Oleh: Hamnah B. Lin
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejak 1 Januari hingga 31 Oktober 2021, sebanyak 2.208 bencana terjadi di Indonesia. Bencana alam hidrometeorologi tercatat masih mendominasi yakni bencana banjir, diikuti puting beliung, dan tanah longsor. Bencana alam tersebut menyebabkan sebanyak 6,6 juta atau 6.653.006 jiwa mengungsi. Sementara 549 jiwa meninggal dunia dan 74 orang hilang, serta 13.031 jiwa luka-luka (Okezone, 1/11/2021).
Masih dari sumber yang sama, Dari catatan BNPB, sebanyak 894 kejadian banjir terjadi di beberapa wilayah Tanah Air. Kemudian 589 kejadian puting beliung, sedangkan tanah longsor 406. Kejadian bencana lain yang tercatat yaitu gelombang pasang 22 kejadian, gempa bumi 26 kejadian, dan karhutla 258 kejadian.
Sementara itu, provinsi yang tercatat paling banyak kejadian bencana terjadi Pulau Jawa yakni di Jawa Barat dengan 539 kejadian, di Jawa Timur dengan 227 kejadian, dan di Jawa Tengah sebanyak 210 kejadian bencana.
Sungguh sudah seharusnya kita patut merenung, banyaknya bencana yang datang bertubi-tubi, ada apa ini. Pasti ada yang salah dalam kehidupan ini. Terus muhasabah agar hidup menjadi berkah.
Adalah pertama, yang harus dipahami seorang muslim bahwa bencana adalah ketetapan Allah SWT yang harus disikapi dengan sabar dan rida terhadap segala kehendak-Nya. Maka, bagi para korban, bila ia bersabar, musibah tersebut akan menjadi penghapus dosa baginya. “Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapus (dosa orang itu) dengannya, bahkan duri yang menyakitinya sekalipun.” (HR Al Bukhari)
Jika kita perhatikan di balik itu semua, ternyata ada hal-hal di luar qadha Allah SWT yang diduga kuat menjadi penyebab datangnya bencana, yaitu dosa dan kemaksiatan manusia.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dari ayat di atas, Allah SWT telah jelas menyampaikan adanya kerusakan alam diakibatkan tangan manusia.
Maka Syariat mengajarkan, langkah utama ketika menghadapi bencana adalah bertobat. Saat terjadi gempa, Umar bin Khaththab ra. berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”
Karena sungguh kemaksiatan terbesar negeri ini adalah dicampakkannya hukum Islam. Maka kita harus segera bertobat agar bencana tidak datang bertubii-tubi.
Dalam hadits panjang Rasulullah saw., "Wahai kaum Muhajirin, lima perkara jika kalian ditimpanya dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menjumpainya. Tidaklah zina tampak pada suatu kaum hingga mereka melakukannya terang-terangan kecuali akan menyebar di tengah mereka penyakit Tha’un dan berbagai penyakit yang belum terjadi di generasi-generasi yang sudah berlalu sebelum mereka. Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan ditimpa as-sinîn, menipisnya persediaan dan kezaliman penguasa terhadap mereka. Tidaklah mereka tidak mau menunaikan zakat harta mereka kecuali hujan akan ditahan turun dari langit. Seandainya tidak ada binatang-binatang, tidak akan diturunkan hujan atas mereka. Tidaklah mereka melanggar janji Allah dan janji Rasul-Nya kecuali Allah jadikan mereka dikuasai musuh mereka. Lalu musuh mereka itu akan mengambil sebagian yang mereka miliki. Dan tiadalah imam-imam mereka tidak menghukumi dengan Kitabullah dan mereka memilih-milih dari apa yang diturunkan oleh Allah, kecuali Allah jadikan al-ba’su terjadi di tengah mereka.” (HR Ibn Majah, al-Bazar, al-Hakim, al-Bayhaqi, dan Abu Nu’aim).
Dalam hadis ini Rasul saw. memperingatkan terjadinya lima perkara yang akan bisa menimpakan musibah dan bencana pada masyarakat. Itu artinya, bahwa Rasul saw. memerintahkan agar kelima perkara itu dijauhi dan dijauhkan dari masyarakat.
Kelima perkara tersebut adalah:
Pertama, al-Fâhisyah dilakukan terang-terangan. Fâhisyah secara bahasa adalah perbuatan keji dan tercela. Bisa juga dimaknai, semua bentuk perbuatan dosa. Secara lebih khusus, kata fâhisyah itu dosa besar. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai perbuatan zina, dan bisa juga mencakup homoseksual dan lesbianisme. Jika perbuatan fâhiysah ini tampak dan dilakukan secara terang-terangan apalagi demonstratif, masyarakat akan ditimpa wabah tha’ûn dan muncul penyakit yang belum terjadi pada generasi sebelumnya.
Kedua, kecurangan dalam takaran dan timbangan. Secara lebih luas bisa dimaknai kecurangan dalam melakukan transaksi bisnis. Kecurangan itu dilakukan untuk mengumpulkan kekayaan.
Ketiga, tidak mau membayar zakat mal. Hal itu biasanya didorong oleh sifat kikir dan nafsu menumpuk kekayaan. Bagi orang kikir dan bakhil, membayar zakat dianggap hanya akan mengurangi kekayaan yang dikumpulkan dengan susah payah. Nabi saw. memperingatakan jika perilaku enggan membayar zakat itu tersebar di masyarakat, hujan tidak diturunkan dari langit. Kalaupun hujan diturunkan, hal itu karena masih adanya binatang-binatang. Ini menyiratkan bahwa hujan yang turun tidak lagi menjadi rahmat dan tidak mengalirkan berkah pada masyarakat itu.
Keempat, melanggar perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya. Maksudnya, menurut para ulama, adalah ketentuan dan perjanjian dalam masalah peperangan yang terjadi antara kaum muslim dan musuh mereka.
Kelima, para pemimpin suatu kaum tidak memerintah dan tidak menghukumi perkara dengan hukum yang diturunkan oleh Allah dan mereka memilih-milih di antara hukum yang diturunkan oleh Allah. Jika hal itu terjadi, konsekuensinya akan terjadi al-ba’su di tengah mereka. Menurut az-Zarqani, al-Ba’su adalah peperangan, fitnah, dan perselisihan.
Maka hadits ini bermakna, jika para pemimpin kaum muslim di negeri ini memerintah dan memutuskan perkara dengan hukum-hukum yang Allah turunkan dan tidak memilih-milihnya, maka al-ba’su dalam bentuk peperangan, fitnah, perselisihan, dan bencana lainnya di tengah kaum Muslim akan terhalang.
Disinilah urgensi mewujudkan penerapan syariat Islam secara kafah dan membuang penerapan aturan Kapitalis - sekuler yang diterapkan sekarang. Karena aturan kapitalis-sekulerlah yang membuat para pemimpin negeri ini memilah-milah aturan dan bahkan tidak mau memerintah dengan hukim-hukum yang Allah SWT turunkan. Jangan diam jika telah datang suatu berita kebenaran. Ambil peran agar hisab tak berat.
WaLlâh a’lam bi ash-shawâb