Oleh : Sari Isna Tulungagung
Syariat Islam adalah seperangkat hukum yang berisi peratutan yang mengatur seluruh lini kehidupan manusia, mulai dari ranah pribadi, ranah social, sampai politik dan negara. Islam adalah agama yang sempurna sehingga memberikan panduan dan solusi dari setiap permasalahan yang ada. Tapi sayangnya syariat Islam saat ini mengalami distorsi pemahaman dan banyak disalahartikan karean tidak merujuk pada Al-Qur’an dan sunahnya. Umat Islam yang seharusnya sami’na wa ato’na terhadap syariat, kini malah membuat tafsir sendiri. Fikih dipaksa menyesuaikan jaman dan keinginan manusia dengan kedok rekontekstualisasi dan reaktualisasi fiqih.
Isu rekontekstualisasi dan reaktualisasi fiqih muncul saat penyelenggaraan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 di Surakarta, dengan tema “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy” Tema ini dirumuskan untuk menjawab dinamika perubahan Islam dunia. (antaranews.com, 24/10/2021). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan rekontekstualisasi sejumlah konsep fiqih atau ortodoksi Islam penting dilakukan dalam rangka merespons tantangan zaman. Penting bagi kita saat ini untuk membuka ruang bagi pemikiran dan inisiatif yang diperlukan untuk membangun peran konstruktif bagi Islam dalam kerja sama menyempurnakan tata dunia baru ini.
Menurut Yaqut, ada empat alasan atau asumsi dasar pentingnya rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Pertama, bahwa pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari nilai-nilai substansialnya atau pesan-pesan utamanya, yaitu tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah. Kedua, bahwa model operasionalisasi tersebut harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktek-praktek yang diklaim sebagai pengamalan Islam tidak justru membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri. Alasan ketiga tentang pentingnya rekontekstualisasi fikih, kata Menag, adalah bahwa dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Keempat, bahwa walaupun tidak menjadikan non-Muslim berpindah (identitas) agama menjadi Muslim, diadopsinya nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya.(tribunnews.com, 25/10/2021).
Dari empat alasan di atas bisa kita mencermati sebagai berikut. Untuk alasan pertama tidak ada masalah. Tapi untuk alasan kedua terdapat pilihan kata yang kurang tepat karena menggunakan kata ‘diklaim’ seolah-olah ‘diaku’. Harusnya kata yang lebih tepat menggunakan kata ‘diyakini’. Sedangkan dari segi isi poin kedua juga tidak sesuai. Pengamalan Islam tentu saja tidak akan bertentangan dengan pesan utama Islam itu sendiri. Jadi perlu dipertanyakan lagi, apa iya ada pelaksanaan ajaran Islam yang bertentangan dg pesan-pesan Islam itu sendiri? Semisal penerapan hukum waris yang sesuai dengan ketentuan syariat, apakah bertentangan dengan keadilan? Apakah bertentangan dengan kejujuran dan tauhid? Tentu saja tidak.
Alasan ketiga juga perlu dipertanyakan kembali. Dakwah itu memang berharap tecapai harmoni. Tapi yang perlu digarisbawahi, harmoni bukanlah tujuan dari dakwah. karena terkadang dalam beberapa hal dakwah itu menimbulkan gejolak. Bahkan di masa Rasulullah Saw. berdakwah justru banyak terjadi gejolak bahkan pertentangan dari kaum kafir Quraisy yang sebelumnya menjadikan berhala sebagai tuhannya. Jadi ukurannya bukan terletak pada harmoni tapi benar apa tidak? Kalaupun benar, sesuatu yang benar meluruskan yang salah pastilah wajar menimbulkan gejolak. Sedangkan untuk alasan keempat tergntung kepada skala tujuan kita berdakwah. Jika kita berdakwah kepada non muslim pastinya kita berharap mereka menjadi muslim.
Selain tentang empat alasan tersebut, terdapat 14 konteks pentingnya tema ini menjadi pembahasan di gelaran AICIS 2021. (ngopibareng.id, 25/10/2021). Dari keempat belas konteks tersebut beberapa poin ternyata menyasar ke fiqh siyasiah (politik). Hal ini bisa dilihat pada poin ke-8: “Ketidakstabilan sosial dan politik, perang saudara dan terorisme yang timbul dari tindakan dari kelompok-kelompok Muslim ultrakonservatif yang bersikeras menerapkan elemen fiqh tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan norma klasik yang ada di era awal Islam. istilah muslim ultrakonservatif membuat framing muslim yang “memaksakan” diterapkannya syariat seolah membahayakan. Dilanjutkan dengan poin berikutnya: “Setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) - hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia”.
Lagi dan lagi, khilafah dibawa ke sini. Rekontekstualisasi atau reaktualisasi secara tidak langsung akan semakin meyakinkan publik bahwa keberadaan khilafah tidak harus ditegakkan karena disesuaikan perkembangan jaman. Mungkinkah hal semacam ini bisa dimasukkan ke dalam ijtihad atau pnggalian hukum baru dalam Islam? Jawabannya adalah jelas tidak.
Ijtihad adalah ketika di tengah-tengah umat terdapat problem-problem baru yang sebelumnya belum pernah ada dalam sejarah. Di sinilah Islam mempunyai satu metode untuk mengatasinya yaitu berupa ijtihad. Ijtihad bukan mengubah hukum yang ada disesuaikan dengan fakta tetapi ijtihad adalah dengan menggali hukum yang baru tetap berdasarkan nash-nash dari Al-Quran dan sunah. Jika suatu perkara sudah ada nashnya dalam Al Quran atau Sunah, berarti manusia tidak boleh merubah sekehendaknya. Sedangkan khilafah sudah jelas nashnya. Rekontekstualisasi pada akhirnya hanyalah kecenderungan untuk mengubah hukum yang ada disesuaikan dengan fakta dan keinginan manusia.
Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Menurut pendapat KH. Shiddiq Al Jawi live tanggal 31 Oktober 2021 di UIY youtube channel, jika melihat perspektif yang lebih luas rekontekstualisasi/reaktualisasi merupakan bagian dari gerakan intelektual yang lebih besar atau global yang ada dalam dunia islam berbentuk konsep pembaruan agama dengan tren pemikiran yang menundukkan ajaran agama dengan pemikiran-pemikiran Barat. Pandangan islam terhadap khilafah juga harus disesuaikan dengan pemikiran barat yang dalam hal ini adalah sekulerisme. Di mana agama harus dipisahkan dari pemerintahan, dari urusan politik, sehingga dalam Islam ada ajaran agama yaitu khilafah mau tidak mau harus tunduk juga pada sekulerisme. Jadi hasil dari proses penundukan islam kepada peradaban barat menghasilkan penolakan terhadap khilafah.
Ketika Kemenag mengatakan “khilafah aadalah sumber bencana”, ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan adanya ketundukan ajaran khilafah pada sekulerisme yang sekarang ini tidak hnya dipraktikkan di Indonesia tapi di dumia Islam secara keseluruhan. Umat Islam dipaksa tunduk dan patuh kepada hukum Barat. Sedangkan hukum Barat berasaskan liberal hanya mengikuti kehendak mnusia. Lain dengan hukum Islam yang diumpamakan sepertt kompas. Saat kita memegang kompas dia akan menunjukkan arah yang tetap di manapun berada. Salah satu contoh adalah ketika khamr, berzina hukumnya haram, maka keharamannya tidak akan berubah baik karena waktu dan tempatnya.
Begitulah rekontekstualisasi atau reaktualisasi sesungguhnya jelas menempatkan Islam sebagai obyek yang bisa diatur. Sedangkan kita ini seharusnya adalah makhluk yang diatur, kita yang harusnya taat aturan yang Allah SWT berikan karena kita hidup dan berpijak di bumi-Nya. Allah SWT telah menciptakan kita manusia di bumi ini dan Allah SWT tidak membiarkan kita menjalani kehidupan di dunia ini begitu saja. Karena cinta dan rahmah-Nya Allah memberikan pegangan, panduan agar kita bisa selamat hidup di dunia, tak lain dan tak bukan adalah dengan Al-Quran dan sunah yang diajarkan Rasul-Nya. Sudah seharusnya kita mentaati semua aturan-Nya karena hanya dengannya keselamatan di dunia akhirat akan bisa dicapai manusia, rahmat bagi seluruh alam akan terwujud nyata.
Tags
Opini