Oleh. Yuli Juharini
Baru-baru ini tepatnya pada tanggal 31 Agustus 2021 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim, menandatangani Peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi.
Hal ini dilakukan terkait banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Yang ironisnya itu dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswinya yang sedang tugas bimbingan akhir dan skripsi. Hal ini seperti disampaikan oleh koordinator Forum Perempuan BEM SI, Zakiah Drajat. Bahkan ketua komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, pernah melihat sendiri kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. (Detik.com, 6/11/2021)
Terkesan Permen PPKS tersebut bertujuan bagus, yaitu untuk mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun ternyata hal ini justru malah mendapat kritikan dari beberapa pihak. Salah satu kritikan disampaikan oleh Partai Keadilan Sosial (PKS). Ketua PKS Mardani Ali Sera menilai bahwa peraturan menteri itu tidak tepat, karena Undang-undang yang menjadi landasan hukumnya belum ada. Beliau juga menganggap bahwa peraturan menteri ini pun jauh dari nilai-nilai pancasila, bahkan cenderung mengarah pada nilai-nilai liberalisme.
PKS juga tidak setuju dengan aspek consent atau persetujuan yang menjadi syarat aktivitas seksual. Sebab consent atau persetujuan adalah tindakan atau perilaku tersebut akan masuk dalam konteks kekerasan seksual jika tidak ada persetujuan dari korban. Jadi jika dilakukan suka sama suka, maka itu boleh dan tidak dianggap kekerasan seksual.
Penolakan juga dilakukan oleh Majelis Ormas Islam (MOA), yang beranggotakan 13 ormas Islam Indonesia. MOA menilai, bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalkan perzinahan serta akan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus. (Republika.co.id, 4/11/2021).
Begitulah dengan sistem liberalisasi yang ada pada saat ini, semua serba bebas bahkan dalam masalah zina sekali pun. Jika perbuatan asusila dilakukan secara suka sama suka maka hal itu tidak dikatakan sebagai pelaku kekerasan seksual atau pun zina, sementara ketika ada yang merasa dipaksa atau tidak mendapat persetujuan dari korban barulah dikatakan telah melakukan kekerasan seksual.
Sementara tidak adanya sanksi yang tegas juga semakin menjadikan perbuatan zina ini seolah menjadi hal yang biasa. Bahkan tidak malu-malu lagi pemuda pemudi berduaan di tempat umum sekalipun.
Kampus yang seharusnya menjadi tempat lahirnya insan yang akan menciptakan contoh kebaikan, malah difasilitasi dengan kebijakan yang akan semakin menjerat mereka dalam liberalisasi seksual yang telah mengepung para pemuda dan pemudinya.
Lantas bagaimana Islam memandang hal ini?
Allah Swt. berfirman di dalam surat Al Isra ayat 32 yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina. Zina itu sungguh perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk."
Dari ayat ini kita bisa ambil kesimpulan, bahwa mendekati zina saja dilarang, apalagi melakukannya. Salah satunya adalah pacaran yang jelas-jelas menjadi pintu masuk dalam rangka mendekati zina, sebab pacaran yang dilakukan remaja saat ini salah satunya adalah berkhalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), bersentuhan kulit, berpelukan, bahkan ada yang lebih dari itu. Dengan kata lain pacaran jelas dilarang di dalam Islam karena termasuk ke dalam perbuatan zina.
Sementara Islam sangat tegas melarang manusia berzina. Di dalam surat An Nur ayat 2 Allah berfirman yang artinya, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu kasihan kepada keduanya, di dalam menjalankan ketentuan agama Allah yaitu jika kamu beriman pada Allah dan hari akhir. Hendaklah dalam melaksanakan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang orang beriman."
Terkait dengan ayat di atas, Rasulullah saw. pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa apabila pelaku zina itu sudah pernah menikah sebelumnya (muhsan), maka akan dirajam sampai mati. Sementara jika pelaku zina belum pernah menikah sebelumnya (ghairu muhsan) maka akan dicambuk seratus kali.
Itulah cara Islam menegakkan hukum bagi pelaku zina agar ada efek jera bagi pelaku zina. Dengan adanya sanksi yang tegas tersebut, maka masyarakat akan berpikir ulang ketika hendak melakukan perbuatan zina. Tentunya ini dilakukan jika terdapat saksi yang benar-benar melihat perzinahan yang terjadi. Hukum Islam tersebut hanya dapat dilakukan ketika ada institusi negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah yaitu sistem khilafah.
Jangan sampai zina itu merebak dan akan mendatangkan azab Allah. Seperti yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi dan Ath Thabrani, jika zina dan riba telah menyebar di suatu masyarakat, maka itu artinya mereka telah menghalalkan turunnya azab Allah Swt.
Jika sudah seperti itu, akankah kita bertahan dengan sistem yang sangat rusak ini?
Sudah saatnya umat cerdas, untuk kembali pada sistem yang berasal dari sang Khaliq yang sudah pasti membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Tags
Opini