Oleh : Ummu Hanif
(Pemerhati Sosial Dan Keluarga)
Covid-19 telah meluluhlantakkan semua sektor kehidupan. Kegiatan perekonomian masyarakat banyak terhenti, pelayanan jasa terhambat, dan sektor pertanian mengalami pukulan yang cukup berat. Gangguan yang lebih serius dideteksi pada sistem distribusi dan pemasaran. Dampaknya sungguh sangat serius, hulu dan hilir semua terkena imbasnya. Di hilir, data menunjukan banyak rakyat kita yang kesulitan makan. Hal bisa dilihat dari hasil survei LIPI pada 2020 lalu. Dari 2.483 responden, 23,84% mengalami rawan pangan tanpa kelaparan; 10,14% rawan pangan dan kelaparan moderat; serta 1,95% dengan ketahanan pangan dan kelaparan akut. Selain itu, 9,4 % responden tidak cukup memiliki makanan dan 26,82% menyatakan kadang kala mereka tidak mampu menyediakan pangan dengan gizi seimbang bagi keluarganya. (www.mediaindonesia.com, 7/10/2021)
Besar kemungkinan tahun ini kondisinya lebih buruk dari hasil survei tersebut, seiring bertambahnya angka kemiskinan serta meningkatnya pengangguran selama pandemi. Sebagaimana kondisi ketahanan pangan secara global yang juga bertambah parah dengan angka kelaparan yang terus meningkat.
Begitu pula di sektor hulu, terliputi persoalan yang kompleks. Para produsen pangan atau petani mengalami kondisi sulit dan semakin sulit dari hari ke hari. Harga jual produk pertanian sering anjlok bahkan sampai tidak laku, sementara serbuan produk impor seperti tak bisa terkendali.
Di tengah kesemrawutan persoalan pertanian pangan, kelahiran Badan Pangan Nasional (BPN) akhir Juli lalu seakan menjadi angin segar. Lembaga ini disahkan melalui Perpres 66/2021.
"Badan Pangan Nasional merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden," bunyi Pasal 1 Ayat 2 regulasi tersebut. Dengan demikian, lembaga ini diharapkan dapat mengakhiri sumbatan koordinasi yang selama ini memang dikendalikan oleh sejumlah lembaga.
Merujuk pada Perpres 66/2021, BPN bertugas untuk menyusun dan menjabarkan kebijakan pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui BUMN di bidang pangan. Selain itu, Kepala BPN memiliki mandat untuk memutuskan penugasan Perusahaan Umum (Perum) Bulog dalam rangka pelaksanaan kebijakan pangan nasional. Dengan demikian, tugas dan kewenangan BPN adalah sebagai regulator pangan, sedangkan Perum Bulog menjadi salah satu operator, yang tidak menutup kemungkinan untuk memberikan haknya kepada korporasi swasta.
Selain itu, kewenangan BPN juga terbatas pada sembilan jenis pangan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai. Penambahan komoditas pangan lainnya harus ditetapkan oleh Presiden.
Sungguh, distribusi kekuasaan ala demokrasi justru membuahkan tata kelola yang amburadul. Pengaturan berbagai urusan rakyat berjalan lambat, tidak terkoordinasi, bahkan para pejabat mudah saling lempar tanggung jawab. Berbagai layanan dan pemenuhan hak-hak rakyat berubah menjadi ajang bisnis mencari keuntungan oleh korporasi. Rakyat maupun petani pun terbebani biaya tinggi demi bisa mengakses kebutuhan pangan dan berbagai sarana produksi karena korporasi yang menguasai.
Konsep ini sangat jauh berbeda dengan konsep ketahanan pangan versi Islam. Dalam sistem Islam, badan pengurusan pangan berada di bawah institusi Jihazul Idary dan berfungsi layaknya wakil Khalifah karena kekuasaan Khilafah bersifat terpusat, dan berada di tangan Khalifah. Lembaga dan struktur negara lainnya adalah pelaksana kebijakan Khalifah, tidak berperan sebagai pengambil kebijakan.
Sementara itu, Khilafah mengadopsi sistem administrasi yang terdesentralisasi. Konsep seperti ini makin mempermudah pengurusan semua kebutuhan rakyat, apalagi jika lengkap dengan kecanggihan teknologi administrasi. Pembentukan lembaga administratif untuk mengatur kepentingan rakyat harus sesuai keperluan yang ada, juga sesuai dengan penggunaan cara dan sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Khilafah wajib memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya. Untuk merealisasikannya, pelaksanaan sistem administrasi berpijak pada tiga prinsip yakni (1) kesederhanaan aturan, sehingga akan memberikan kemudahan dan kepraktisan, (2) kecepatan dalam pelayanan supaya mempermudah rakyat yang memiliki keperluan, serta (3) ditangani oleh orang yang kompeten dan profesional.
Badan Pangan fokus mengurusi kebutuhan rakyat, sementara semua keputusan politik dan anggaran ada di tangan Khalifah sebagai penanggung jawab utama. Tidak akan terjadi dualisme kekuasaan, apalagi kebijakan yang tumpang tindih. Sehingga ketahanan pangan sangat mungkin direalisasikan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.