Oleh : Nurfillah Rahayu
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Heboh tagar percuma lapor polisi atas
Kasus pemerkosaan bapak terhadap tiga anak di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) sungguh sangat memprihatinkan.
Dilansir Medcom.id (9 Oktober 2021) Dari Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel menghentikan penyelidikan kasus tersebut.
Psikologi forensik Reza mengatakan Polri perlu diberi masukan agar penyusunan laporan kinerja lebih komprehensif. Tidak sebatas jumlah laporan, tetapi mencangkum jumlah kasus yang diproses sampai ke pengadilan.
"Apa dan berapa yang ditangani dengan diversi, tren tuntutan jaksa, tren vonis hakim, ragam penghukuman pemasyarakatan, dan residivisme," tutur psikolog anak itu.
Reza mengatakan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) tidak mutlak. Pada alinea terakhir SP3, kata dia, ada kalimat penanganan bisa diaktifkan sewaktu-waktu jika ditemukan bukti dan saksi yang memadai.
Sungguh sangat miris potret kasus pemerkosaan dinegeri ini. Aparat kepolisian yang sangat diharapkan dapat memberantas para keparat pelaku pemerkosaan kini tinggal hanya sebatas nama saja.
Keadilan semakin jauh sulit didapatkan.
Data menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin besar dan rasa tidak aman makin dominan dalam beragam bentuk.
Dilansir Dari national.sindonews.com ( 8 April 2013) Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat tidak puas dengan penegakan hukum di negara ini.
Peneliti LSI Dewi Arum mengatakan, dalam survei tersebut yang menilai tidak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia, cakupannya merata di semua lapisan masyarakat.
"Temuan ini menggambarkan rendahnya wibawa hukum di mata publik," kata Dewi Arum di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (7/4/2013).
Menurut Dewi, survei yang dilakukan LSI pada 1 sampai 4 April 2013 ini, dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi. Hasilnya, 56 persen masyarakat menyatakan kurang puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
"Hanya 29,8 persen yang menyatakan puas terhadap penegakan hukum di Indonesia. Yang paling terlihat adalah di desa yang berasal dari ekonomi bawah, dan berpendidikan rendah, lebih tidak puas dibandingkan mereka yang berada di kota dan berpendidikan tinggi. Di desa yang tidak puas 61,1 persen dan di kota 48,6 persen," ungkapnya.
"Mayoritas publik cenderung percaya, bahwa proses hukum yang dilakukan aparat hukum di Indonesia mudah diintervensi oleh kepentingan tertentu misalnya kedekatan dengan aparat atau kompensasi materi," paparnya.
Kondisi demikian terjadi akibat buah hukum sistem sekuler yang berlaku dinegeri ini. Hukum dibuat dan ditegakkan oleh manusia yang rentan kepentingan dan mudah dimanipulasi.
Bagaimana keunggulan sistem Islam dalam melahirkan regulasi dan penegakan hukum yang berbasis ketakwaan pada Allah dan obyektifitas, lepas dari kepentingan sudah terbukti selama beberapa abad yang lalu pada masa kekhilafan.
Sumber Hukum yang diambil pun jelas berdasarkan Al-Quran dan Hadist.
Seperti yang dijelaskan dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 59 yang artinya,
"Hai, orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Al Quran dan hadis merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi jantung umat Islam.
Kedudukan Al Quran sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum.Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut.
Wallahualam bisowab.