Oleh Yusra Ummu Izzah, Pendidik Generasi
Adanya rencana penamaan salah satu jalan di Jakarta dengan nama Mustafa Kemal Attaturk, berisiko melukai hati umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Betapa tidak,
sosok inilah yang melalui tangan kotornya telah menghapus
kekuasaan berdasarkan Islam kafah pada tanggal 3 Maret 1924. Namun alih-alih dikutuk, justru mendapat apresiasi sedemikian rupa.
Walau alasan pemberian nama tersebut konon merupakan bagian dari kerjasama antara Indonesia.
Sebab lainnya karena pemerintah Turki telah menganugerahkan nama jalan di depan kantor
KBRI Ankara yang baru dengan nama Jalan Ahmad Soekarno sebagaimana yang dikatakan oleh wakil
ketua Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. (cnnindonesia.com, 17/10/2021)
Wajar bila mayoritas umat kemudian ramai menolak rencana penamaan “Ataturk” sebagai nama
jalan di Ibu Kota. Masih di laman yang sama, Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas
mengatakan, Mustafa Kemal Ataturk adalah tokoh yang mengacak-acak ajaran Islam dan
perbuatannya banyak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah.
Penolakan juga datang dari Ketua Dewan Syuro DSKS Ustadz Muzzayin Marzuki. Menurutnya, hal itu
menunjukkan ketakpahaman terhadap Islam dan perjuangan kaum muslim. Tak selayaknya
menjadikan pecundang dan pengkhianat Islam sebagai nama jalan.
Bagaimana tanggapan pemerintah mengenai hal ini? Siapakah sebenarnya sosok yang penuh
kontroversi ini? Layakkah negeri mayoritas muslim mengabadikannya sebagai nama jalan di Ibu Kota
Jakarta?
Nyata, Turki dan Indonesia memang memiliki nilai historis dan hubungan yang kuat. Bila dilihat dengan
kacamata nasionalis, Soekarno dan Ataturk dinilai sebagai Bapak Bangsa masing-masing
negara, pendiri negara republik, dan tokoh revolusi yang katanya memiliki spirit perjuangan
melawan kolonial. Namun, jika dilihat dengan kacamata Islam, hubungan Nusantara dengan
Khilafah Utsmani di Turki terekam dalam dakwah Islam yang dibawa para wali.
Inilah pentingnya kita melihat sejarah secara utuh. Kita harus memahami betul sosok Mustafa Kemal
Ataturk yang dibenci umat muslim dan meninggalkan luka mendalam yang tak terobati. Jangan sampai
negeri berpenduduk mayoritas muslim ini salah menilai tokoh yang sebenarnya adalah dalang di
balik kehancuran Kekhalifahan Utsmani—yang sudah ratusan tahun menjadi penjaga dan pelindung
kaum muslim di seluruh dunia.
Si Pembegal Khilafah
Bagi sebagian kalangan sekuler, yang meminggirkan aturan agama dari kehidupan, Mustafa Kemal adalah pahlawan, bapak pembaharu Turki, dan tokoh
revolusioner. Sebabnya, Ataturk berhasil menghilangkan dominasi dan dogmatisme agama di Turki
dengan menghancurkan dan menghapus sistem Kekhalifahan Utsmani saat itu.
Ia mengganti wajah Turki yang semula ternaungi cahaya Islam berubah menjadi Republik. Ia
sengaja menjauhkan syariat Islam dari kehidupan rakyat Turki hingga mengubah segala aturan yang
berbau Islam menjadi ala Barat.
Turki adalah negara Islam pertama yang sebelum Perang Dunia II dengan lantang dan berani
mengadopsi paham sekularisme. Semua ini terjadi berkat peran besar Kemal, si pembegal sekaligus
penjagal Khilafah. Ia melakukan berbagai konspirasi untuk meruntuhkan sistem Khilafah yang sudah ratusan tahun menaungi Turki dan negeri-negeri Islam lainnya.
Kemal Ataturk terkenal sebagai peletak dasar sekularisme di Turki. Ia lahir pada 1881 di daerah
Salonika. Ayahnya, Ali Riza, bekerja sebagai pegawai kantor di kota itu. Maryam Jameelah dalam
bukunya, Islam dan Modernisasi, mencatat bahwa Ali Riza adalah seorang pecandu alkohol. Sebagian
penulis Barat menyebutkan Kemal Ataturk adalah anggota Freemasonry, organisasi rahasia Yahudi
yang berdiri di London pada 1717. (Muammar, Arfan. Kritik terhadap Sekularisasi Turki)
Dosa Ataturk menghapus Kekhalifahan jelas tak termaafkan. Setelah Khilafah resmi diruntuhkan
pada 3 Maret 1924, ia berusaha melaksanakan program liberalisasi masyarakat Turki secara sistematis.
Dalam pandangannya, Barat harus menjadi role model bagi Turki. Ia menganggap Islam sebagai penghalang kemajuan,
sehingga harus disingkirkan dalam aturan kehidupan.
Melansir dari muslimahnews.com (20/3/2021), inilah beberapa deretan kebijakan terburuk Kemal
Ataturk terhadap Islam:
-Menghapus Khilafah Islam pada 1924 M atau 1342 H, tepat seabad yang lalu
menurut tahun hijriah.
-Menghapus seluruh syariat Islam pada 1926.
-Menjadikan warisan antara laki-laki dan perempuan setara.
-Melarang rakyat Turki untuk melakukan ritual ibadah haji atau umrah
-Melarang bahasa Arab di sekolah. Melarang azan di masjid-masjid.
-Melarang hijab (pakaian wanita
sesuai syariat)
-Menghapus perayaan Idulfitri dan Iduladha,
-Menghapus aksara Arab dari
bahasa resmi negara
-Mengubah Masjid Hagia Sofia sebagai museum.
-Mengeksekusi ratusan ulama dan ahli fikih
yang menolak kebijakannya.
Dampak dari kebijakan tersebut, hingga kini kaum muslimin berpecah belah dipisahkan oleh sekat nation state alias negara-bangsa. Risikonya menjadi mudah terjajah.
Sekularisasi dan westernisasi yang ia bawa telah
menghancurkan kehidupan kaum muslimin. Umat tak lagi memiliki pelindung dan penjaga. Palestina, Suriah, Irak, dan negeri Islam lainnya berlumuran darah akibat
konflik berkepanjangan.
Melihat rekam jejaknya yang begitu kontroversial, layakkah sosoknya diabadikan sebagai nama jalan
di negeri mayoritas muslim? Padahal, banyak pemimpin Turki yang lebih layak seperti Sulaiman al-Qanuni, Muhammad al-Fatih, atau Sultan Abdul Hamid II.
Sungguh tak patut negeri yang mengagungkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa justru mengabadikan
nama pengkhianat Islam sebagai nama jalan. Sudah seharusnya penguasa negeri ini menenggang
perasaan umat Islam sebagai penduduk mayoritas. Jika rencana ini diteruskan, bukankah hal ini
makin mengafirmasi bahwa negeri ini memang berpandangan sekuler?
Sekularisasi Turki harusnya menjadi pelajaran berharga. Apa yang terjadi selama
hampir seabad membuktikan bahwa penerapan sekularisme di negeri Islam sama saja bermakna
menghapus Islam sebagai sebuah sistem hidup yang bersinar terang.
Padahal Islam diturunkan sebagai Ad-din,
yang memiliki konsep kehidupan. Kegemilangannya niscaya berulang kembali hanya dan hanya jika
syariahnya diterapkan secara kafah. Sebagaimana yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Alquran mulia dan hadis Rasulullah Saw. Wallaahu a'lam.