Oleh Rizka Adiatmadja
(Penulis dan Praktisi Homeschooling)
Ada hati yang terasa patah, ketika kian hari semakin banyak anak durhaka kepada orang tua–yang mengandung dan membesarkan. Lazimnya seorang anak yang harus berbakti kepada ibu dan bapak, kondisi tersebut sudah terkikis dari benak mereka. Kasih sayang hilang, empati pun terbuang. Jangankan memahami pahala tentang memuliakan orang tua, untuk sekadar membayangkan berat masa tua pun tiada.
Di pikiran mayoritas generasi, hanya bagaimana mereka harus siap berjuang menjadikan dirinya tetap bertahan di lingkup kehidupan hari ini. Kapitalismelah penyebabnya, tekanan demi tekanan perekonomian menjadi alat pembenaran, bahwa urgensi cukup materi lebih penting ketimbang mengurus orang tua. Sebab bagi mereka merawat orang tua apalagi lansia, tentu butuh biaya.
Tak lagi memikirkan bahwa Allah sudah mencukupkan rezeki masing-masing manusia. Kembali kepada kita sebagai anak, ridakah menjaga orang tua yang sudah begitu rela membesarkan kita dengan segudang ujian hidup yang harus dijalani?
Sungguh memilukan jika akhirnya panti jompo menjadi tempat terakhir untuk orang tua bernaung, tentu hatinya terluka dan sedih. Meskipun mereka tak pernah mengharap balas atas setiap helai kasih sayang yang sudah diberikan.
Ada ungkapan pilu dari seorang ibu lansia warga Magelang, Jawa Tengah. Ia dititipkan di panti jompo yang bernama Griya Lansia Husnul Khotimah yang berlokasi di Malang, Jawa Timur. Ibu Trimah, berusia 65 tahun tak kuasa dengan kondisinya, ia harus menerima dititipkan di panti jompo karena anaknya yang tidak bekerja dan memiliki empat orang anak, tinggal di rumah mertua. Ia mengungkapkan harapan dari lubuk hati yang terdalam, sekalipun tinggal di panti betah karena orang-orangnya baik, tetapi ia tetap ingin bersama-sama dengan anak-anaknya dan berharap mereka terbuka hati untuk tetap memperhatikan Ibu Trimah. (Viva.co.id, 31/10/2021).
Ada lagi kisah getir setahun lalu tentang seorang ayah yang dibuang anak-anaknya. Ini bukan kisah fiksi atau tayangan sinetron yang penuh fantasi. Kisah nyata dan memuat realita menyakitkan tentang timpangnya pemahaman generasi masa kini dalam memperlakukan orang tua.
Seorang ayah yang lansia bernasib malang, ia meninggal dalam keadaan dibuang. Menurut laporan Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKSK) Dinsos Aceh, Misra Yana S.Psi, Msi. Bahwa ada laporan ke timnya via telepon ada seorang laki-laki lansia yang sedang sakit. Kemudian Misra Yana merespons dan langsung berkoordinasi dengan pihak PMI dan Polsek Meuraxa. Lansia tersebut diprediksi berusia 80 tahun denagn kondisi lemah dan kurus, napas terengah-engah, pun tangan yang membengkak.
Pada akhirnya segala upaya berakhir di ajal yang menjemput. Ia laki-laki tua yang tak berdaya, mengembuskan napas terakhir dalam keadaan yang getir. Sebelum berpulang, ia mengungkapkan bahwa dirinya dibuang oleh anak-anaknya. (Serambinews.com, 3/4./2020).
Begitu banyak contoh dari problematika pelik tentang anak durhaka yang lahir dari sistem kapitalisme ini. Mengapa sistem tersebut menjadi penyebab utama?
Jawabannya, saat uang menjadi pencapaian kehidupan. Ditambah lagi dengan pemahaman sekuler yang semakin menyuburkan liberalisme, buah hati tak lagi menjadi penyejuk. Keberadaan dan tingkah polahnya kerap membuat hati orang tua terpuruk. Tak ayal, sistem kapitalisme telah menjadi mesin yang memproduksi anak-anak durhaka, karena kemiskinan semakin merajalela. Orang tua pun semakin kehilangan tempat berharga, reduplah sudah cahaya surga.
Kapitalisme yang semakin mengakar membentuk pola pemahaman liar. Anak tak memahami peran dan kewajibannya sedari dini. Hanya terus terbiasakan dengan tuntutan bagaimana mengamankan diri yang harus bertabur dengan hal-hal duniawi, karena iklim yang didapat mereka beratmosfer materi. Dari publik figur yang memahamkan popularitas sebagai tujuan, hingga para intelektual yang semakin bablas mengekspresikan ide-idenya yang kerap menyelisihi pedoman Ilahi. Bermodal dengan kebebasan yang mendapat lahan permisif dari negara, maka langkah dan keputusan generasi masa kini semakin tak terkendali.
Tak hanya berhenti di satu kondisi yang sudah semakin akut mencemari. Sekularisme yang sudah menjadi kiblat pendidikan, kian menegaskan banyak anak yang berilmu tinggi tetapi minim adab yang hakiki. Banyak belia yang berprestasi tetapi kurang menghayati pola sikap yang benar dan terpuji.
Negara sebagai orang tua utama dan pertama bagi generasi bangsa, seharusnya menjadi garda terdepan yang benar dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan. Tak menjadi penganut paham Barat yang membuat tersesat, tetapi seharusnya mengadopsi syariat Islam secara mendalam dari pendidikan hingga mengatur pola pengasuhan. Sehingga tak akan lahir tayangan-tayangan ketidakharmonisan hubungan keluarga.
Bagaimana Islam mewujudkan hubungan harmonis yang bernilai surga antara keluarga serta ikatan anak dengan orang tua?
Sistem Islam yang pernah berjaya–hingga kini pola dari sistem tersebut pun masih dilaksanakan oleh orang-orang yang berjuang istikamah–berhasil membentuk generasi terdidik yang cerdas dan cerdik. Tak sekadar membentuk untuk cakap ilmu, tetapi akidah Islam yang dijadikan sandaran utama pendidikan bisa melahirkan akhlak mulia dari setiap generasi yang ditempa.
Negara sangat berperan besar, tidak hanya memasrahkan kepada keluarga dan orang tua semata. Namun, memantau dengan memberikan kurikulum pendidikan yang tak menyelisihi syariat. Dari generasi terdidik yang saleh dan salihah, tentulah akan melahirkan orang tua teladan yang bisa memberikan cerminan kehidupan sesuai tuntunan. Tegas dan penuh kasih sayang, benar tetapi tidak arogan. Pandai mengajarkan kewajiban-kewajiban buah hati, tetapi tak mengecualikan secuil pun kebutuhan dan hak-hak anaknya.
Negara jualah yang bisa memberi lingkup sehat dalam lingkungan sosial bagi generasinya. Dengan segudang aturan yang tak membebaskan kemaksiatan demi kemaksiatan bertabur di setiap ruang umum. Tegas dan jelas memberikan sanksi yang melahirkan efek jera.
Tak hanya dalam masalah pendidikan umum dan keluarga, negara pun menjadi penjamin kesejahteraan. Sehingga tak melahirkan kondisi ketimpangan ekonomi. Tak akan ada cerita di mana orang tua kehilangan hak dan kewajiban, begitu pun anak yang akan memahami perannya sedari dini, tentang berbakti kepada orang tua.
Di sistem Islam, negara mewajibkan pencari nafkah kaum laki-laki–bukan seperti hari ini, perempuan yang dieksploitasi. Lahan pekerjaan pun disediakan sesuai dengan bakat masing-masing, itu tentunya tidak dipersulit, karena negara sangat memahami kewajiban berat kaum laki-laki.
Pun mengajarkan berbagi dan saling tolong menolong kepada masyarakat. Jika ada yang kesulitan. Zakat, sedekah, infak, dan lain-lain menjadi tali kebersamaan yang menguatkan. Bukan pinjaman riba dan merugikan yang menumpulkan ikatan kasih sayang sebagai sesama saudara.
Negara pun tentunya menjadikan Islam sebagai poros perekonomian. Mengatur dengan detail hak kepemilikan baik untuk individu, umum, dan negara itu sendiri. Sehingga tak terjadi kesenjangan sosial yang kontras seperti hari ini. Orang kaya semakin tak terhingga, orang miskin pun kian tak terhitung. Islam melahirkan keberkahan yang subur. Sehingga hubungan anak dan orang tua pun bernilai surga.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membnetak mereka dsn ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (TQS. Al-Isra: 23-24).
Ketika masyarakat sudah merasa terjamin dalam bidang kesejahteraan, pendidikan tidak terkontaminasi paham kebebasan, pengasuhan yang terbentuk dengan nilai-nilai kebenaran, tentu fitrah hakiki dari generasi tak akan sulit ditemui. Akan banyak lansia yang bahagia di ujung usianya. Begitu juga orang tua yang semakin rida merawat serta mendidik anak-anaknya dengan baik. Anak-anak yang terdidik pun akan fokus memuliakan orang tuanya sebagai pintu bagi mereka menuju surga.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini