Komersialisasi Layanan Kesehatan, Niscaya dalam Sistem Kapitalis




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)

Para pengusaha yang bergerak di bidang kesehatan menilai, harga eceran tertinggi (HET) tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) yang ditetapkan pemerintah Rp275.000 (Jawa-Bali) dan Rp300.000 (luar Jawa-Bali) cukup memberatkan pelaku usaha kesehatan.
“Rumah sakit, klinik dan lab dapat dikategorikan terdesak. Jika tidak melakukan layanan, mereka akan ditutup, tapi kalau mereka melakukan ya buntung,” kata Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H Teguh, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (13/11).
Randy pun meminta kepada pemerintah agar pihaknya dilibatkan dalam penentuan harga tes PCR untuk keberlangsungan layanan kesehatan di saat pandemi COVID-19.

“Kami berharap bisa membantu pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19, sehingga sama-sama bisa membantu masyarakat,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Komite Tetap Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu.

Sementara itu, CEO Cito Clinical Laboratory Dyah Anggraeni mengatakan berdasarkan simulasi yang dilakukan pihaknya dengan harga reagen open system sebesar Rp96.000, harga PCR seharusnya di atas Rp300.000.

Namun, kata Dyah, pihaknya tetap melakukan layanan tes PCR dengan sejumlah efisiensi dan sistem subsidi silang dari layanan tes yang lain. “Efisiensi kita lakukan di mana-mana, untuk SDM yang bisa dikurangi itu petugas swab, tapi yang ada di lab itu tetap,” kata pengusaha laboratorium tersebut.

Wakil Ketua DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan pemerintah perlu mensubsidi biaya tes PCR, khususnya di daerah-daerah yang layanan tes PCR-nya masih terbatas namun potensi penularannya tinggi. Menurutnya, biaya subsidi bisa dialokasikan dari anggaran Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).

“Kalau di bidang penerbangan saja, pemerintah masih mensubsidi sejumlah maskapai agar penerbangan bisa masuk ke suatu daerah demi keadilan akses, seharusnya tes PCR juga biasa,” kata Melkiades.
Dia menjelaskan subsidi merupakan wujud kehadiran negara untuk memastikan keadilan bagi warga di seluruh pelosok Tanah Air untuk menjangkau harga tes PCR dan demi membantu keberlangsungan usaha di bidang layanan kesehatan. “Jangan sampai orang takut berusaha di bidang kesehatan,” kata Melkiades.

https://www.solopos.com/het-pcr-rp275-000-rp300-000-memberatkan-pelaku-usaha-kesehatan-1194566

Memang benar, rakyat membutuhkan peran negara untuk menjaga kesehatan dan pengobatan. Apalagi di masa wabah, pelayanan kesehatan secara menyeluruh semisal tes Covid 19 dan perawatan serta jaminan hidup tidak mungkin dapat dipenuhi warga secara mandiri. Negara seharusnya hadir untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis dan perlindungan kepada rakyatnya. Namun dalam kapitalisme, kesehatan dan nyawa manusia justru menjadi komoditi bisnis.

akibatnya keselamatan manusia dipertaruhkan, karena biaya menjadi faktor pembatas. Hal ini bisa dipahami, kapitalisme menjadikan negara lepas tanggung jawab dalam layanan kesehatan, yang ada negara malah justru memberikan akses pada pihak swasta dalam menjalankan kesehatan. Akhirnya terjadi komersialisasi para kapital kesehatan untuk mengeksploitasi hajat dasar publik.

Bagi yang memiliki banyak uang pelayanan kesehatan dengan mudah didapatkan, sebaliknya bagi si miskin jangankan membayar fasilitas kesehatan untuk makan saja sudah susah.
Dampak komersialisasi kesehatan bukan hanya menyusahkan rakyat, juga terkadang merugikan para pelaku bisnis kesehatan. Jika dirasa harga layanan yang diberikan terlalu murah, jelas mereka akan menuntut kenaikan harga karena dalam urusan bisnis selalu ingin mendapatkan keuntungan. Seperti kasus PCR hari ini yang dianggap terlalu murah oleh swasta pelayan kesehatan.

Kondisi ini sungguh berbeda dengan sistem Islam yang disebut Khilafah.
Kepala negara atau khalifah menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya.
Rasulullah Bersabda : "Imam atau Khalifah adalah raaiin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,"(HR. Bukhari).

Dan Islam telah menetapkan langkah strategis dalam menyikapi pandemi yaitu lockdown sebagaimana yang disabdakan rasulullah.
"Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya,"(HR. Muslim).

Sementara testing merupakan langkah strategis sebagai upaya memisahkan antara orang yang sakit dan yang sehat dan merupakan satu rangkaian penanganan pandemi yang semestinya bebas biaya.
"Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat,"(HR. Bukhari).

Khilafah akan membebaskan biaya testing dari seluruh masyarakat tanpa terkecuali, tanpa membedakan masyarakat kaya atau miskin. Bahkan khalifah akan menyelesaikan testing atas seluruh rakyat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dalam khilafah pelayanan kesehatan gratis menjadi tanggung jawab khalifah sebagai pelayan umat, sebab kesehatan merupakan kebutuhan dasar publik yang wajib dipenuhi oleh negara. Fasilitas kesehatan dan unit-unit teknis lain yang dimiliki negara khilafah berfungsi sebagai perpanjangan fungsi negara artinya harus dikelola di atas prinsip pelayanan dengan pembiayaan dan pengelolaan langsung dari negara.

Dengan kata lain, sektor pelayanan kesehatan tidak dibenarkan menjadi lembaga bisnis bahkan haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan kesehatan termasuk biaya testing saat pandemi. Tentu semua ini didukung sistem ekonomi Islam
berbasis Baitul Mal yang memiliki kemampuan finansial memadai. Karena itu, inilah saatnya masyarakat menyadari bahwa tidak ada jalan lain bagi penyelesaian persoalan bangsa ini khususnya pandemi dengan berbagai masalah yang menyertainya kecuali dengan kembali ke pangkuan kehidupan Islam, yakni Khilafah.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak