Oleh Desi Anggraini
Seperti tak ada habis-habisnya, kasus korupsi terus saja terulang. Kali ini KPK RI resmi menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kegiatan operasi tangkap tangan( OTT ), atas dugaan fee empat paket proyek infrastruktur dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) tahun anggaran 2021.
Jubir KPK RI Ali Fikri saat gelar rilis penetapan tersangka, Sabtu (16/10) menjelaskan, bahwa Pemkab Muba untuk tahun 2021 akan melaksanakan beberapa proyek yang dananya bersumber dari APBD, APBDP tahun anggaran 2021. Serta, Bantuan Keuangan Provinsi (Bantuan Gubernur/Bangub) diantaranya pada Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin.
Keempat proyek infrastruktur tersebut yang dimenangkan oleh PT. Selaras Simpati Nusantara, yakni rehabilitasi daerah irigasi Ngulak III (IDPMIP) di Desa Ngulak III, Kec. Sanga dengan nilai kontrak Rp2,39 Miliar. Peningkatan jaringan irigasi DIR Epil dengan nilai kontrak Rp4,3 Miliar, kemudian peningkatan jaringan irigasi DIR Muara Teladan dengan nilai kontrak Rp3,3 Miliar. Terakhir proyek normalisasi danau Ulak Ria Kecamatan Sekayu dengan nilai kontrak Rp9,9 Miliar.
Tersangka dalam kasus ini diantaranya adalah Bupati Musi Banyuasin (Muba) periode 2017-2022 Dodi Reza Alex Neordin, Herman Mayori Kadis PUPR Kabupaten Muba, dan Eddy Umari Kabid SDA/PPK Dinas PUPR Muba serta pemilik PT. Selaras Simpati Nusantara, Suhandy.
Adapun komitmen fee yang akan diterima oleh Dodi Reza Alex Noerdin dari Suhandy dari empat proyek sekitar Rp2, 6 Miliar. Lalu sebagai realisasi pemberian komitmen fee atas dimenangkannya empat proyek paket pekerjaan di Dinas PUPR tersebut, diduga sebagian telah diterima oleh Bupati Muba, Dodi Reza Alex Noerdin.
Mengapa kasus korupsi ini selalu saja terjadi? Hal ini sangat wajar karena tingginya biaya kampanye sudah menjadi fakta yang terang benderang. Butuh biaya mahal untuk menjadi kepala Daerah baik Gubernur, Walikota, Bupati, bahkan kepala Desa.
Sangat disayangkan, dalam sistem Demokrasi, korupsi seakan menjadi hal lumrah dalam mencari uang dengan cara singkat.
"Korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena praktek demokrasi yang mengagungkan popular vote membutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu caranya dengan korupsi itu," kata Ustadz HM Ismail Yusanto.
Hal ini tidak terbantahkan dengan banyaknya kasus korupsi yang ada dinegeri ini, terlebih negara tidak memberi sanksi tegas kepada para koruptor, tidak ada efek jera di dalamnya.
Dalam sistem demokrasi, hukuman bagi petinggi negara hanya sekedar pemuas mata belaka. Kenyataan sesungguhnya mereka bukan dihukum, tetapi diapresiasi. Betapa tidak, hukuman bagi pencuri kayu justru lebih berat dari pada koruptor. Miris sekali.
Begini kah cara demokrasi menyanjung para penganutnya?
Berbeda sekali dengan sistem Islam yang jelas tatacara pelaksanaannya pada setiap lini. Termasuk penanggulangan korupsi yang terus terjadi dalam sistem demokrasi.
Salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang ketat. Pertama, pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan Ketiga, pengawasan oleh negara.
Dengan sistem pengawasan yang ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.
Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri sendiri maupun orang lain.
Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil dari harta negara maupun masyarakat.
Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau pernah menetapkan sanksi hukum cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor. Sementara di masa Khalifah Umar bin Khathab pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi.
Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Berbeda dengan masa sekarang ini, banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan” (HR. Abu Dawud)
Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi adalah dengan keteladanan pemimpin.
Seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz, beliau pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara. Jauh berbeda dengan penerapan sistem yang hingga saat ini masih diagungkan dinegeri ini.
ketika rakyatnya banyak yang kesusahan bahkan kelaparan, para pejabatnya justru banyak bergelimang harta dan kemewahan.
Tentu saja hal ini tidak akan terjadi didalam sistem Islam. Karena sesungguhnya sistem Islam adalah solusi yang seharusnya kita ambil untuk setiap lini permasalahan kehidupan. Bukan hanya pada lini pemberantasan korupsi semata.
Namun penerapan sistem Islam ini hanya bisa dalam bingkai negara (khilafah), bukan dalam bingkai negeri republik yang menjunjung tinggi demokrasi.
Wallahu a'lam bishawwab