Oleh : Rindoe Arrayah
Perempuan yang dikenal sebagai sosok yang lemah dari segi fisik dibandingan laki-laki, hingga kini masih saja dijadikan sebagai komoditi. Program pemberdayaan ekonomi perempuan terus digencarkan di Indonesia. Dalam program ini yang dimaksud dengan makna berdaya adalah saat perempuan mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tidak mengherankan, jika para perempuan senantiasa dimotivasi untuk terus bergerak memutar roda perekonomian negara.
Dilansir dari anataranews.com (31/1/21), bahwa peran perempuan dalam usaha mikro kecil menengah dianggap sangat besar dan dianggap sangat membantu perekonomian yang sedang terpuruk. Dana pun dialokasikan untuk semakin menguatkan peran perempuan dalam perekonomian. Pemerintah mengucurkan 1,1 miliar dolar AS bagi Program Produktif Usaha Mikro yang 63,5%-nya adalah pengusaha perempuan.
Perempuan dianggap mulia dan derajatnya meningkat saat ia mampu mandiri secara ekonomi dan tidak tergantung pada laki-laki. Berdaya dari segi ekonomi, mampu mandiri, menghasilkan uang sendiri, menjadi hal yang terus-menerus disuarakan dalam pemberdayaan perempuan.
Hanya saja dalam faktanya, ketika kampanye pemberdayaan perempuan banyak diterima di tengah khalayak, memunculkan masalah baru yang cukup serius di masyarakat. Banyak perempuan yang keluar rumah untuk "berdaya". Alhasil, meninggalkan kewajiban pengurusan rumah dan anak. Tidak sedikit rumah tangga yang hilang dari sisi keharmonisannya karena istri merasa lebih tinggi derajatnya dibanding suami. Para istri merasa bisa menghasilkan materi dan bisa mandiri tanpa suami yang akhirnya berujung pada perceraian. Hal ini menyebabkan anak-anak kehilangan sosok ibu serta kurang kasih sayang saat kedua orang tuanya keluar rumah. Saat ibu pulang kerja, sang ibu sudah merasa lelah sehingga tak mampu sepenuhnya memberikan perhatian pada anak-anaknya. Sehingga, kenakalan remaja dan krisis mental terjadi pada generasi.
Seperti inilah potret buram manakala perempuan dianggap berdaya hanya dari segi materi. Padahal, sesungguhnya peran perempuan dalam kehidupan ini sangatlah penting. Perempuan adalah tonggak peradaban untuk menghasilkan generasi yang tangguh. Maka, tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga jangan sampai ditinggalkan. Ia menjadi madrasah pertama dan membawa kehangatan dalam keluarga. Dari rahim dan didikannyalah akan terlahir generasi-generasi mulia.
Menjadi sebuah ancaman yang sangat luar biasa terhadap sebuah peradaban mulia, jika potensi dan peran perempuan hanya dinilai sebatas untuk menghasilkan uang semata karena perempuan tidak menjalankan peran utamanya. Berangkat dari sinilah, krisis generasi akan terjadi. Selain itu, kemuliaan perempuan yang hakiki juga tidak akan mampu diraih.
Islam adalah agama sekaligus pandangan hidup yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw untuk menuntun manusia ke jalan yang benar, termasuk berkaitan dengan masalah perempuan. Allah SWT telah memberikan syari’at kepadanya dan menjunjung tinggi serta menjaga kemuliaannya saat mereka bertaqwa.
Tugas utama perempuan dalam ranah domestik adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Maka, dalam Islam perempuan haruslah cerdas karena ia sebagai madrasah pertama b agi para generasi pengisi peradaban. Sementara, tugas utama perempuan di ranah publik adalah melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan aktivitas dakwah. Ia akan mulia saat melakukan aktifitas itu semua.
Mengenai hal yang berkaitan dengan nafkah, Allah SWT telah membebankannya kepada suami atau walinya, pihak laki-laki di keluarganya. Maka Khalifah, pemimpin dalam pemerintahan Islam, berkewajiban membuka lapangan kerja untuk laki-laki agar mampu menafkahi keluarganya. Dengan begitu, baik laki-laki maupun perempuan mampu melakukan tugasnya sebaik mungkin dan sama-sama mampu meraih kemuliaan hakik yang berasal dari Ilahi.
Tidak bisa dimungkiri, lesunya kondisi perekonomian Indonesia saat ini dikarenakan diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Jika melihat sumber daya alamnya yang begitu melimpah, sejatinya Indonesia mampu menjadi negara yang kuat dari segi ekonomi. Akan tetapi, atas nama kebebasan kepemilikan dalam demokrasi kapitalis, swastanisasi sumber daya alam halal dilakukan. Alhasil, para kaum kapital yang diuntungkan sedang rakyat yang sesungguhnya memiliki itu semua hanya bisa gigit jari. Bingung mencari sumber rezeki ditambah lagi beban ekonomi yang semakin tinggi.
Berbeda halnya, manakala Islam yang dijadikan sebagai dasar dalam bernegara dan berekonomi. Dalam Islam, mindset pemerintah adalah mengurusi urusan rakyat berlandaskan syari’at-Nya. Sehingga, ekonomi pun harus sesuai dengan syari'at. Terkait sumber daya alam, Islam menetapkannya sebagai kepemilikan umum yang haram di swastanisasi dan harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan umat. Sejarah membuktikan, saat kekhilafahan Islam berjaya, fasilitas kesehatan dan pendidikan bisa diakses oleh masyarakat dengan sangat murah bahkan gratis. Maka, permasalahan ekonomi tidak akan seberat saat ini dan perempuan mampu menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya sehingga terlahir lah generasi emas pengisi peradaban.
Untuk itu, sudah waktunya kita kembali dalam rengkuhan syari’at-Nya dan mencapakkan sistem kehidupan kapitalisme-sekularisme yang telah nyata kerusakannya. Hanya dengan syari’at Islam akan tercapai kehidupan yang rahmatan lil’alamiin.
Wallahu a’lam bishshowab.