Oleh: Atik Hermawati
Kasus pinjol semakin mencuat. Kebocoran data pribadi, nekat mencuri, depresi, hingga bunuh diri, kerap kali menjadi berita akibat transaksi ribawi ini. Teror debt collector, tetap saja tak mengurangi jumlah peminat pinjol. Teknologi gawai pintar dan kemudahan syarat meminjam menjadi rayuan maut bagi masyarakat di tengah kesulitan ekonomi. Lalu, pemerintah saat ini memandang bahwa semua kasus pinjol di atas akibat pinjol ilegal. Benarkah?
Dilansir dari Bisnis.com (15/10/2021), Menkominfo akan melakukan moratorium atau menghentikan sementara penerbitan izin penyelenggara pinjaman online (pinjol). Kebijakan tersebut merupakan arahan langsung Presiden Jokowi dalam rapat terbatas bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkominfo Johnny G. Plate, Gubernur BI Perry Warjiyo Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Wibowo. Perintah yang sama pada OJK untuk moratorium penerbitan izin fintech atas pinjol yang baru.
Moratorium tersebut sebagai upaya atas maraknya keresahan akibat pinjol ilegal. Sebanyak 1.856 akun pinjol telah ditutup pada periode 2021. Penutupan oleh Kementerian Kominfo tersebut dinilai akan menangani kasus pinjol yang merugikan masyarakat.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menuturkan bahwa ada 107 lembaga penyedia jasa pinjol yang terdaftar secara resmi di OJK. Arahan dan pembinaan pinjol legal dianggap mampu melayani masyarakat dengan pinjaman yang mudah, cepat, dan tidak melanggar aturan dalam penagihannya.
Transaksi Ribawi itu Sama Saja
Legalisasi pinjol sejatinya sama saja melegalkan yang haram. Kapanpun dan bagaimanapun, riba itu jelas haram. Tidak bisa dikompromikan apalagi dilegalkan. Allah SWT berfirman, "...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (Al-Baqarah: 275).
Maraknya korban pinjol, bukan semata-mata karena pinjol ilegal. Depresi, teror, hingga bunuh diri akankah berhenti jika menggunakan pinjol legal? Pinjaman yang berbasis ribawi tentu saja menghadirkan bunga utang yang harus ditanggung. Baik besar atau kecil, itu adalah dosa dan pelakunya tidak akan tenang. Allah SWT berfirman dalam ayat yang sama, "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba..." (Al-Baqarah: 275).
Tingginya minat masyarakat terhadap pinjol dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit. Selain itu tak sedikit pula yang meminjam demi foya-foya akibat perilaku konsumtif dan hedonis. Tak tertinggal, mudahnya proses dan syarat dalam meminjam. Semua itu tak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan. Materi menjadi tolok ukur kebahagiaan. Selanjutnya agama dipisahkan dari kehidupan, terutama dalam kenegaraan.
Sungguh miris saat kasus pinjol yang semakin meresahkan dianggap pemerintah sebagai akibat pinjol ilegal. Mereka melakukan penggrebekan dan penyitaan, lalu menawarkan pinjol legal. Juga sebagian pejabat yang menyeru masyarakat agar tidak membayar pinjol ilegal. Padahal pinjol legal bukanlah solusi yang dibutuhkan masyarakat, melainkan pengurusan negara terhadap hak-hak mereka.
Kebijakan pemerintah dalam melegalisasi pinjol, tak lepas dari kebijakan digitalisasi ekonomi yang digencarkan untuk mengikuti arah ekonomi global. Potensi ekonomi digital yang didominasi oleh fintech dan lebih dari separuhnya adalah penyedia layanan peer-to-peer lending (P2P) Lending atau pinjol. Dasar hukum bisnis pinjol dalam Peraturan OJK 77/2016 (POJK Nomor 77/POJK.01/2016) yang meniscayakan masyarakat tak perlu repot meminjam ke kantor langsung, sejatinya semakin mendekatkan masyarakat pada riba.
Mudahnya syarat penyelanggaraan pinjol pun menjadi sebab menjamurnya badan pinjol saat ini. Selain itu kebolehan pendiri ataupun pemilik saham oleh asing sudah dapat dipastikan bahwa semua itu akan semakin mencengkeram masyarakat dengan berkuasanya para kapital asing.
Khilafah: Sistem Antiriba
Khilafah sebagai institusi mulia, sudah tentu asasnya ialah Islam. Khalifah berperan sebagai perisai masyarakat dari riba. Mengurusi kebutuhan masyarakat baik kesehatan, keamanan, maupun pendidikan. Semua anggaran berasal dari sumber yang halal, salah satunya ialah kekayaan alam yang dikelola mandiri oleh negara. Belum lagi pos pemasukan Baitul Mal yang lainnya, halal dan berkah. Akhirnya tidak ada celah masyarakat untuk terpaksa meminjam dan melakukan transaksi ribawi.
Negara pun membina masyarakatnya agar tidak konsumtif, permisif, hedonis, boros, dan sejenisnya. Ketakwaan individu dan masyarakat dibangun semata-mata demi mengharapkan ridha Allah SWT. Sehingga hidup foya-foya ataupun pamer barang mewah, tentu tidak diberikan ruang sedikitpun. Yang ada hanyalah motivasi sedekah dan membantu sesama.
Luasnya lapangan pekerjaan, berbagai kerja sama yang halal, pemenuhan kebutuhan primer, serta sanksi tegas bagi yang melanggar syariat akan mewujudkan negara antiriba. Tidak ada celah penjajahan ekonomi yang dilakukan asing, sebab Khilafah menjalankan kebijakan ekonominya berdasarkan halal-haram. Semua itu hanya bisa terwujud dalam sistem Islam, yakni Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini