Harga Tes PCR Memicu Perdebatan, Bagaimana Peran Negara?


Oleh Alvera
Aktivis Dakwah



Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan tarif tertinggi pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Rp275.000 untuk Jawa-Bali, serta Rp300.000 untuk luar Jawa-Bali (voi.id, 28/10/2021). Penetapan tarif PCR ini menimbulkan protes dari sejumlah pengusaha dan laboratorium yang mengeluhkan tarif tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang terlalu rendah. Pasalnya, para pengusaha layanan PCR mengaku telah membeli reagen yang mahal dalam stok banyak. Sebagaimana diketahui, ada sejumlah komponen dalam penetapan harga tes PCR. Komponen harga terbesar pada tes PCR berasal dari reagen (katadata.co.id, 16/11/2021).


Tetapi meski telah diturunkan menjadi Rp275.000, namun harga tes PCR masih saja menuai polemik. Pasalnya, untuk syarat wajib melakukan perjalanan dengan moda transportasi udara, seharusnya harga tes bisa diminimalisir lagi.  Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule menilai, harga tes PCR Rp275.000 masih terbilang tinggi. Terlebih, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut harga PCR di India berada di kisaran Rp96.000.


Susi lantas menyinggung harga tes PCR pada awal pandemi yang hingga jutaan rupiah. Artinya, kata dia, keuntungan dari tes PCR sangat banyak. Bahkan sesudah diturunkan menjadi Rp275.000 pun masih 3x lebih mahal.


Tingginya tarif tes tersebut lantaran pedagang PCR ikut andil dalam mengatur kebijakan pemerintah. Sehingga, yang dipikirkan hanya bisnis agar mendapatkan keuntungan bukan untuk menyelamatkan rakyat (voi.id, 28/10/2021).


Melihat perdebatan mengenai tarif PCR yang menurut rakyat masih terlalu mahal tetapi bagi para pengusaha kesehatan terlalu murah, membuat pertanyaan bagaimana sebenarnya peran negara dalam mengatasi hal ini? Negara tidak berperan langsung dalam pelayanan kesehatan tes PCR bagi masyarakat di masa wabah Covid-19. Tes PCR diberikan kepada pihak swasta yang hanya mencari untung, di saat wabah melanda membuat ekonomi masyarakat menurun. Rakyat sedang kesulitan, banyak yang diberhentikan bekerja oleh perusahaan, sedangkan mencari pekerjaan baru pun disaat seperti ini sangat sulit. Padahal, penanggulangan Covid-19 dan keselamatan masyarakat adalah tanggung jawab negara.


Berbeda dengan sistem Islam yang disebut Khilafah. Dalam Islam pelayanan kesehatan termasuk kewajiban negara. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:


“Pemimpin negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR Bukhari)


Berdasarkan hadis di atas, khilafah sebagai institusi negara penerap hukum syariat akan menyediakan layanan kesehatan kepada rakyat secara cuma-cuma alias gratis. Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat:


  • Universal, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian kepada rakyat.

  • Bebas biaya/gratis, rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapatkan layanan kesehatan.

  • Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah.

  • Pelayanan mengikut kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh platform JKN atau BPJS.


Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya, oleh karenanya layanan PCR dan sederet penanganan wabah bukan hal yang sulit untuk didapatkan semua warga khilafah. Tidak akan terjadi komersialisasi kesehatan. Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak