Oleh : Rayani umma Aqila
Menurunnya nilai ekspor hasil pertanian berdampak pada kesejahteraan petani. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Perserikatan Masyarakat Tani dan Nelayan (Permatani) Sultra, Fajar Imsak melalui keterangan tertulisnya, Senin 25 Oktober 2021. Sebab nilai ekspor sektor usaha pertanian senilai 0,01 juta dollar AS atau sekitar Rp. 140 juta dengan tingkat penurunan hingga 95 persen dibandingkan bulan sebelumnya kemudian dibandingkan pada periode yang sama tahun 2020 dengan tingkat penurunan sekitar 49 persen dan sampai hari ini belum ada pertumbuhan pesat dalam meningkatkan ekspor hasil pertanian Sultra. (penasultra.com/25/10/2021).
Menurut Fajar, dominasi ekspor hasil pengolahan industri pertambangan khususnya besi dan baja mengakibatkan ekspor hasil pertanian semakin terpuruk. Sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan petani yang signifikan terlebih saat dimasa pandemi. Fajar menerangkan, pemerintah harus lebih jeli dalam menyikapi kondisi penurunan nilai ekspor pertanian. DPW Permatani Sultra tentu berharap sepenuhnya kepada Pemprov Sultra mampu memberikan nutrisi baru kepada petani.
Wajah pertanian Indonesia adalah ironi. Indonesia negeri yang kaya dengan sumber-sumber alam pertaniannya, salah satu negara dengan biodiversitas terkaya di dunia, dengan iklim yang sangat bersahabat untuk pertanian tetapi seakan potensi itu tidak nyata kontribusinya. Ini menjadi semacam paradoks. Pertama, paradoks kemiskinan dan rawan pangan. Para petani sebagai penghasil hasil pangan justru merupakan kelompok masyarakat yang banyak dalam posisi miskin atau rentan miskin dan paling rawan pangan. Kedua, paradoks pertumbuhan. Walaupun sektor pertanian mengalami pertumbuhan namun subsektor pangan justru mengalami pertumbuhan minus.
Ketiga, paradoks ekspor-impor. Dengan lahan yang luas, iklim yang cocok, dan plasma nutfah berlimpah, Indonesia berpotensi menjadi pemberi makan dunia (feed the world) tetapi justru neraca perdagangan subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan mengalami negatif. Untuk itu butuh adanya perlindungan karena memang nyata adanya para petani yang berusaha dengan skala kecil atau bahkan para buruh tani yang sangat rentan dan lemah. Mereka semua perlu mendapat perlindungan pemerintah. Tidak cukup itu mereka juga perlu diberdayakan agar mampu tumbuh, mandiri, dan berdaulat. Perlindungan petani dilakukan melalui berbagai strategi, yaitu: pembangunan sarana dan prasarana produksi, kepastian usaha, harga komoditas, penghapusan praktek ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan melalui strategi: pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran, konsolidasi dan jaminan luasan lahan, penyediaan fasilitas pendanaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, dan penguatan kelembagaan petani. Dengan tujuh strategi perlindungan dan tujuh strategi pemberdayaan maka diharapkan kualitas hidup petani dapat ditingkatkan, produktivitasnya dapat dinaikkan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan sektor pertanian, terutama subsektor pangan dan peternakan.
Perlu kerja keras mengejawantahkan untuk menjadi kenyataan. Hal lain menunjukkan bahwa dukungan kepada para petani tidak cukup hanya dukungan aspek pembiayaan namun pula memerlukan dukungan manajemen dan pendampingan agar tercipta rantai nilai dengan aktivitas usaha lainnya. Para petani perlu didorong agar mampu berkoloni untuk meningkatkan skala usahanya menjadi skala ekonomi yang layak untuk dukungan pendanaan, permodalan yang cukup, penggunaan teknologi yang tepat guna dan sentuhan manajemen modern. Tak hanya itu pemerintah harus lebih jeli dalam menyikapi kondisi penurunan nilai ekspor pertanian. Hal tersebut dengan berupaya mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan petani, memberikan bantuan bibit, melaksanakan pelatihan dan sosialisasi.
Selain itu sebagian besar masyarakat sultra menggantungkan hidup di sektor pertanian dan menjadi penopang kebutuhan utama masyarakat petani. Namun pada faktanya angka Kesejahteraan pada sistem saat ini masih bertumpu pada nilai ekspor impor. Pemasukan bea cukai dan pajak menjadi penerimaan pokok perdagangan yang akan menjadi target para pedagang. Hal ini akan menjadi permasalahan yang sama antara pedagang besar dengan pedagang lokal dimana munculnya penimbunan atau makelar. Karena pastilah pedagang ini dalam sistem kapitalis liberal akan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan menggunakan usaha sekecil-kecilnya. Persaingan tidak sempurna dalam pasar bebas, bahkan bisa mengarah pada monopoli.
Sistem kapitalisme hanya terfokus pada keuntungan semata sehingga masalah kesejahteraan seringkali diabaikan dan pada akhirnya para petani jualah yang menanggung akibatnya. Berbeda dengan Islam angka kesejahteraan dalam Islam jelas berbeda. Kesejahteraan dalam Islam bertumpu pada terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, baik sandang pangan papan, maupun kesehatan, keamanan dan pendidikan. Ketika rakyat sudah merasakan itu semua, maka sejahtera itu akan tercapai. Negara sebagai penyelenggara urusan rakyatnya termasuk para petani.maka orientasi ekspor akan terjadi ketika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Begitu juga dengan impor. Tidak akan mengimpor barang apalagi bahan pokok ketika supply bahan-bahan dalam negeri masih bisa diproduksi secara optimal. Wallahu A'lam Bisshowab