Oleh: Atik Hermawati
Pemerintah berencana mengganti nama salah satu jalan di Jakarta dengan nama Mustafa kemal Ataturk, tokoh sekuler yang mendirikan Turki modern. Tentu hal ini menuai protes dari umat muslim. Mengingat banyak sekali hal yang dia lakukan untuk menikam Islam, terutama perannya dalam menghilangkan Daulah Islam. Sejarah berdarah yang begitu melukai umat.
Ahmad Riza Patria, Wagub DKI Jakarta mengatakan bahwa penamaan ruas jalan tersebut dengan alasan bagian dari kerja sama Indonesia-Turki. Pemerintah Turki telah memberikan nama jalan di Ankara dengan nama Soekarno (Cnnindonesia.com, 17/10/2021).
Namun demikian, Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menolak rencana tersebut. Bahkan MUI pernah mengeluarkan tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme ialah paham yang bertentangan dengan ajaran Islam pada 2015 lalu. Ia mengklaim bahwa Mustafa Kemal Ataturk ialah tokoh yang mengacak-acak ajaran Islam. Tokoh sekuler yang mengubah Turki menjadi negara yang jauh dari syariat Islam. Lanjutnya, rencana penamaan jalan dengan nama Kemal Ataturk ialah rencana yang menyakiti dan meresahkan umat Islam (Cnnindonesia.com, 17/10/2021).
Sejarah yang Dikaburkan
Tidak dipungkiri, tidak sedikit masyarakat yang tak tahu kekejaman Mustafa Kemal Ataturk dalam sejarah. Bahkan di sekolah-sekolah, dia dikenalkan sebagai Bapak Turki, pembawa Turki ke arah yang lebih maju dan modern. Bagi kalangan sekuler, tentulah ia dianggap sebagai pahlawan.
Padahal ia salah satu yang menghancurkan institusi Islam yakni Khilafah. Khilafah Utsmaniyah, sebagai kekhilafahan terakhir berhasil diruntuhkannya pada 3 Maret 1924. Berbagai upaya picik, ia berperan sebagai agen Barat dan mengubah wajah Turki menjadi negara Republik sekuler yang tadinya berlandaskan Islam.
Adapun deretan perbuatan keji Kemal Ataturk yang dilansir dari Muslimahnews.com (20/03/2021), ialah menghapus Khilafah Islam pada 1924 M atau 1342 H, menghapus seluruh syariat Islam pada 1926, menjadikan warisan antara laki-laki dan perempuan setara, melarang rakyat Turki untuk melakukan ritual ibadah haji atau umrah, melarang bahasa Arab, melarang azan, melarang hijab (pakaian wanita sesuai syariat) di Turki, mencoret nama Mustafa dari namanya, menghapus perayaan Idulfitri dan Iduladha, menjadikan hari Ahad sebagai hari libur mingguan menggantikan hari Jumat, menghapus huruf Arab dari bahasa, mengubah Masjid Hagia Sofia sebagai museum, mengubah sumpah “demi Allah” menjadi sumpah “demi kehormatan” ketika penyerahan jabatan (pelantikan), juga mengeksekusi ratusan ulama dan ahli fikih yang menolak pendekatannya. Kemudian sebelum matinya, ia berwasiat agar kaum muslim jangan menyalati jenazahnya. Ataturk mengatakan di depan parlemen Turki pada 1923, “Sekarang kita berada di abad ke-20 dan era industri yang tidak dapat berjalan di belakang kitab yang membahas at-tīn wa al-zaitūn (maksudnya adalah Al-Qur’an Al-karim).”
Menolak dan Sadar
Ketika umat tahu sejarah kekejiannya itu, tentulah tidak sudi menjadikan Kemal Ataturk laknatullah 'alaih sebagai nama jalan di negeri mayoritas muslim ini. Rencana penamaan ruas jalan tersebut hanya menjadi olokan bagi kaum muslim, namun kebahagiaan bagi Barat dan pembebek sekularisme di negeri ini.
Sekularisasi yang terjadi di Turki seabad silam bukanlah kemajuan, melainkan kebinasaan yang amat. Negeri-negeri muslim tersekat menjadi nation state. Palestina, Rohingya, dan lainnya dijajah dengan bengis. Negeri muslim lainnya tak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi racun pemikiran yang tak kalah berbahaya, membidik umat Islam agar jauh dari agamanya. Kemiskinan, kriminal, dan kezaliman penguasa menjadi berita yang biasa.
Umat muslim, terutama di Indonesia haruslah sadar. Hubungan diplomatik yang harus dipatri dalam simbolis seharusnya ialah ketika Nusantara ini begitu erat dengan kekhilafahan Utsmaniyah. Nama para Walisongo yang tak asing ialah bukti yang nyata, bahwa negeri kita pernah berdaulat di bawah Panji Islam bukan Republik sekuler. Seharusnya tokoh-tokoh muslim atau panglima Islam yang berjuang demi ketinggian Islam-lah yang layak dijadikan nama jalan, bukan nama si penghancur. Shalahuddin Al Ayyubi, Sultan Abdul Hamid II, juga Muhammad Al Fatih yang begitu familiar juga yang lainnya, sangat layak dijadikan nama simbolis hubungan erat Nusantara ini dengan Turki. Dimana hal itupun akan membangkitkan ingatan umat untuk rindu dengan kekhilafahan yang dulu pernah membersamai dalam melawan penjajah.
Ingatlah sejarah yang utuh. Kalaupun kepingan-kepingan sejarah itu kini selalu berusaha diceraikan, sudah sepantasnya kita berusaha mengetahui bahkan menyatukan kepingan tersebut. Islam yang kita anut harus diyakini bahwa Islam ialah solusi hakiki untuk kehidupan, tak ada yang menandingi. Republik sekuler bukanlah kemajuan, justru kehinaan karena telah merusak sendi-sendi masyarakat dengan menjauhkan dari syariat Islam.
Dengan demikian tak ada jalan lain, selain mengembalikan Daulah Islam yang hilang, yakni Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Sebab Rasulullah saw. telah diutus dengan membawa risalah Islam yang harus diteladani umat, termasuk dalam kenegaraan. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS. Al-Anbiya' [21] : 107).
Wallahu a'lam bishshawab.