(Frisca Nopianita)
Menuai banyak
kontra atas apa yang telah dikeluarkan Menteri pendidikan, kebudayaan, riset
dan teknologi Nadiem Makarim melalui PERMENDIKBUD (Peraturan Menteri Pendidikan
Budaya) yang ditetapkannya pada tanggal 31 Agustus 2021 Nomor 30 Tahun 2021
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan
Perguruan Tinggi.
Tak dapat
dihiraukan, banyak tokoh-tokoh di Indonesia kontra terhadap isi dari
PERMENDIKBUD tersebut. Karena kebanyakan diksi dari PERMEN tersebut mengangkat
aspek ‘consent’ atau ‘konsensual (persetujuan) berulang-ulang. Salah
satunya PKS yang tidak setuju dengan persoalan terkait PERMENDIKBUD ini.
Seakan-akan aspek consent atau persetujuan yang menjadi syarat aktivitas
seksual di kampus. Ada juga ketidaksetujuan soal definisi kekerasan seksual
yang tidak mempunyai cantolan hukum. Tidak hanya PKS, anggota Komisi X DPR RI
Ledia Hanifa Amaliah menilai keluarnya PERMENDIKBUD ini tidak tepat lantaran UU
yang menjadi dasar hukumnya belum ada. Seakan-akan apapun tindakannya akan
masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tak ada persetujuan dari korban.
Tentu ini sebuah peraturan yang berbahaya. (detiknews, 6/11/2021)
Kemudian
Majelis Ormas Islam (MOI) menilai PERMENDIKBUD ini secara tak langsung
melegalisasi perzinahan di perguruan tinggi dengan aspek persetujuan. Dimana
seharusnya perzinahan itu sebuah kejahatan malah dibiarkan bebas. Sehingga dapat
menghancurkan potensi nilai moral mahasiswa/i. (REPUBLIKA.co.id, 4/11/2021)
Kemungkinan
kebijakan tersebut dibuat karna untuk lebih memperhatikan terhadap kekerasan
seksual di perguruan tinggi. Tetapi ternyata ada maksud tersendiri dengan
memasukkan isi pasal yang liberal yang dapat membahayakan peradaban generasi
penerus. Titik persoalannya ialah kekerasan seksual yang terjadi dikampus ini
muncul akibat dari buah sekularisme. Sekularisasilah yang membuat pola pikir
seseorang menjadi liberal (semua serba bebas). Dengan adanya PERMENDIKBUD
tersebut, malah akan membuat seseorang bebas melakukan zina dikampus asal ada
persetujuan dari si korban. Tentu ini menambah penyimpangan kekerasan seksual,
bukan menjadi solusi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di
perguruan tinggi.
Dan semestinya
perguruan tinggi menjadi salah satu tempat lahirnya insan pembuat perbaikan
umat, bukannya difasilitasi dengan kebijakan yang menyempurnakan liberalisasi
seksual yang sudah mengepung pemuda. Berbeda dengan pendidikan dalam islam
yaitu upaya mewujudkan generasi peradaban yang gemilang, bermoralitas baik dan
bertakwa kepada Allah. Ilmu pengetahuan
yang didapat pun memberikan keberkahan. Dalam islam pun posisi orang-orang yang
berilmu sangat dimuliakan oleh Allah SWT.
“....Niscaya
Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan allah mahateliti terhadap
apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Mujadillah : 11)
Untuk itu,
saatnya mengembalikan peran perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang
hakiki dengan adanya pemeliharaan ideologi dan tsaqofah yang benar. Sehingga
bisa terciptanya suasana pendidikan yang bermanfaat untuk kelangsungan umat.
Dan tidak menjadikan pendidikan sebuah komoditas ekonomi seperti yang
kapitalisme lakukan sama saja memperbudak intelektual didalamnya.