Oleh : Hamnah B. Lin
Setelah 3 hari berturut-turut melangsungkan musyawarah antara seluruh komisi fatwa MUI se-Indonesia yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (11/11), MUI akhirnya menyepakati 12 poin penting mengenai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan. MUI sudah memutuskan fatwa terhadap 12 topik masalah itu (kumparanNEWS, 11/11/2021).
Masih dari sumber yang sama, Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan, para ulama yang ikut serta membahas masalah ini telah bekerja mencurahkan segala upaya untuk menemui kata sepakat. Sampai akhirnya fatwa terkait 12 persoalan inidapat diputuskan.
Ada 5 tema yang berhasil dibahas dan ditetapkan,” kata Niam. Di antaranya yaitu;
1. Masalah makna jihad dan khilafah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2. kriteria penodaan agama,
3. Tinjauan pajak bea cukai dan juga retribusi untuk kepentingan kemaslahatan,
4. Paduan pemilu dan pemilukada yang lebih maslahat bagi bangsa , dan
5. Distribusi lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan.
Sedangkan dalam penjelasan mengenai Jihad dan khilafah dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia, MUI menyampaikan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai dengan kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan, yang ditujukan untuk kepentingan kepentingan menjaga keluhuran agama (hirasati al-din) mengatur urusan dunia (siyasati al-duniya). Dalam Sejarah Peradaban Islam, terdapat berbagai model/sistem kenegaraan dan pemerintahan serta mekanisme suksesi kepemimpinan yang semuanya sah secara syar’i;
2. Khilafah bukan satu-satunya model/sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktikkan dalam Islam. Dalam dunia Islam terdapat beberapa model/sistem pemerintahan seperti: monarki, keemiran, kesultanan, dan republik;
3. Bangsa Indonesia sepakat membentuk Negara Kesatuan yang berbentuk Republik sebagai ikhtiar maksimal untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945;
Benarkah demikian, bahwa khilafah bukanlah satu-satunya sistem pemerintahan Islam. Coba kita telusuri bersama akan hal ini. Apakah benar demikian? Mengingat yang menyampaikan hal ini adalah MUI yakni organisasi yang didanai pemerintah yang bertindak secara independen. Namun dalam beberapa kasus, MUI diminta untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Dan tugas MUI adalah membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya (wikipedia).
Berbicara khilafah, memang semakin santer suaranya, baik yang pro maupun yang kontra. Pandangan miring juga terus dihembuskan agar umat memandang buruk khilafah dan menganggap khilafah bukanlah satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam.
Lalu sebenarnya apa itu khilafah.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam, yang sudah jelas dicontohkan Rasulullah Saw. sejak hijrah ke Madinah. Pendirian Daulah Islam di Madinah menjadi prototype (bentuk dasar, bentuk asli) pemerintahan Islam. Peristiwa itu menandai peralihan dakwah Rasulullah Saw. dari tahap pembinaan dan interaksi ke tahap penerapan hukum Islam di masyarakat yang mengatur berbagai hubungan di dalamnya.
Sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat membangun masjid sebagai tempat salat, berkumpul, bermusyawarah, mengatur berbagai urusan kaum muslimin, sekaligus memutuskan berbagai perkara di antara mereka. Beliau Saw. mengangkat beberapa komandan ekspedisi dan mengutusnya ke perbatasan negara (Madinah).
Tidak mungkin hal itu dilakukan bila Rasulullah Saw. hanya menjalankan fungsi kenabian. Nabi tak mesti butuh negara untuk menyampaikan risalah. Sedangkan praktik Rasulullah Saw. menunjukkan penempatan diri sebagai kepala negara sekaligus panglima militer, yakni menjadikan Daulah Islamiyah sebagai tempat pelaksanaan hukum syariat. Daulah menjadi pusat pembangunan masyarakat, pusat persiapan kekuatan yang cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah melalui jihad fii sabilillah. Praktik tersebut dituntun oleh wahyu Allah, yang menjadikan teladan Rasulullah Saw. tidak hanya berhenti pada aspek personalitinya saja sebagaimana yang dikerdilkan kalangan liberal, namun justru menunjukkan komprehensifnya Islam sebagai sistem yang kaffah.
Sistem pemerintahan Rasulullah Saw. memang merealisasikan firman Allah SWT, “Hendaknya kamu memerintah (memutuskan) di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka (tidak) memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang Allah turunkan kepadamu.” (TQS al-Maidah: 49).
Ayat ini tidak saja berkonotasi menerapkan hukum (sebagaimana dinyatakan oleh teks: fahkum dan wa anihkum), tetapi juga berkonotasi adanya lembaga pemerintahan (hukûmah), yang digunakan untuk menerapkan hukum tersebut. Dalam ilmu Ushul, ini disebut Dalâlah al-Iqtidhâ’. Konotasi Dalâlah al-Iqtidhâ’ ini dijelaskan dan diperkuat tindakan Nabi Saw. ketika mengambil baiat kepada Para Sahabat pada saat Baiat ‘Aqabah Kedua. Sebagaimana yang dinyatakan ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan menaati.” (HR Muslim).
Pengambilan baiat ini dilakukan sebelum Nabi Saw. hijrah ke Madinah, sebelum beliau memerintah di sana. Dengan demikian, tindakan Nabi Saw. ini membuktikan beliau juga membentuk lembaga pemerintahan. Pasalnya, tugas kenabian dan kerasulan tidak membutuhkan baiat dari kaum Muslim, tetapi keimanan.
Struktur negara Khilafah berbeda dengan semua struktur pemerintahan yang dikenal dunia saat ini, sekalipun ada kemiripan dalam penampakannya. Kekhasan Khilafah terbentuk karena didasari teks syariat yang digali dari sumber hukum syariat yakni Alquran, Hadis, Ijmak Shahabat, dan Qiyas, sehingga tak mungkin menyamakannya dengan kekaisaran, monarki, federal, atau republik.
Berdasarkan penelitian dan pendalaman nas-nas yang berkaitan dengan struktur negara, maka struktur Khilafah dalam bidang pemerintahan adalah Khalifah, Mu’âwinûn at-Tafwîdh, Wuzarâ’ at-Tanfîdz, para Wali, Amirul Jihad, Departemen Keamanan Dalam Negeri, Urusan Luar Negeri, Industri, Peradilan, Mashalihun Naas (Kemashlahatan Umum), Baitulmal, Lembaga Informasi, dan Majelis Umat.
Sedangkan Khalifah sendiri adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum syariat. Khalifah diangkat kaum muslim melalui proses baiat. Kaum muslimin mengawasi pemerintahannya, bila Khalifah melenceng dari tupoksinya, akan dipecat oleh Mahkamah Mazhalim yang beranggotakan orang-orang yang hanya takut pada Allah SWT.
Inilah sedikit fakta yang perlu kita suarakkan, bahwa Rasulullah saw. adalah Nabi sekaligus sebagai kepala negara Islam. Beliau mencontohkan bahwa proses pemilihan adalah dengan baiat. Baiat inilah yang menjadi syarat sekaligus kekhasan dalam model pemilihan kepala negara. Dan sistem khilafah sajalah yang menggunakan baiat sebagai metode pengangkatan kepala negaranya, sebagaimana yang Rasulullah saw. lakukan.
Maka, tak ada alasan bagi seseorang yang mengaku dirinya muslim, selain mendukung perjuangan penegakan Khilafah. Karena Khilafah adalah sebuah kewajiban, yang dengannya pula bertumpu pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Sekaligus merupakan konsekuensi keimanan. Justru tak patut bagi yang mengaku muslim untuk menyeru pada sistem selain Islam, atau memilih hidup sebagai pembela dan penjaga sistem yang lain, yang jelas-jelas telah menyingkirkan ajaran-ajaran Islam, atau malah berdiri sebagai penentang perjuangan Khilafah. Karena apa yang mereka jaga dan pertahankan justru telah terbukti menjadi sumber segala kerusakan.
Wallahu a'lam bisshawab.