Oleh Widia
(Akitivis Muslimah Millenial)
Berbagai upaya mendukung kesetaraan gender terus menjadi program pemerintah termasuk di lingkungan kampus. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, yang berpengaruh besar terhadap ekonomi negara.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari menyelenggarakan Workshop Online yang bertajuk “Strategi Menciptakan Kampus Responsif Gender di Lingkungan UIN Antasari” melalui Zoom Meeting, Selasa (14/09/2021). Workshop ini menghadirkan Rektor UIN Antasari Prof. Dr. H. Mujiburrahan, MA. sebagai Keynote Speaker dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan Dr. H. Hamdan, M.Pd, Wakil Rektor Bidang Administrasi, Umum dan Keuangan Dr. H. Sukarni, M.Ag serta Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Dr. H. Nida Mufidah, M.Pd. sebagai narasumber.
Perempuan dan kesetaraan gender masih saja menjadi propaganda yang digencarkan untuk menyerang dunia Islam. Tak terkecuali di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, yaitu Indonesia. Kalangan feminis tetap bersikukuh dengan teori bahwa akar permasalahan yang dialami perempuan saat ini adalah akibat disparitas atau ketimpangan gender yang dikonstruksi oleh budaya dan agama. Karena itu, mereka gencar menawarkan gagasan perubahan budaya dan agama demi mewujudkan kesetaraan gender sebagai solusi masalah mereka.
Terjunnya perempuan di sektor publik demi perputaran roda ekonomi sebuah negara dianggap sebagai sebuah kemajuan gender dalam negeri yang mengadopsi kapitalisme dewasa ini. Tanpa peduli pada efek samping hilangnya kasih sayang ibu dalam keluarga. Ketika paham kesetaraan gender diambil sebagai solusi, justru akan memunculkan masalah sosial baru. Gerakan kesetaraan gender pada akhirnya malah menjauhkan perempuan dari kehangatan sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga, perempuan dan anak, sebenarnya dapat terjadi akibat kesalahan dalam mengambil pandangan hidup.
Tentunya program kesetaraan gender harus diwaspadai dan disampaikan bahayanya kepada umat Islam. Agar benteng terakhir yang dimiliki umat, yaitu keluarga, tetap terjaga keutuhannya. Perempuan dalam Islam mendapatkan jaminan kesejahteraan secara sempurna. Sedangkan dalam sebuah pernikahan, perempuan mempunyai peran sebagai seorang istri dan menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Salah satu kewajiban istri adalah menjadi ummun wa rabbatul bait yakni menjadi ibu sekaligus manajer rumah tangga. Maksudnya seorang ibu untuk anak-anaknya (ummu) dan pengurus rumah tangga (rabbatuil bait) artinya yang siap mencetak generasi Islam penakluk dunia.
Rasulullah saw. bersabda: “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR Muslim).
Sungguh peran perempuan dalam membangun peradaban sangatlah penting bukan hanya sebagai penggerak roda ekonomi, melainkan pencetak generasi. Perempuan harus menyadari akan perannya. Dari rahimnya lah lahir para generasi cemerlang. Dialah sosok ibu yang menjadi madrasatul ula bagi anak-anaknya. Dalam sistem kapitalisme, peran perempuan dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi. Bahkan beberapa pihak cenderung menganggap peran perempuan, mendomestikasi perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior, tersubordinasi peran suami.
Tugas laki-laki lah memberi nafkah kepada para perempuan, agar terlaksana tugas para ibu secara sempurna. Inilah harmonisasi dalam kehidupan Islam yang tak akan diperoleh di kehidupan Kapitalisme sekarang. Sistem kapitalis telah mengusik kaum perempuan dengan gagasan kebebasan yang merusak jadi diri seorang perempuan. Akibatnya generasi menjadi rusak tanpa dilandasi dengan aturan sang maha Agung yaitu Allah Swt. Saatnya kita kembali kepada syari’at Islam yang kaffah dan mengambil bagian untuk penerapannya sebagai aturan kehidupan. Dengan penerapan Islam secara kafah generasi Islam akan kembali menemukan kehidupan yang sejahtera dan mulia.
Wallahu a'lam bisshawab