Benarkah Islam Sudah Tidak Sesuai Zaman?




Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Dilansir dari ANTARAnews.com, 25 Oktober 2021, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, secara daring pada Senin (25/10) menyatakan, sejumlah penyesuaian harus dilakukan dalam kehidupan keagamaan akibat munculnya pandemi COVID-19. Penyesuaian tersebut kemudian diwujudkan dalam fatwa-fatwa baru yang lebih relevan dengan tantangan yang ada. 

Menag Yaqut Cholil Qoumas, yang juga hadir di Solo mengatakan"Pada awalnya AICIS tahun ini mengusung tema public policy saja. Dan tema itu sudah disiapkan oleh panitia sejak sebelum pandemi Covid-19, Tetapi saya kemudian meminta kepada panitia untuk mengubahnya dan memasukkan kajian fiqh dalam era pandemi ini,” sambungnya  (ngopi bareng.id,25/10/2021).

Yaqut Cholil Qoumas mengapresiasi tema Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 yang digelar di Surakarta, Jawa Tengah. Tema tersebut adalah “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”. Menurutnya, kajian rekontekstualisasi fikih sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini. 

Ada beberapa poin dalam AICIS yang menjadi alasan utama diperlukannya rekonstektualisasi fikih, pertama di poin 8, yang berbunyi, Ketidakstabilan sosial dan politik, perang saudara dan terorisme yang timbul dari tindakan dari kelompok-kelompok Muslim ultrakonservatif yang bersikeras menerapkan elemen fiqh tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan norma klasik yang ada di era awal Islam.

Kemudian poin 9, Setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) - hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia.

Dan poin 10, Sejarah Islam setelah kematian menantu Nabi (saw), Sayyidina Ali, menunjukkan bahwa setiap usaha untuk memperoleh dan mengkonsolidasikan kekuatan politik / militer dalam bentuk kekhalifahan pasti akan disertai dengan pembantaian antara satu pihak dengan yang lain. Hal ini merupakan tragedi bagi komunitas Muslim secara keseluruhan, terutama pada awal sebuah dinasti baru.

“Jelas, dunia membutuhkan sebuah ortodoksi Islam alternatif, yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia,” tutur Menag Yaqut Cholil Qoumas

Ide Rekonstektualisasi Fikih Berbahaya

Rekontekstualisasi fikih yang diaruskan oleh pemerintah memiliki bahaya yang lebih besar dibanding ide awalnya yang  dimotori orang-orang yang punya kedengkian pada Islam. Kaum Muslim berusaha dibuat bingung dengan agamanya sendiri, sebab standar halal haramnya kabur, berganti dengan pendapat manusia yang enggan di atur. 

Tujuannya tak lain untuk mengacak-acak Islam dengan cara menampilkan pemikiran sekuler dengan dilabeli Islam. Benarkah Islam sudah sesuai dengan zaman? Jelas hal ini bertentangan sekali dengan apa yang difirmankan Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya." (QS Al Hijr:9). 

Dalam Kitab Tafsir al-Bahr disebutkan bahwa makna dari al-Hifz ada tiga: pertama, Allah menjaganya dari syetan. Kedua, Allah menjaganya dengan cara mengekalkan syariat Islam sampai hari kiamat, hal ini sebagai mana disinggung oleh Imam Hasan al-Bashri dan ketiga, Allah menjaganya di dalam hati orang-orang yang menginginkan kebaikan dari Al Quran.

Lantas, betapa lancangnya jika ada manusia yang meragukan kesesuaian Alquran dengan zaman, bahkan dengan alasan yang tidak relevan samasekali, yaitu pandemi Covid-19. Lebih pedih lagi, pernyataan ini keluar dari lisan seorang pejabat agama terbesar di Indonesia. Yang semestinya paling berkepentingan menciptakan kedamaian bukannya kegaduhan. 


Bahayanya bagi Muslim yang pertama akan muncul desakralisasi fikih, contoh wacana menetapkan haji di bulan haram (bukan hanya dzulhijjah). Sebab, Fikih bukanlah buah pikiran manusia sebagaimana pendapat filosof atau pemikir, tapi pemahaman terhadap wahyu (nash qur’an hadits) dengan kaidah yang ditetapkan syariat. 


Kedua, jika ide ini tidak segera dihapuskan akan menjauhkan umat dari solusi syariat, disebabkan mengadopsi pemahaman menyimpang yang bukan berasal dari wahyu. 


Kembali Kepada Islam Kaffah adalah Keharusan

Sesungguhnya manusia yang berperilaku demikian Alquran menyebutnya sebagai munafik, dimana golongan manusia semacam ini sudah bertumbuh, berkembang, dan bermetamorfosis dari waktu ke waktu, dari abad ke abad,  Sejak mula manusia diciptakan. 

Ketika Islam datang dan Rasulullah menjadi kepala negara pun orang-orang munafik ini tak pernah kehilangan gelanggang. Mereka akan terus begitu hingga kehidupan berada di ujung kehancurannya. Para munafik akan istiqamah mengambil peran, bercampur aduk di antara kelompok baik dan kelompok jahat. 

Menyebar dari strata masyarakat paling bawah hingga menjadi penghuni menara gading kekuasaan. Mereka tak lagi lembut kepada sesama Muslim, dan tegas kepada kaum Kafir. Malah sebaliknya, demi kepuasaan dunia yang sudah dijanjikan kepada mereka. Oleh siapa lagi, jika bukan kafir musuh Islam?

Tak ada jalan lain untuk menghapus ketidakadilan ini, dimana Islam saja yang dianggap tak relevan dengan zaman. Bagaimana dengan agama yang lain? Inilah bukti kesekian kali kebencian dan kemunafikan mereka yang menjadi-jadi terhadap Islam. 

Agama lain tak ada nilai sehingga tak akan disentuh, sedang Islam selain mengandung akidah juga syariat yaitu seperangkat aturan yang akan membatasi pemeluknya pada batas-batas yang distandarkan. Inilah yang juga menimbulkan kekhawatiran, jelas akan mengusik eksistensi kafir itu sendiri yang dengan keserakahannya ingin berkuasa tanpa lawan. Bertanding tanpa banding. 

Dalam Islam, jelas seorang pemimpin sebuah negara akan sangat takut jika tidak amanah terhadap firman Allah SWT berikut,"  Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam." (QS An-Nisa: 140).

Dan juga, "Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih." (QS an-Nisa: 138). Tentulah, setiap jengkal kekuasaannya akan digunakan semaksimal mungkin menjaga akidah masyarakat agar tetap dalam koridor syariat. Maka, menjadikan Islam Kaffah menaungi setiap aktifitas pemimpin dan rakyatnya tak akan terjadi selama demokrasi kapitalisme bercokol dalam hati dan benak kaum Muslim . 

Dan ini butuh kekuatan yang luar biasa dari umat Islam untuk menyatukan pendapat dan gerakan pada satu tujuan yang pasti, yaitu penerapan Islam secara menyeluruh, semua agar perubahan yang dijanjikan Allah segera bisa terwujud. Wallahu a' lam bish showab. 
 

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak