Oleh : Ummu Khielba
(Komunitas Pena Pejuang Dakwah)
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa merupakan majelis para pemuka agama Islam yang bertugas memberikan solusi bagi anak bangsa dalam segala tatanan aspek kehidupan. Kali ini, ijtimak ulama menghasilkan 12 kesepakatan yang sangat penting terkait persoalan bangsa yang sedang hangat dan menimbulkan polemik di tengah-tangah masyarakat. Di antara 12 kesepakatan ijtimak ulama tersebut adalah bahwa jihad dan khilafah merupakan ajaran Islam yang tidak boleh ditolak. (Republika.co.id, 11/11/21)
Namun, sayangnya, MUI memahami makna jihad dan khilafah berdasarkan minhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan), yaitu menerima jihad dan khilafah sebagai ajaran Islam, tetapi juga mengakui sistem pemerintahan selain khilafah, seperti monarki, keemiran, kesultanan, dan republik.
Pada satu sisi, kita mengapresiasi hasil ijtimak ulama tersebut sebagai komitmen ulama untuk tetap menjaga ajaran Islam dan menyampaikan kebenaran di tengah-tengah umat bahwa jihad dan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam.
Namun, pada sisi lain, kita pun perlu mengkritisi dan meluruskan konsep pemaknaan jihad dan khilafah yang berdasarkan minhaj wasathiyah dengan pemahaman sahih agar umat Islam memiliki pemahaman benar dan utuh tentang keduanya.
Pengkaburan makna jihad dan khilafah akan menentukan gerak kaum muslimin dalam mengembalikan islam ke tengah-tengah masyarakat. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bentuk kepemimpinan ini dalam hadis sahih dengan perawi yang tsiqah.
” … Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR Ahmad).
Melansir dari artikel muslimahnews.com, 24/11/21, Kholishoh Dzikri mengungkapkan bahwa islam adalah agama yang sempurna, Islam menetapkan sistem pemerintahan yang bersifat baku, yaitu Khilafah Islamiah. Khilafah merupakan bentuk kepemimpinan yang khas, setidaknya dalam 5 (lima) poin.
Pertama, kepemimpinan umum yang berlaku atas seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Kedua, kepemimpinan yang mencakup urusan agama sekaligus dunia, tidak sebatas urusan agama saja sebagaimana kepausan dalam agama Nasrani, juga bukan sekadar urusan dunia saja, seperti kepemimpinan dalam sistem sekuler demokrasi yang menyerahkan urusan agama kepada individu.
Ketiga, kepemimpinan yang menjadikan kemaslahatan akhirat sebagai tolok ukurnya sehingga hanya mengacu pada syariat Islam dalam mengatur urusan rakyat.
Keempat, kepemimpinan yang mengemban misi dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.
Kelima, kepemimpinan yang menaungi masyarakat umum dan khusus, termasuk di dalamnya nonmuslim.
Begitupun dengan makna jihad, selamanya makna jihad adalah perang (Qital). Memaknai “jihad” dengan dua makna yang berbeda akan mengaburkan makna jihad secara syar’i. Memang benar bahwa secara lughawi (makna bahasa), “jihad” adalah ‘bersungguh-sungguh’. Kata “jihad” berasal dari kata “jahada” atau ”jahdun (جَهْدٌ)” yang berarti ‘usaha’; atau “juhdun (جُهْدٌ)” yang berarti ‘kekuatan’. Namun, memaknai “jihad” dengan ‘bersungguh-sungguh melakukan kebaikan’ dengan alasan untuk memajukan agama Islam, tidaklah benar.
Secara syar’i, jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang maupun dengan memberikan bantuan harta untuk perang. (Syarah Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz 2 karya Syekh Hisyam al-Badrani dan kitab Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah karya Syekh Dr. Muhammad Khair Haikal).
Jadi, jihad dalam makna syar’i hanya digunakan untuk 'perang’ dan setiap yang terkait dengan perang secara langsung (al-qitaal wa kullu maa yata’allaqu bil qitaali mubaasyaratan). (Taqiyuddin An-Nabhani. Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145).
Berbagai upaya yang dilakukan oleh musuh islam, mulai dari pendistorsian, pengkaburan bahkan pengkaburan makna jihad dan khilafah. Seharusnya kaum muslimin jeli dan lebih teliti akan upaya yang mereka lakukan dengan menawarkan solusi "Jalan Tengah" atau ""Jalan Kompromi" dalam balutan minhaj Wasathiyah. Bukannya mengembalikan kepada makna sebenarnya malah menjadi duta pemulus minhaj ini. Islam wasathiyah akan selalu berusaha mengompromikan Islam dengan pemikiran dan ideologi lain yang bertentangan dengannya. Bagaimana bisa ajaran islam yang mulia digabungkan dan dikompromikan dengan ajaran sosialisme komunisme dan kapitalisme?
Allah SWT melarang dengan larangan yang keras terhadap perbuatan tersebut dengan mengatakan,
“ Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al baqarah [2] :42)
Perang antara al-Haq dan al-Bathil, pasti akan terus terjadi. Kebatilan bisa jadi akan menguasai manusia, sebagaimana yang terjadi saat ini. Tapi itu tak akan lama. Secara sunatullah, kebenaran (al-haq) itulah yang akan menang. Kebatilan pasti lenyap dan kebenaran akan tegak.
Wallahu a’lam
Tags
Opini