Oleh. Ummu Ainyssa
Orang tua merupakan sosok yang sangat
berharga bagi kita di dunia ini. Dengan perantara merekalah, kita terlahir ke dunia ini.
Mereka rela mengorbankan harta benda, tenaga, serta nyawa demi anak-anaknya. Sehingga dengan pengorbanan mereka itulah kita bisa menjadi seperti sekarang ini. Jasa mereka tidak akan pernah terhitung dengan matematika manusia.
Seorang ibu yang begitu sabar dan ikhlas menjaga kita sejak masih dalam kandungan hingga lahir ke dunia, maupun seorang ayah yang rela pergi pagi pulang malam untuk mencari nafkah demi memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Rasanya tidak pernah cukup bagi kita untuk membalas semua jasa-jasanya.
Melihat betapa besar pengorbanan mereka terhadap anak-anaknya, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk membalas kasih sayang mereka. Tentunya bukan hanya dengan harta semata, karena orang tua tentulah tidak meminta balasan harta atas pengorbanan yang telah mereka lakukan untuk kita. Tetapi balasan yang mereka inginkan adalah kasih sayang dari kita sebagai anaknya. Bagaimana kita bisa menghormati mereka, memuliakan serta mampu menjaga perasaan mereka terutama saat mereka sudah di usia lanjut.
Namun mirisnya, seringkali kita mendengar betapa seorang anak sangat tega menyakiti hati orang tuanya. Terkadang hanya demi manfaat dunia mereka tega menghardik, menganiaya, menelantarkan bahkan ada yang sampai tega menghilangkan nyawa orang tuanya sendiri. Seolah orang tua tidak lagi dibutuhkan dan hanya dianggap sebagai beban bagi mereka.
Seperti kisah pilu yang dialami oleh ibu Trimah (69 tahun) warga Magelang, Jawa Tengah yang dititipkan oleh anak kandungnya ke sebuah panti jompo Griya Lansia Khatimah, Malang, Jawa Timur pada 27/10/2021 lalu. Seperti diberitakan oleh Tribunnews.com, 2/11/2021, salah satu dari anak bu Trimah mengungkapkan alasan anak-anak bu Trimah menitipkannya ke panti jompo karena mereka tidak punya tempat tinggal untuk merawat ibunya, juga karena mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi, sehingga mereka tidak sanggup untuk mengurus ibunya. Sungguh alasan yang membuat hati kita menangis.
Sebelumnya pada bulan April 2020 seorang pria lanjut usia (88 tahun) ditemukan meninggal dunia di wilayah Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Sehari sebelum meninggal pria tersebut mengaku kepada dinas sosial Banda Aceh bahwa ia telah dibuang oleh anak-anaknya ke tempat tersebut. Namun saat hendak dievakuasi ke tempat yang lebih layak, ia ditemukan sudah meninggal dunia, tanpa seorang pun yang menemani. (Serambinews.com, 3/4/2020)
Selain kedua kasus ini masih banyak sekali kasus-kasus dimana anak tidak lagi punya rasa iba terhadap orang tuanya. Seolah hati nurani mereka telah mati. Bagaimana seorang anak tega melaporkan ibu kandungnya ke polisi hanya karena masalah sepele, anak tega membunuh ayah kandungnya hanya gara-gara harta warisan, atau hanya sekadar minta dibelikan sepeda motor, dan masih banyak lagi kasus lain yang mengiris hati.
Beginilah potret keluarga muslim dalam pengasuhan sistem sekuler kapitalisme. Sistem sekuler yang nyata-nyata memisahkan peran agama dalam mengatur kehidupan, telah mengikis keimanan seorang anak untuk menghormati orang tuanya. Mereka tidak lagi memedulikan pahala dan dosa atau bahkan kewajiban untuk mempergauli orang tuanya secara makruf. Pergaulan yang tidak dilandasi dengan pergaulan yang syar'i, menyebabkan anak bergaul secara kebablasan. Perilaku hedonisme dan konsumtif membuat mereka semakin menunjukkan ketinggian gengsinya.
Berbagai tontonan yang penuh kekerasan pun menambah pengetahuan mereka untuk menyingkirkan orang atau hal-hal yang tidak lagi mendatangkan manfaat. Sehingga jika orang tua dianggap sudah tidak membawa manfaat bagi mereka atau kondisi orang tua dilihat memalukan dan menjatuhkan gengsi mereka, maka mereka bisa dengan mudahnya untuk tidak mengakuinya lagi bahkan sampai tega menelantarkannya.
Begitu pula pihak orang tua yang tidak melakukan perannya sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya juga telah menjadi korban kapitalisme. Sejak membiayai anak-anaknya masuk sekolah dalam benak mereka sudah tertanam niat mereka dalam menyekolahkan anak agar anaknya sekolah yang tinggi, menjadi pintar sehingga bisa mendapat pekerjaan yang layak, gaji yang tinggi sebagai bekal untuk mengganti pengorbanan mereka orang tuanya. Ini pulalah yang kemudian juga melekat dalam benak anak-anaknya. Bahwa kasih sayang antar keluarga bisa dibalas dengan banyaknya materi. Hubungan yang terjadi antara orang tua dan anak hanya diukur dengan untung dan rugi belaka tanpa dilandasi dengan keimanan.
Ditambah lagi minimnya pemahaman agama dalam satu keluarga, menyebabkan Keluarga tidak saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah dalam kemungkaran. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung terciptanya pribadi yang shalih, dan negara yang terkesan begitu abai terhadap perannya dalam menjaga ketahanan keluarga semakin menunjukkan potret buruk keluarga dalam sistem yang rusak ini.
Padahal di dalam Islam berbakti kepada orang tua termasuk salah satu ibadah teragung. Bahkan Allah Swt. menempatkan perintah untuk berbakti kepada orang tua pada posisi nomor dua setelah mentauhidkan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban ini. Salah satunya Allah Swt. berfirman dalam Al Qur'an surat Al-Isra ayat 23-24 yang artinya,
"Dan Rabb kalian telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kalian berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan 'Ah' dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkan kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu atas keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, sayangilah mereka sebagaimana mereka mendidikku di waktu aku masih kecil".
Dari ayat tersebut Allah dengan tegas menyatakan bahwa sekadar berbicara 'ah' saja dilarang, apalagi berbicara yang kasar yang bisa menyakiti hati kedua orang tua. Terlebih lagi Allah menjadikan rida-Nya tergantung pada rida orang tua, dan murka-Nya tergantung murka orang tua. Surga Allah terletak di bawah telapak kaki ibu. Maka bagi kaum muslim yang menghendaki surga Allah, sudah tentu baginya memuliakan kedua orang tuanya, terkhusus seorang ibu.
Hal inilah yang mendorong para sahabat, maupun salafush shalih begitu memuliakan orang tuanya. Mereka mengharapkan rida Allah melalui rida orang tuanya. Seperti kisah mulia seorang pemuda yang saleh dari negeri Yaman bernama Uwais Al-Qarni. Meski pemuda ini hidup pada zaman Rasulullah, namun ia tidak pernah disebut sebagai sahabat Rasulullah saw. Karena ia tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah saw. sekalipun. Ia hanya mendengar berita-berita tentang kenabian Rasulullah saw, tetapi tidak pernah mempunyai kesempatan untuk berjumpa dengan Rasulullah walau sekejap. Ini lantaran pemuda tersebut sangat berbakti kepada ibunya yang sudah sakit-sakitan. Sehingga ia tidak tega meninggalkan ibunya untuk pergi menemui Rasulullah saw.
Sekalipun hidup serba kesusahan, tetapi Uwais dikenal sebagai sosok pemuda yang tidak pernah menolak perintah ibunya. Terlebih sejak kecil ia merupakan seorang anak yatim yang hanya hidup bersama sang ibu. Suatu ketika, niatnya untuk bertemu Rasulullah saw. ia sampaikan kepada ibunya. Ibunya pun memberinya izin dengan syarat bahwa ia harus segera pulang ke Yaman jika sudah bertemu dengan Rasulullah saw.
Perjalanan jauh untuk bertemu Rasulullah Uwais tempuh dengan berjalan kaki. Saat tiba di Madinah, ia langsung menuju rumah Rasulullah saw. Namun sayang seribu sayang, Rasulullah saw. saat itu sedang berada di medan perang dan belum pasti kapan kembalinya. Uwais hanya bisa menitipkan pesan kepada ibunda Aisyah ra. Ia tidak bisa menunggu Rasulullah pulang, sebab ia masih teringat dengan pesan ibunya sebelum berangkat ke Madinah.
Sepulangnya Rasulullah dari peperangan. Aisyah pun segera menceritakan perihal kedatangan Uwais ke kediamannya. Kemudian Rasulullah saw. pun berkata kepada Sahabatnya Ali bin Abi Thalib dan Umar agar suatu ketika jika mereka bertemu dengan Uwais, hendaklah mereka meminta doa dan istighfarnya. Karena Uwais adalah penghuni langit bukan orang bumi. Rasulullah saw. juga menunjukkan ciri-ciri Uwais yakni adanya bulatan putih di tangannya.
Begitulah hari-hari Uwais habiskan untuk tetap merawat ibunya. Sampai pada suatu ketika, ibunya menyampaikan kepada Uwais tentang keinginannya untuk menunaikan haji ke Makah. Uwais merasa bahwa keinginan ibunya itu sangat berat, mengingat jarak antara Yaman dan Makkah sangatlah jauh. Sementara ia tidak memiliki kendaraan untuk berangkat ke sana. Akhirnya Uwais menggendong ibunya menuju ke Baitullah, Makah.
Sesampainya di Baitullah, Uwais kemudian berdoa agar ibunya masuk surga. Uwais berharap jika ibunya masuk surga, maka ia bisa pula masuk surga berkat rida sang ibu. Ibunya pun terheran mendengar doa yang ia panjatkan. Akan tetapi, ketika Uwais dan ibunya berhaji, Rasulullah saw telah wafat. Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab yang mengemban amanah agar mencari Uwais akhirnya menemukannya dan menyampaikan salam dari Rasulullah saw.
MasyaAllah betapa luar biasanya seorang Uwais, orang tua mana yang tidak menginginkan anak yang sangat berbakti sepertinya. Bahkan sampai-sampai ia rela untuk tidak berjumpa dengan Rasulullah sang kekasih Allah karena sayang dan baktinya terhadap ibunya. Ini hanyalah satu kisah berbaktinya seorang anak kepada orang tuanya. Selain itu masih banyak kisah keteladanan para sahabat dan sahabiyah dalam berbakti dan menghormati orang tua.
Maka dalam kondisi saat ini, sangatlah penting bagi negara untuk menjaga akidah setiap muslim. Apalagi jika tidak dengan menerapkan aturan yang bisa menjaga keimanan mereka. Yaitu penerangan syariat Islam secara kafah. Sehingga dengan keimanan mereka ini, membuat mereka takut akan dosa atau balasan yang akan mereka terima saat mereka mendurhakai orang tuanya. Sehingga yang tercipta adalah keluarga Islam yang penuh keharmonisan, karena masing-masing anggota keluarga memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing.
Tags
Opini