Oleh: Tri S, S.Si
Kisah pilu seorang ibu dari Magelang, Jawa Tengah bernama Trimah. Baru-baru ini Ibu Trimah dibuang oleh ketiga anak kandungnya, tanpa tahu apa-apa dibawa ke Griya Lansia Husnul Khatimah, Wajak, Malang, Jawa Timur. Kisahnya kian menjadi sorotan, banyak yang menaruh haru mengetahui bahwa ketiga anaknya tak satupun yang berkunjung menjenguk, bahkan untuk sekedar menghubungi. Keinginan besar Ibu Trimah adalah bisa berkumpul kembali dan dijemput anak-anaknya. Karena pandemi, anak kandung dan menantu Ibu Trimah terimbas PHK sehingga beralih profesi menjadi tukang ojek. Kesibukan dan minimnya keuangan yang menjadi alasan mereka meninggalkan Ibu Trimah di panti jompo.
Fenomena anak menelantarkan dan menitipkan orang tua di panti jompo masih terus bergulir. Kisah pilu lansia yang terbuang seolah tidak berujung, selalu terjadi dalam sistem kapitalisme. Kerasnya tekanan hidup menjadi pembenaran bagi anggota keluarga untuk mengalihkan pengurusan orang tua pada panti jompo.
Sistem kapitalisme tidak henti memproduksi kemiskinan massal. Pemimpin dalam sistem ini tidak melakukan riayah/pemeliharaan urusan rakyat dengan benar, bahkan cenderung melepaskan tanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat. Sistem ini juga mematikan fitrah manusia untuk memuliakan orang tua, anak berubah menjadi sosok yang tidak memiliki belas kasih.
Pemicunya karena materi, ketidakadilan ekonomi, dan lemahnya penanaman nilai agama. Kapitalisme telah menghancurkan hubungan orang tua dan anak, menghilangkan pemahaman tentang kewajiban dan hak antar anggota keluarga. Hal ini disebabkan ditinggalkannya nilai-nilai Islam dalam keluarga. Derasnya pemikiran liberalisme/kebebasan yang dijamin sistem kapitalisme telah menjadikan pertimbangan di dalam keluarga bukan halal-haram, melainkan materi sebagai nilai yang tertinggi.
Jika salah satu anggota keluarga tidak memberi manfaat maka akan disingkirkan, tak terkecuali orang tuanya sendiri. Kerapuhan dalam keluarga akibat liberalisme menjadikan anak-anak sebagai pribadi yang tak beradab dan bergaya hidup bebas, sesuka hatinya bersikap pada siapa pun termasuk orang tuanya. Apalagi dalam sistem ini, orang bebas berbuat, bebas memiliki, bebas beragama dan bebas berpendapat, semua itu dilindungi oleh negara.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan setiap aktivitas terikat dengan aturan Allah, termasuk berkeluarga. Bangunan keluarga di dalam Islam menjadikan ridha Allah sebagai tujuannya, maka setiap anggota keluarga haruslah taat pada seluruh aturan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Karena kebahagiaan yang dituju bukan hanya di dunia, tapi kehidupan yang abadi kelak yaitu di akhirat yang kekal.
Firman Allah SWT. yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Islam mendidik generasi menghormati orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda, menghargai sesama bahkan mewajibkan anak “Birul Walidayn” dan memuliakan orang tuanya. Kewajiban berbuat baik kepada orang tua, bahkan Allah posisikan setelah beribadah dan mentauhidkan-Nya. Oleh karena itu, bersuara keras mengucapkan kata “Ahh” saja dilarang apalagi sampai menelantarkan dan meninggalkan mereka. Berakhirnya kisah pilu para orang tua lanjut usia membutuhkan kehadiran negara yang menjalankan riayah terhadap rakyat dalam berbagai aspek sehingga terwujud keadilan, kesejahteraan, pendidikan berkualitas yang menghasilkan generasi-generasi berakhlaq. Hal ini hanya akan terwujud dalam sistem Islam yang menebar rahmat bagi seluruh alam. Saatnya sekarang sistem Islam itu ditegakkan.