Oleh : Hamnah B. Lin
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mendukung keputusan Mendikbudristek Nadiem Makarim meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Menurut Yaqut, peraturan itu bagus dan Kemenag mendukung penuh keputusan itu. Bahkan, ia menjamin dukungan ini sebagai bentuk komitmen mengembangkan moderasi beragama (kompasTV, 13/11/2021).
"Ini juga komitmen untuk terus mengembangkan moderasi beragama sebagai solusi untuk menghadapi problem keagamaan dan kebangsaan yang dihadapi saat ini," tambah Yaqut. Dia menegaskan, perlindungan terhadap para civitas akademika dalam konteks kekerasan seksual adalah bagian dari implementasi moderasi beragama, dan tentu bagian dari aktualisasi esensi secara agama yaitu melindungi martabat kemanusiaan.
Telah kita ketahui bahwa beberapa bulan yang lalu Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Nadiem meneken Permen (Peraturan Menteri) ini pada 31/8/2021 dan selanjutnya diundangkan pada 3/9/2021. Pertimbangan Permen ini antara lain makin meningkatnya kekerasan seksual pada ranah komunitas, termasuk perguruan tinggi. Namun, dalam Permen tersebut, makna kekerasan seksual pada beberapa kondisi adalah tindakan ‘tanpa persetujuan korban’.
Lalu mengapa Menteri Agama malah mendukung permen tersebut, padahal penolakan dari berbagai pihak sudah berdatangan.
Penolakan datang dari pengamat politik, Muslim Arbi, isi Permen tersebut justru melegitimasi perzinaan. Masalahnya, dalam terminologi “kekerasan seksual” tersebut, jika tindakan seksualnya terjadi dengan persetujuan, maka tidak terkategori kekerasan seksual (baca: seks bebas). Menurutnya, ini jelas pemikiran liberal menuju jalan perzinaan. (Fp ITD News, 5/11/2021).
Bahkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, mengatakan, berkenaan dengan Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021, ijtima ulama menyampaikan ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, peraturan perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Penolakan selanjutnya atang dari Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. (HNW) yang turut menyesalkan keluarnya Permen ini. Menurut HNW, Permen ini tidak memiliki landasan hukum yang spesifik. Apalagi peraturan menyangkut kekerasan seksual sebagai rujukan Permen ini justru sudah DPR batalkan. HNW juga menilai dalam Permen tersebut tidak terlihat masuknya norma agama dan tujuan dari pendidikan nasional yang ada pada aturan UUD-NRI 1945. (JPNN, 6/11/2021).
Dan masih banyak lagi penolakan terhadap permendikbud 30 ini. Namun nyatanya Menteri pendidikan tetap melanjutkannya.
Jika mengamati pertimbangan munculnya permen ini yakni karena makin meningkatnya kekerasan seksual pada ranah komunitas, termasuk perguruan tinggi. Lalu sebenarnya apa penyebab makin meningkatnya kekerasan seksual ini?
Sejatinya kasus kekerasan seksual di kampus ini muncul akibat pola pikir liberal (serba bebas). Dan juga lahihirnya aturan-aturan yang melegalkan perilaku seks bebas sejatinya berangkat dari pemahaman sekuler yang sudah terlalu mengakar di dunia pendidikan. Rumusan Permen yang melegitimasi kata “consent” juga buah dari pemikiran ini. Dalam arti, sekularisme memang sudah menyebar luas di kalangan akademis dan intelektual, serta seluruh elemen masyarakat. Coba kita pikir, pada saat yang sama, kampus sering kali terpojok dengan tudingan sarang radikalisme. Padahal, tidak pernah ada bukti riil terkait praktik radikalisme itu sendiri.
Alhasil sekularisasilah yang telah menjatuhkan kehormatan kampus, sampai beberapa waktu lalu ada seorang penggawa negara yang menyebut kampus sebagai tempat tercetaknya para koruptor. Oleh karena itu, masalah utama sesungguhnya yang layak untuk dibongkar adalah praktik-praktik sekularisasi itu sendiri. Sekularisasi kampus jelas-jelas melahirkan pola pikir liberal, cepat atau lambat pasti menghancurkan generasi. Jika tidak hancur di dunia, pasti menuai rugi di akhirat.
Andai pun aturan itu direvisi dan dicabut, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan berulang selama negeri ini masih menerapkan sekularisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga negara yang seharusnya terdepan menjaga moralitas dan perilaku generasi, mengapa malah memberi peluang liberalisasi menyubur di lingkungan kampus? Sementara, mahasiswa justru terjejali dengan arus deradikalisasi yang sangat gencar belakangan ini. Mahasiswa yang ingin berubah menjadi lebih religius dan islami malah dicurigai sebagai benih radikalisme. Sebagaimana isu beberapa waktu lalu mengenai radikalisme menyasar kampus yang memiliki ciri-ciri: good looking tetapi pikirannya radikal, gemar ikut kajian dan pembinaan keislaman, hafal Al-Qur’an, dan semua hal berbau Islam.
Ketika rumusan masalah kekerasan seksual tidak tepat, solusi yang ada juga tidak akan benar. Oleh karena itu, pencegahan yang paling pas dan solutif dalam mengatasi kekerasan seksual adalah mencampakkan ideologi kapitalisme sekuler lalu menerapkan sistem alternatif lain sebagai penggantinya.
Sungguh jauh dengan Islam, yang sudah memiliki seperangkat aturan lengkap untuk mencegah tindakan kekerasan seksual ini, yang berasal dari Allah Swt., Zat Yang Mahatahu ini telah menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan sekaligus menurunkan seperangkat hukum syariat untuk mengaturnya.
Islam bukan hanya agama ritual. Islam adalah konsep kehidupan yang memiliki seperangkat sistem yang mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Dalam lintas sejarah, sistem Islam terbukti mampu mencetak manusia berkepribadian mulia dan melahirkan ilmuwan hebat yang berdedikasi tinggi.
Kampus-kampus yang berdiri pada masa Islam berhasil menjadi mercusuar peradaban dengan segudang prestasi dan ilmu. Pencapaian ini belum pernah mampu terwujud oleh peradaban mana pun. Dengan penerapan sistem Islam kafah, tujuan mulia pendidikan dapat tercapai; kampus akan menjadi pusat riset dan keilmuan bagi para pencari ilmu, yakni insan-insan mulia yang mempersembahkan ilmunya untuk kepentingan umat manusia, bukan menjadi insan yang terbelenggu dengan kepentingan korporasi demi mengejar prestasi dan nilai materi semata.
Maka hanya dengan kembali menerapkan Al-Qur’an dan Sunah, generasi ini terselamatkan dari kerusakan dan keterpurukan. Mari ambil bagian untuk tegaknya syariat Islam di negeri tercinta khususnya dan di dunia umumnya.
Wallahu a'lam biasshawab.