SWT dan hadits Rasul saw. ini, dengan alasan pariwisata, peredaran minol untuk wisatawan asing diberi kelonggaran oleh Kemendag. Sungguh kentara dimana asas manfaat mengalahkan standart halal haram sebuah peraturan negara.
Jika diamati ternyata sistem yang dianut Pemerintahlah yang membuatnya demikian. Sistem Kapitalis- sekuler, dimana peraturan kehidupan ini dijauhkan dari Agama Islam. Sehingga yang menjadi standart pembuatan peraturannya bukanlah standart Islam. Namun Islam dipisahkan, dijauhkan, meski para pembuat kebijakan adalah mayoritas muslim. Miris bukan.
Kaum sekuler memandang baik upaya memproduksi, mengedarkan, menjual dan mengonsumsi minuman keras (miras) atau minuman beralkohol (minol). Alasan mereka, hal demikian bisa mendatangkan manfaat berupa pendapatan negara, menggerakkan sektor pariwisata, membuka lapangan kerja, dan mendapatkan cukai. Mereka mengabaikan sama sekali dampak buruk miras/minol seperti: rusaknya moralitas, meningkatnya kriminalitas, dan hancurnya kehidupan sosial. Semua itu bisa terjadi akibat pengaruh mengonsumsi miras/minol. Sikap kaum sekuler ini tentu sangat berbahaya karena akan menimbulkan kerusakan pada kehidupan manusia.
Sedangkan dalam Islam memiliki standar yang bersifat pasti untuk menilai baik-buruknya sesuatu. Standar tersebut tidak lain adalah halal dan haram. Sesuatu yang menurut Islam halal, pasti baik (khayr). Sebaliknya, sesuatu yang menurut Islam haram, pasti buruk (syarr). Tanpa melihat lagi apakah sesuatu itu bermanfaat ataukah mendatangkan madarat menurut pandangan manusia. Dengan standar halal-haram ini seharusnya status hukum miras/minol dikembalikan pada penilaian syariat. Miras/minol jelas haram. Tak perlu lagi ada perselisihan.
Karena itu standar baik-buruk yang hakiki hanya dapat diterapkan jika manusia mengadopsi syariat Islam dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman, "Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan (agama itu). Karena itulah ikutilah syariah itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu.” (QS al-Jatsiyah [45]: 18)
Dengan kata lain, sesuatu dinilai baik (khayr) atau buruk (syarr) dilihat dari aspek rida-tidaknya Allah SWT terhadap sesuatu tersebut. Jika Allah SWT meridai sesuatu, berarti sesuatu itu baik. Sebaliknya, jika Allah SWT murka terhadap sesuatu, berarti sesuatu itu buruk. Karena itu Syekh Taqiyuddin an-Nabhani merumuskan kaidaُh "Kebaikan adalah apa saja yang Allah ridai. Keburukan adalah apa saja yang Allah murkai".
Maka dalam sistem Islam, Pemerintah dan seluruh rakyat wajib mengacu pada syariat dalam menetapkan baik-buruk serta dalam menentukan boleh-tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat. Bila sesuatu telah dinyatakan haram menurut syariat Islam, pasti ia akan menimbulkan bahaya (dharar) di tengah masyarakat. Miras/minol tentu termasuk di dalamnya.
Karena itu miras/minol harus dilarang secara total. Menolak larangan miras/minol secara total dengan alasan apapun, termasuk alasan bisnis, wisata adalah tercela dan pasti mendatangkan azab Allah SWT. WalLahu a’lam bi ash-shawwab.